MASUK JAAFARIA SOUQ atau pasar Jaafaria di Mekkah niscaya kita akan disambut dengan berondongan seruan kata dari ratusan pedagang di sana, “masempo, masempo, Ting Ting, Syahrini, lengkap. Ayo mampir!”
Apa yang mereka maksud?
Pertama, mereka mengenalkan jemaah Indonesia familier di situ. Tidak berhenti di situ. Ia juga menyebut kata “masempo”, yang menunjukkan secara spesifik dari jemaah orang Indonesia, jamaah asal Bugis Makassar. Masempo adalah ungkapan kata dalam bahasa Bugis. Artinya murah!
Mengenali Logat
Faktanya, Senin (1/4) siang itu pengunjung pasar yang jumlahnya ratusan didominasi jemaah umrah asal Indonesia. Dan tak sedikit yang berasal dari Sulawesi Selatan. Saya mengenali dari logat khas mereka di tiap kios yang saya kunjungi maupun sekadar berpapasan di area pasar. Meskipun bahasa yang digunakan bahasa Indonesia. Pukul rata pedagang di sini berbahasa Indonesia, walau terbatas dalam urusan tawar menawar harga barang jualan.
Lokasi Jaafar Souq sekitar 2 kilometer dari Masjidil Haram. Tempatnya menyerupai hanggar besar yang di dalamnya terdiri ratusan toko atau kios. Jualan yang mereka jajakan hampir sama, oleh-oleh mulai dari sajadah, parfum, aneka baju khas Arab Saudi, aneka cindera mata, kurma, cokelat, aneka kacang Arab, alat-alat elektronik, tasbih, perhiasan atau jam tangan.
Di lokasi Jaafaria tersedia juga money changer dan ATM. Tunggu. Lantas apa yang dimaksud Ting Ting dan Syahrini?
Ternyata itu adalah baju-baju yang mereka juluki seakan pakaian yang sering dikenakan pemain sinetron Ayu Ting Ting dan Syahrini. Karena penasaran saya minta mereka tunjukkan baju yang dijuluki Ayu Ting Ting dan Syahrini. Model bajunya terusan dengan warna mencolok. Apakah betul itu persis model baju khas Ayu Ting Ting dan Syahrini, wallahualam. Yang saya tahu, karena artis pastilah baju mereka mencolok mata.
Nostalgia Pasar Seng
Bagi jamaah haji dan umrah yang pernah ke Tanah Suci sampai tahun 2010, Pasar Jaafaria pasti mengingatkan pada Pasar Seng yang berlokasi sekitar Masjidil Haram. Pasar yang dulu amat terkenal, legendaris, bagi jamaah haji dan umrah dari seluruh dunia, di situlah dulu seluruh jamaah melakukan “tawaf” selepas beribadah di Masjidil Haram.
Pasar yang beroperasi 24 jam itu kini sudah tiada sejak proyek perluasan Masjidil Haram dimulai. Pasar Seng dan ribuan kios tenda yang bersebaran di sekitar Masjidil Haram, pun lenyap. Padahal, dulu semacam ikon bagi Mekkah sendiri.
Ustaz Agus, mutawif kami yang mengantar ke Jaafaria Souq membenarkan, sebagian besar pedagang Pasar Seng, dan kios-tenda kaki lima sekarang mengisi Pasar Jaafaria.
Diantar Ustaz Agus kemarin, itulah pertama kali saya ke Jaafaria Souq itu sekaligus menjadi jawaban pencarian dan kerinduan saya beberapa tahun terakhir tiap kali ke Tanah Suci.
Saya pernah menulis, tanpa semua pedagang itu di sekeliling Masjidil Haram, rasanya seperti ada bagian “ritual” yang hilang. Ungkapan ini mungkin berlebihan. Tapi nyatanya bukan hanya saya yang kehilangan. Jemaah-jemaah jadul yang dapat kesempatan berhaji dan berumrah kembali setelah perluasan Masjidil Haram, beranggapan sama.
Dari gerbang hotel sampai ke masjid kita tak pernah kesepian. Sepanjang jalan yang dilalui dapat pengawalan suara riuh pedagang yang berebut menawarkan jualannya. Tempat itu juga meeting point yang bernuansa “kerakyatan” antar sesama jemaah. Satu rombongan atau satu daerah asal untuk kongkow selepas salat subuh atau selepas salat Isya. Warung- warung kopi dan teh susunya serta kebab sungguh menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Suatu kali, lepas salat dzuhur saya tak menemukan alas kaki saya. Untung ada pedagang kaki lima di sisi masjid sehingga saya bisa beli penggantinya. Kalau tidak, terbayang kaki bisa melepuh karena berjalan di tengah terik matahari kembali ke penginapan.
Harga Miring
Kembali ke Jaafaria Souq. Keistimewaan Pasar Seng dan kios-kios tenda kaki lima, yaitu harga miring, dan leluasa tawar menawar tetap melekat di Jaafaria Souq. Dapat barang lebih murah dibandingkan di toko-toko hotel, serta tawar menawar merupakan kenikmatan sendiri. Itulah yang menjelaskan mengapa seluruh jemaah yang berhaji dan berumrah akan terus mengunjungi pasar ini. Sebuah kegiatan ekonomi luar biasa. Tidak heran jika jamaah Indonesia populer di sini.
Jumlah jemaah haji Indonesia sekitar 250 ribu jiwa, merupakan jemaah terbesar. Begitu pun jemaah umrah Indonesia yang tahun lalu mencatat angka 1,2 juta jiwa. Hitung saja berapa jumlah belanja jamaah Indonesia jika dipukul rata tiap jiwa membelanjakan uangnya sebesar 100 Real Saudi (Rp3.800 per 1 RS).
Tentang tingkat kemurahan barang dagangannya, mudah dikonfirmasi. Istri saya membenarkan. Kemarin dia beli sajadah di toko hotel, harganya 50 RS. Barang sama di Jaafaria dijual seharga 30 RS. Begitu pun dengan mata dagangan lainnya.
(Penulis Wartawan Senior dan Pimpinan Cek&Ricek)