Masalah Remisi di Sela Darurat Korupsi

Oleh: Dr. H. Joni.SH.MH.

HIruk pikuk pemilihan presiden sudah berakhir, kabinet sudah terbentuk dan sudah mulai bekerja. Sampai saat ini pemberitaan masalah korupsi masih belumterdengar gaung pemberantasan korupsi, khususnya yang dilakukan oleh KPK masih kalah oleh kekonolidasi internal KPK, sebagai akibat dari diundangkannya UU baru tentang pemberantasan korupsi oleh KPK.

Masalah internal inilah yang menjadi catatan pada saat diperingatinya hari pemberantasan korupsi se-dunia yang jatuh dan diperingati setiap tanggal 09 Desember. Namun apapun yang menjadi catatan, kondisi darurat korupsi masih tetap melekat pada tanah air Indonesia di akhur tahun 2019 ini. Kndisi yang tentu saja tidak menggembirakan dan tetap menjadi tantangan tersendiri di atas susahnya memberantas korupsi yang justru semakin hari semakin meningkat.

Peningkatan ini justru mengkhawatirkan di atas upaya yang terstruktur dan sistematis yang ditujukan ke lembaga pembeantas korupsi (KPK) untuk dilemahkan atau dipreteli kewenangannya sedikit demi sedikit. Berbagai kewenanganyang dulunya dijadikan sebagai andalan kinerja KPK berdasarkan UU yang baru kemudian dikebiri sedikit demi sedikit hingga bukan mustahil pada saatnya KPK tinggal sebagai lembaga administrative sebagaimana lembaga birokrasi poemerintahan lainnya. Hanya namanyayang garang, yaitu pemberantas korupsi.

Masalah Remisi Koruptor
Begitu kompleks, masalah yang menimpa KPK pasca pelantikan kepemimpinan yang baru beberapa waktu lalu. Jika diutiri, begitu panjang masalah yang menimpanya.

Memeerlukanprioritas pembenahan, dan itu tidak akan bisa selesai dalam satu periode. Oleh karena itu harusnya diorioritaskan terlebih dahulu, mana masalah yang katakanlah mudah dan terjangkau dan bisa disepakati oleh para pempinan, masalah yang memerlukan pembenaha segera.

Sekadar mengingatkan, bahwa masalah yang kiranya tidak tertalu berat dan memerluan solusi serta dapat dilakukan dalam waktu singkat adalah masalah remisi gbagi terpidana korupsi. Bahwa beberapa waktu yang lalu mantan gubernur Maimoen Zubair dibebaskan karena sudah tua dan sakit sakitan. Keputusan untuk pembebabasan itu tentunya bisa dipandang menciderai aspek kepastian hukum dari peraturan tentang pembebasan.

Namun demikian kiranyaperlu diingat dan dijadikan pertimbangan mendasar tentang konsistenisnya aa aturan tentang pembebaan diaksud. Untuk ini harus dicermati dasar hukum tentang pembebasan (bersyarat) terhadap para koruptor yang kemudian dapat menghirup udara bebas dimaksud.

Bagaimanapunketnetuan tentang ini, sebagaiamana tertuang di dalam SK Menkumham memnuai pro dan kontra.
Memahami secara garis besar pihak yang pro atas SK Menkumham itu menilai bahwa pengetatan untuk pembebasan bersyarat koruptor itu sesuai dengan semangat untuk memberantas korupsi. Paling tidak itu adalah upaya yang sementara ini dapat dilakukan untuk memberi efek jera kepada koruptor, dan tentunya bagi yang berniat melakukan korupsi. Aspek prosedural, dilakukan dengan berlindung di balik diskresi (discretionary, freies ermessen). Bahwa pemerintah berwenang mengambil kebijakan sebagai refleksi dari kepekaan terhadap semangat untuk memberantas korupsi, melalui pencabutan ketentuan tentang pembebasan bersyarat bagi koruptor.

Bagi yang kontra, berpegang pada asas legalitas bahwa dari sisi prosedural dan substansial, tidak ada alasan yang bisa dipertanggungjawabakan untuk tidak membebaskan terpidana korupsi. Mereka telah memenuhi syarat formal administratif (yaitu satuan waktu tertentu yang telah dijalani di penjara) dan substansial (mereka berperilaku baik, tidak neko-neko) sehingga tidak ada alasan untuk menunda kebebasaannya. Menunda, berarti melanggar Hak Asasi Manusia. Begitu alasan mereka. Penghapusan (pengecualian) atas aturan itu bertentangan dengan PP No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tatacara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.

Intinya PP tersebut, seorang terpidana yang sudah menjalani duapertiga masa hukuman berhak atas pembebasan bersyarat. Untuk itu, diatur tatacaranya oleh Depkumham, khususnya Dirjen Pemasyarakatan. Maka, Dirjen Pemasyarakatan pun mengatur bahwa untuk sementara pembebasan bersyarat untuk koruptor ditiadakan.

Dari perdebatan panjang yang tentu akan lebih panjang lagi jika diurai, secara sederhana bisa dipahami dua perbedaan itu pada satu titik. Titik dimaksud, ibarat sebuah proses perjalanan adalah tempat berangkatnya. Dalam dunia hukum dikenal ada berbagai macam penafsiran (interpretasi, interpretatiesleer), yang harus secara konsisten dijadikan sebagai landasan mengambil kebijakan atau menafsirkan ketentuan klausula dalam peraturan perundang-undangan. Penafsiran itulah titik bedanya.
Pertama interpretasi normatif.

Interpretasiini berangkat dari norma hukum yang secara pasti sudah tersurat. Tidak ada terjemahan selain yang tersurat, karena intepretasi di luar itu taruhannya adalah ketidakpastian hukum. Sementara itu di samping kepastian hukum, secara diametral ada aspek lain yang dituju, yaitu keadilan. Jadi mereka berangkat dari keharusan terpenuhinya kepastian hukum.

Kedua interpretasi sosiologis, yang berangkat pada kenyataan konkret di masyarakat. Masyarakat yang geregetan dan marah ingin koruptor dihukum berat. Ini adalah semangat yang harus menjadi dasar untuk diakomodasikan. Salah satu caranya adalah menunda pembebasan mereka.

Dari aspek ini, kendatipun sulit dicari ukuran secara kuantitatif, rasa keadilan menjadi legitimasinya. Bahwa benar, koruptor merampok uang rakyat dan nyaris membangkrutkan negara. Bahwa benar, korupsi merupakan extra ordinary crime yang sangat meresahkan masyarakat sementara institusi penegak hukum yang permanen (kepolisian dan kejaksaan) tidak mampu mengatasi.

Bahwa benar, untuk itulah dibentuk KPK dan pengadil para koruptor yang ada di tiap provinsi. Bahwa benar, pelaku koprupsi yang menggurita itu akhirnya hanya dijatuhi hukuman ringan, sehingga perlu ada upaya konkret untuk menahan laju pembebasan mereka dengan cara “sekadar” menunda pembebasannya. Salahkah itu?.

Hal ini kiranya menjadi perhatian khusus yang segera dapat ditindaklanjuti sebagai sebuah kebijakan yang dapat disepakati pbersama, oleh pimpinan KPK. Kiranya hal ini pula yang secara administrative dapat dijadikan sebagai semacam momentum memperingati hari anti korupsi sedunia tahun 2019 ini. (Penulis Notaris,Dosen STIH Habaring Huring, Pengamat Hukum dan Sosial tinggal di Sampit Kalimantan Tengah,)

About redaksi

Check Also

Inovasi Ketahanan Pangan Kota Semarang Kembali Raih Penghargaan Tingkat Nasional

Semarang,KORANPELITA com – Inovasi Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang di bidang ketahanan pangan kembali mendapatkan apresiasi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca