Saya kembali ke Medan. Ke Tanah Deli yang tak pernah berhenti berseri. Kekayaannya lengkap: budaya, sejarah, bahkan kuliner yang memikat rasa.
Tepatnya, Minggu lalu. Mendadak karena memang tiba-tiba dan tak terjawab. Sebab saya harus menggantikan pak bos untuk mengajar mengenai Peran Sektor Industri Keuangan Non Bank dalam Mendorong Inklusi Keuangan.
Tempatnya, di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan sewindu Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Saya tidak sendirian, karena ditemani bu Sondang, dari bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen yang asli Medan. Ada Bu Sondang di samping saya, tentu saja, membuat tugas ini menjadi lebih ringan dan menyenangkan. Sudah terbayang keseruannya berburu kuliner.
Begitu pesawat mendarat di bandara Kuala Namu, kami agak tergesa-gesa karena ingin mengejar Railink. Ini kereta bandara yang secara rutin berangkat dari bandara menuju Medan dan sebaliknya.
Sengaja kami memilih Eailink karena merupakan transportasi yang cepat dan nyaman, sehingga malamnya masih punya waktu untuk menikmati Medan. Sampai di stasiun. Saya agak kaget, karena yang nyambut serombongan.
Ada pak Jusup Ansori dan pak Antonius Ginting, pimpinan OJK Sumatera Utara dan juga teman semasa di pengawasan perbankan. Mereka mengajak ke Roemah kopi Wak Noer Jl Uskup Agung yang didekor kekinian.
Sengaja saya hanya memesan caramel latte dan pisang goreng. Mengapa? Agar tidak terlalu kenyang, karena bu Sondang mengajak ke gulai kepala ikan Pondok Gurih yang masyur di Jl Brigjen Katamso. Saya tidak perlu berpikir dua kali untuk menerima tawaran itu, meski sesungguhnya, saya bukan penggemar gulai kepala ikan.
Dan benar. Di Pondok Gurih, makanan yang tersaji dalam porsi jumbo. Misalnya nasi bungkus daun pisang yang telah ada lauknya. Saya memilih berbagi saja, karena yakin tidak akan habis sendiri porsi sebanyak itu.
Gulai kepala ikannya lebih encer daripada yang ada di Medan Baru Jakarta, selain itu ada juga ayam gorengnya yang enak.
Malam bergerak, tapi perjalanan kami belum berhenti. Langkah berikutnya dibawa ke durian Ucok di Wahid Hasyim. Konon belum sah ke Medan kalau belum ke durian Ucok. Malam itu baru saja datang kiriman satu truk durian dari Aceh.
Jadi meskipun terkenal dengan nama durian Ucok Medan namun duriannya berasal dari daerah sekitar Sumatera Utara sampai Aceh. Karena kalau hanya mengandalkan dari Medan pastinya akan kehabisan pasokan.
Setelah puas menikmati durian barulah kami menuju hotel untuk istirahat dan menyiapkan tugas yang sesungguhnya yaitu mengajar.
Pagi itu, saya dan bu Sondang sengaja memakai busana bernuansa hijau saat mengajar di UISU. Karena kebetulan kami satu group hijau dalam rangka ulang tahun OJK.
Kesegaran pagi, tidak hanya datang dari busana warna hijau yang kami kenakan tapi pantun yang saling berbalas. Pertama oleh wakil rektor, lalu Kepala OJK.
Tak mau ketinggalan sayapun unjuk kebolehan berpantun saat mengajar. Begini pantunnya, Berburu ke padang datar, dapat rusa si belang kaki, di UISU OJK mengajar, untuk generasi cerdas di hari nanti.
Tentu perlu gaya yang tepat untuk mengajar para millenial meskipun yang mengajar lahir di jaman kolonial.
Setelah menjelaskan mengenai berbagai kegiatan untuk mendorong inklusi keuangan seperti program asuransi wajib yaitu untuk petani, peternak, nelayan, petambak yang mendapat subsidi premi dari pemerintah sehingga meringankan masyarakat kecil, ada juga asuransi mikro seperti asuransi demam berdarah, asuransi mikro warisanku, asuransi kecelakaan dengan premi yang terjangkau bagi masyarakat.
Selain itu, ada juga pembiayaan mikro yang disalurkan oleh Bank Wakaf Mikro dan pembiayaan untuk menunjang sektor pariwisata.
Setelah selesai acara di UISU, berdua, kami kembali menikmati Medan. Tempat yang direkomendasi adalah rumah makan Bintang di Jl Tarumanegara.
Ada tim ikan bawal yang terkenal lezat. Begitu makanan tersaji tanpa perlu dikomando kami segera menyantap tim bawal dan teri kacang yang sangat enak ditambah tumis jantung pisang. Sempurna rasanya, menu makan siang kami.
Sesi terakhir di Medan, adalah berburu oleh-oleh. Belum lengkap rasanya bila tidak membawa oleh oleh khas Medan sehingga kami segera menuju Gang Pasir untuk membeli manisan jambu dan sirup martabe serta teri Medan.
Kemudian dilanjutkan menuju jalan Kruing untuk membeli bolu Meranti yang terkenal. Untung semua oleh-oleh itu, termasuk durian Ucok bisa muat dalam satu dos sehingga mudah dimasukkan bagasi.
Perjalanan kali ini, sungguh lengkap. Tugas selesai, kuliner nikmat, banyak oleh-oleh, serta bisa bertemu teman-teman yang menyenangkan. Sampai di Jakarta, saya disambut kenikmatan yang lain: langit senja yang menawan.(*)