Saya belum menyerah. Walau berat, namun ini sudah menjadi tekad. Hari ini, saya mengundang ulang cerita lama, untuk kemudian menuliskannya dalam kalimat yang cermat. Ini penting sebagai penanda pernah ada usaha.
Bukan usaha keras saya semata, memang. Melainkan usaha mereka, para ksatria (putera dan puteri negeri sendiri), yang tak mungkin saya lupa. Semua dilakukan demi mandiri, mengurangi ketergantungan dan bebas dari belai manja memabukkan. Jangan ada yang bertanya, ini soal apa sih?
Narasi kali ini, tentang TI, teknologi informasi. Sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh agar bisa melayani berjuta peserta dan berjuta transaksi. Apalagi, di masa depan, lini ini, akan menjadi penentu setiap kehidupan.
Saya bahkan merasa perlu melakukan studi kecil-kecilan, untuk menguji teori saya itu. Lalu, saya melongok ke tempat-tempat lain, untuk membuat perbandingan. Dan, ternyata benar. Banyak institusi yang mempunyai satu direktorat tersendiri mengurusi TI.
BACA JUGA NKS Menulis Empat Tahun Menjabat-1: Sepuluh Menit yang Menentukan
Saya melihat, di tempat-tempat yang saya longok, urusan TI tidak menjadi satu dengan urusan lain. Saya tertegun sendiri, ternyata mereka sudah jauh melempar pandangan ke masa depan. Namun tak perlu iri dengan institusi lain. Percayalah, jika hanya iri, tak akan memberi solusi.
Saya terkenang masa silam. Bukan kesilaman yang terlalu lampau sebenarnya, karena baru lewat beberapa tahun. Saat itu, saya baru menempati kursi direksi. Tapi saya tidak boleh merengkuh bungah, walau menjadi direksi. Sebab, tanggungjawab juga sangat besar untuk diabaikan, apalagi sekadar ditukar dengan suka-cita.
Tapi memang, saya agak senang. Minimal ada sesuatu yang baru, jika tidak boleh disebut tantangan baru. Jadi ceritanya, direksi lain tidak ada yang melirik urusan TI, lalu saya diamanahi mengurusi bidang TI. Selain bidang aktuaria, dan bidang rencana stategis institusi.
Ya sudah. Saya harus menjadi penerjemah amanah sebagai direktur yang mengurus TI. Hanya saja, di saat sedang metani masalah, memetakan persoalan, muncul sandungan. Apa boleh buat, saya harus setuju bahwa tak ada hidup tanpa masalah. Bukankah kita diharapkan hadir dalam kehidupan untuk menghadapi masalah?
Saat saya sedang belajar tentang tugas dan tanggung jawab apa yang saya emban, tiba-tiba masalah datang. Sistem dan teknologi informasi yang dimiliki mendadak ngambek tak mau bekerja. Seluruh cabang sudah barang tentu berang.
Saya tahu, sejatinya kantor cabang berang bukan tanpa alasan. Sebab, komplain pelanggan yang tak tahu harus menunggu waktu, membuat teman-teman di kantor cabang tak ingin pelanggan naik pitam.
Masalahnya (ini yang repot) perlu waktu untuk mendatangkan suhu agar masalah segera berlalu. Memang tak ada yang salah sistem dibangun dengan dibantu. Yang tidak bisa dibenarkan adalah jika kita tak mampu menyerap ilmu. Kecuali, yang membantu masih ragu memberinya ilmu.
Memang akhirnya masalah selesai, walau untuk waktu yang sementara. Sementara karena, persoalan yang sama datang terulang. Celakanya, badai cobaan yang datang, jauh lebih kencang. Ngambeknya sistem dan teknologi informasi lebih lama dari sebelumnya. Tak mudah membujuknya untuk kembali mau bekerja.
Saya menyadari bahwa dimana-mana yang namanya cobaan memang tidak akan enak. Kalau enak pasti bukan cobaan namanya tapi mungkin ‘cobain’, layaknya mencicipi sebuah menu masakan.
Saya memilih untuk tidak mengeluh. Keluh kesah tak bakal menyelesaikan masalah. Saya mencoba menawar dalam diskusi dengan pimpinan tertinggi. Rasanya saya perlu seorang advisor untuk membantu mencari solusi. Seorang advisor yang saya percayai, yang memahami, dan yang independent tanpa sebuah beban kepentingan.
Ini penting agar ia tak bias memberi jawab atas masalah. Saya terus menjaga rasa optimis dan selalu meyakini bahwa di balik cobaan yang menimpa tersimpan cerita indah luar biasa, selain menjanjikan hadiah senyum manis tak terkira.
Dari diskusi panjang dan intens dengan sang advisor, saya sepakat pembenahan terpenting di bidang TI dimulai dari orangnya (people). Setelah selesai dengan pembenahan di people, selanjutnya perbaikan di process dan terakhir pada teknologi atau insfrastruktur. Saya tak akan membahasnya semua, tapi tentang penyiapan people yang sangat unik dan menarik untuk ditelisik.
BACA JUGA NKS Menulis Empat Tahun Menjabat-2: Ini Weling Penting Simbok
Untuk pembenahan di sisi sumber daya manusia atau people, secara diam-diam saya minta advisor untuk menilai kecakapan insan TI. Lalu, dalam setiap kesempatan berkumpul dengan para ksatria TI, saya selalu menekankan dan menanamkan budaya organisasi, terutama terkait integritas. Saya pun menyampaikan pesan untuk terus meng-upgrade pengetahuan dan ketrampilan sesuai kebutuhan jaman dengan meraih berbagai sertifikasi.
Tentu saya tak mau mereka menjadi orang yang hanya pintar (apalagi hanya seolah terlihat pintar) tapi tak pakar dalam menjalankan tugasnya. Institusi ini membutuhkan orang yang mampu bekerja sekaligus mampu bekerja sama. Tak mungkin tanpa kerjasama.
Dalam situasi seperti itu, ada kalanya, kita menemui orang yang tak bisa bekerja sama. Orang seperti ini, biasanya, ingin karyanya di masa lalu tetap bertahan. Ia lupa, sudah ada perubahan jaman. Perubahan era yang tidak lagi menerima orang yang ingin memaksakan idenya seolah ialah yang nomer wahid dan yang lain semua invalid.
Waktu berlalu. Saya mulai memahami rekan kerja satu demi satu. Tentang kemampuan dan bahkan tentang kepatutannya. Lewat beberapa project yang diawali dari pembangunan aplikasi dan modul sederhana, ksatria TI ternyata mampu merealisasikan dan meningkatkan rasa percaya diri. Percaya diri saya dan mereka bahwa kita bisa.
BACA JUGA NKS Menulis Empat Tahun Menjabat-3: Ketika Wong Ndeso Masuk Istana
Tapi pekerjaan berat belum selesai. Masih ada perdebatan panjang tentang infrastruktur yang akan digunakan. Melanjutkan sistem yang ada, kembali pada sistem jaman dulu, atau membangun sendiri sistem yang baru? Tarik-menarik persoalan ini, menjadi panas setiap sistem yang ada sering tak berdaya.
Pertengahan tahun 2017, saat kekhawatiran operasionalisasi sistem dan teknologi informasi institusi makin memuncak, kembali saya menantang para ksatria TI untuk menguji nyali. Saya menginginkan kita bisa mandiri. Seolah terbakar semangat korsa, mereka sepakat berkata, “Kami bisa.”
Nah, jika di level para ksatria diskusi sudah selesai, ternyata tak mudah meyakinkan kolega pada tingkat pengambil keputusan. Butuh diskusi lebih panjang untuk sepakat bahwa kita mampu keluar dari ketergantungan sistem yang dibangun pihak luar dengan sumber daya milik sendiri.
Itu, belum lagi cibiran dari orang yang meragukan kemampuan ksatria TI “dalam negeri” yang sejatinya telah lolos seleksi dari ratusan atau mungkin ribuan peminat. Juga, teruji saat diberi project membangun aplikasi.
Beruntung, akhirnya ada kesepakatan. Dan, restu itu tiba. Tapi tentu saya tak mau jika ini dilihat hanya sebagai project-nya direktorat yang menangani TI. Perlu dukungan semua pihak agar sistem yang dibangun mumpuni.
NKS Menulis Empat Tahun Menjabat-4: Cerita di Balik Mendapat Amanat jadi Direnstra & TI
Perlu dibangun kesepakatan bahwa project besar ini adalah project institusi dengan seluruh direksi dan unit satu tingkat di bawah direksi menandatangani project charter. Beruntung (lagi) pimpinan tertinggi sangat memahami TI dan berkomitmen menyuseskan project institusi ini dengan selalu mengingatkan tentang proses yang mesti memenuhi IT governance.
Untuk memudahkan penyebutan nama project dan memudahkan mengenang proses panjang ini, saya menyebut project besar ini sebagai Si Dito. Tentu ini nama sementara sebelum diberi nama secara resmi pada saatnya nanti.
Bukan tanpa maksud saya menyebutnya Si Dito. Ini memiliki makna bahwa ini sistem informasi yang dibangun di bawah kepemimpinan dua panglima dengan inisial yang jika digabung menjadi Dito. Dengan begitu, Si Dito boleh dibilang sistem informasi yang dibangun oleh Dito (dua nama digabung menjadi satu).
Kini kedua sahabat saya ini telah memasuki masa pensiun. Tulisan ini sebagai cara saya mengucap rasa terimakasih untuk dua orang Dito itu.
Para ksatria TI yang kebanyakan adalah developer handal, mengerjakan project ini seolah tak mengenal waktu. Siang malam, berkejaran dengan waktu. Mereka, bahkan tetap berkutat dengan project ini di kala libur hari Sabtu dan Minggu. Agar tak salah arah, unit lain diajak dalam diskusi termasuk untuk proses bisnis yang bisa dipersingkat secara otomasi.
Proses pengembangan sistem tetap mengacu dan mengikuti SDLC (Software Development Life Cycle) dimana pengembangan sistem perangkat lunak, yang terdiri dari tahap-tahap: perencanaan (planning), analisis (analysis), desain (design), implementasi (implementation), uji coba (testing) dan pengelolaan (maintenance). Walau harus diakui karena kebutuhan yang mendesak, beberapa proses dilakukan secara paralel.
NKS Menulis Empat Tahun Menjabat-5: Mari Meniti Lantai demi Lantai
Dan, tiba juga tanggal yang dinanti untuk melakukan launching Si Dito. Saya ingat betul tanggal bersejarah itu karena dibuat mudah untuk dikenang, 18.02.2018. Sebelum tanggal itu, tepatnya hari Kamis 15 Februari 2018, kami semua khusuk, duduk, menunduk, melafal doa-doa, memohon ridho Alloh SWT.
Malam itu, doa dipimpin oleh seorang ustadz yang sebelumnya memberi tausiah singkat. Setelah doa dipanjatkan, saatnya makan malam bersama dengan makanan dihidangkan di atas daun pisang. Terasa akrab dan sangat nikmat. Malam itu tanpa ragu saya santap hidangan termasuk menu petai atau pete.
Usai makan malam, saya diminta untuk memencet tombol enter yang sangat penting untuk menandai perubahan, meninggalkan sistem yang lama menuju Si Dito. Mulai tanggal 15 Februari 2018 malam, ksatria TI lembur hingga pagi bahkan ditambah hari untuk memastikan paling lambat tanggal 18 Februari 2018 bisa dioperasikan.
Namun cerita tak semanis yang kita duga. Selalu ada kendala, di setiap cerita bahagia. Saat itu, tanggal 18 Februari 2018 saya harus ke Kantor Cabang Slipi karena Si Dito belum bisa dioperasikan. Perubahan yang menyebabkan adanya kendala pelayanan sudah dipasang. Ini adalah antisipasi, agar tidak banyak keluhan dari para pelanggan.
NKS Menulis Empat Tahun Menjabat-6: Ini Tentang Mendekat Lebih Erat
Akhirnya sistem TI mulai bisa diajak kompromi. Belum paripurna, namun saya paham tak ada sistem yang langsung bisa berjalan sempurna. Pelan namun pasti, ksatria TI memperbaiki tanpa henti. Sementara, saya dan pimpinan tertinggi institusi harus safari untuk meredam resah dan kabar tak sedap yang beredar.
Saya tidak tahu persis, kabar miring itu, disebar siapa. Barangkali pihak yang meragukan kemampuan ksatria TI, tapi bisa juga pihak yang tak ingin kemandirian terjadi di institusi. Teror bahkan datang, menakut-nakuti. Terutama keraguan pada sistem yang belum paripurna. Tapi semua tak menyurutkan jiwa korsa ksatria TI dalam membangun kemandirian sistem dan teknologi informasi.
Saya ajak ksatria TI memberi bukti untuk menjawab pihak-pihak yang meragukan kemampuan sendiri. Saya salut ksatria TI tak takut teror tapi justru terbakar layaknya obor. Teror tak membuat mereka dongkol. Para ksatria TI sudah masa bodoh dengan ucapan, cibiran, dan perlakuan buruk orang.
Tapi cerita bahagia itu, pada akhirnya datang juga. Ksatria TI mempu menjawab keraguan semua orang dengan kemampuan membangun kemandirian sistem yang mestinya menjadi keseharusan.
NKS Menulis Empat Tahun Menjabat-7: Meniko Crito Duo Ono
Lalu, melalui sayembara internal, panggilan Si Dito berganti. Memang harus diganti, dilengkapi dengan logonya. Sebab, Si Dito sejujurnya adalah panggilan sayang saya saja. Kini nama resmi seolah berbahasa asing namun sejatinya ini Indonesia asli. Nama baru itu adalah Sistem inforMasI perLindungan pEkerja yang disingkat SMILE. Tentu dengan sebuah harapan dapat membuat tersenyum bahagia semua: internal institusi dan peserta.
Sambil menyiapkan tulisan ini (tulisan yang agak berat, karena melibatkan perasaan yang bercampur-aduk) saya melihat kembali foto saat makan malam sebelum menekan tombol enter yang sangat memorial itu. Sebuah momentum mengubah sistem yang kelak menjadi cerita bagi kita semua.
Saya tersenyum sendiri memandangi foto makan bersama para ksatria TI malam itu. Makan dengan menu petai kesukaan saya.
Pete (atau petai) adalah sebuah simbol bagaimana harus menghadapi perjalanan panjang membangun sistem.
Jika makan jengkol dapat menghilangkan jengkel dan makan pete dapat menghilangkan bete, malam itu, saya acungkan selembar pete kepada para ksatria TI yang tak akan melupakan hari kemenangannya.
Salam pete dan jengkol. Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS