Dan, hari yang ditunggu akhirnya tiba. Senin pagi 16 September 2019 menjadi hari pertama masuk ‘kuliah’. Kelihatan semua bergairah. Siapa yang tidak senang bisa kuliah di sekolah terkenal bernama Cheung Kong Graduate School of Bussiness (CKGSB) di Shanghai? Tidak ada. Yakinlah semua bangga bisa menuntut ilmu sampai ke Negeri China.
Warna jingga di langit timur Shanghai menandai pagi menghampiri. Saya mengawali hari dengan menyembah Illahi. Sholat subuh disertai dengan doa-doa untuk diri dan orang-orang yang tersayang.
Terpekur. Sujud syukur, mengucap terimakasih atas semua nikmat yang tidak bisa lagi didustakan. Sangat jelas belas kasih dan karunia luar biasa untuk saya, lha atase wong ndeso kok iso tekan negoro Cino.
Selesai sholat, saya dandan. Berkaca, mematut diri, merapikan jas hitam yang sebenarnya sudah rapi. Dalam hati, agak risi, karena mau kuliah tapi harus mematut-matut diri. Segera saja, ingatan terlempar ke masa puluhan tahun lampau. Masa-masa kuliah yang boro-boro dandan, apalagi dandan plus pakai jas. Sedangkan baju saja hanya itu-itu melulu.
Sudah. Menjauh dari kesilaman, saya tergeragap oleh kedatangan Ms. Yingying, staf dari CKGSB yang menjemput agar kami tak tersesat. Sejatinya kampus CKGSB sangat dekat, tak lebih dari 5 menit jalan pelan. Tak perlu berlari.
Sampai. Seperti hari pertama saat kuliah dahulu, para mahasiswa diajak orientasi lingkungan kampus. Prof. Zhou Li, sebagai Assistant Dean, menyambut ramah yang tak terlihat dibuat-buat.
Tiap peserta mengambil name tag dan kertas A4 yang dilipat dengan tulisan nama peserta yang cukup besar. Saya malah tak sempat mengambil tulisan besar itu, karena sudah diambilkan oleh rekan direksi yang baik hati dan tidak sombong.
Nah, inilah yang (selalu) menjadi masalah. Seluruh peserta memiliki nama lengkap dengan minimal dua kata, first name dan last name. Malah tidak sedikit yang tiga. Hanya satu peserta yang namanya pendek, tidak lengkap, serta satu suku kata. Siapa dia? Saya yakin, Anda bisa menebaknya.
Beruntunglah saya. Hari itu, tidak harus mengenalkan diri dengan menyebut first name dan last name. Berarti aman. Saya tidak perlu menyiapkan nama yang tepat, dilengkapi dengan middle name supaya benar-benar menjadi lengkap.
Paling-paling, andai harus menyebut nama lengkap, andalan saya adalah nama NKS. First, middle, and last name lengkap. Sangat lengkap. Bagi yang belum akrab dengan NKS, bisa membaca tulisan NKS sebelum-sebelumnya di koranpelita.com atau Buku NKS.
Saatnya orientasi kampus. Prof Zhou Li langsung yang memimpin ospek. Kami dijelaskan tentang sejarah, latar belakang dan tujuan fundamental pendirian SKGSB. Prof Zhou cerita bagaimana mengajak orang-orang China yang cerdas (pengajar di universitas ternama di berbagai belahan dunia) bergabung ke SKGSB.Tidak mudah untuk meyakinkannya. Juga, tidak murah untuk bisa menarik minatnya.
Selanjutnya, kami diajak semacam campus tour untuk mengenal tempat-tempat penting. Ditunjukkan ruang saat coffee break dan ruang makan siang, toilet, dan perpustakaan. Saya kurang tahu mengapa urutannya seperti itu. Saya menduga lebih karena lokasinya saja. Bukan urutan sesuai dengan siklus pencernaan.
Kampus SKGSB memang mengesankan. Simple tapi modern. Perpustakaan yang nyaman membuat kita malas beranjak. Perasaan menjadi lebih riuh ketika saya melihat ada buku yang berbeda. Buku NKS. Nami Kulo Sumarjono.
Bungah membuncah. Kebanggaan terselip di sudut hati mendapati buku NKS tersimpan rapi di library CKGSB. Tak masalah, meski buku itu, sengaja saya selipkan, kemudian difoto. Sebuah foto menghibur diri.
Oke. Ospek berakhir. Berikutnya momen yang terpenting dalam kegiatan seminggu di CKGSB. Momen yang akan menjadi barbuk bahwa kami pernah ‘kuliah’ di sini. Momen foto bersama dalam dua gaya: foto resmi dan foto bebas. Foto resmi semua peserta memasang muka paling ganteng atau paling cantik.
Seperti biasa, saat foto bersama, saya di belakang hingga tidak terlihat begitu jelas. Agar tak diketahui saya masuk pada kegantengan tingkat berapa. Atau lebih tepatnya tak ingin merusak keseluruhan foto jika saya nampak begitu kentara.
Nah, begitu giliran foto bebas, sungguh tak kelihatan bahwa peserta itu adalah para pimpinan tinggi institusi. Padahal dari daftar peserta, saya tahu pesertanya adalah para direktur dan komisaris/dewas ataupun senior manager dari berbagai perusahaan yang bergerak pada sektor jasa keuangan, sektor pendidikan, sektor jaminan sosial, sektor industri kimia, beberapa BUMN dan perusahaan anaknya.
Ternyata saat sesi foto bebas, peserta program tersebut (termasuk saya) seperti ABG yang baru lulus SMA. Benar. Baru lulus SMA 32 tahun yang lalu.
Selanjutnya adalah ‘core of the core’ dari kegiatan seminggu di Shanghai. Hari pertama di CKGSB diisi dengan sejarah perkembangan negeri China. Sejarah dari dinasti pertama hingga pimpinan tertinggi saat ini. Andai sejarah China disuguhkan tidak dalam slide presentasi namun dalam sebuah film pendek, pasti akan sangat menarik. Apalagi buat saya penggemar film kungfu.
Dan, disinilah, secara perlahan mulai terungkap rahasia besar negeri besar ini. Rahasia negeri peniru. Hampir seluruh profesor yang mengajar mengakui prinsip meniru buatan orang lain atau lebih tepatnya buatan negara lain diterapkan oleh China. Istilah yang biasa terdengar adalah C2C atau Copy to China.
Para profesor yang sebagian praktisi (atau minimal pernah menjadi praktisi bisnis) menjelaskan bahwa sudah menjadi semacam kebiasaan bagi perusahaan di China untuk meniru sebuah ide atau produk. Terutama oleh perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi seperti web, internet, startup, dll.
Perusahaan-perusahaan peniru itu acapkali lebih sukses. Mengungguli perusahaan asing di pasar China yang ditirunya. Cara menirunya pun bervariasi. Termasuk meniru namanya sehingga mirip, namun dalam bahasa China. Ada pula yang meniru cara menawarkan layanan yang persis sama dan bersaing secara langsung dengan yang ditirunya.
Di China, menjadi yang pertama mengeksekusi ide baru bisa jadi tidak memberikan apa-apa. Malah, tidak jarang, menjadi perusahaan yang pertama, bukan jaminan mendapat keuntungan. Sangat banyak perusahaan peniru yang jauh lebih unggul, karena berhasil mengeksekusi produk tiruannya menjadi lebih baik.
Harus diakui, pada dasarnya orang China itu pekerja keras. Mereka tidak sekadar meniru, tetapi menambah fitur layanan lain sehingga produknya lebih unggul dari yang ditiru. Tapi kini, era C2C atau Copy to China sudah mendekati akhir. Era baru Copy From China muncul, disusul era Copy to Innovate. Banyak negara lain, yang saat ini justru meniru dan menggunakan produk China.
Kuliah tentang tiru-meniru tuntas di hari pertama. Di hari kedua, ada yang agak istimewa. Perkuliahan dimulai agak siang. Pukul 09.00 WS (Waktu Shanghai). Menjadi istimewa karena setelah bangun tidur saya bisa memberikan hak bukan hanya bagi jiwa agar sehat dengan beribadah, tapi juga bagi raga dengan olahraga.
Saat itu, saya tidak lagi menjadi anggota Perjaka Senja (Persatuan Pejalan Kaki Senayan Jakarta), tapi menjadi anggota Perjaka Shanchi, Persatuan Pejalan Kaki Shanghai China. Saya tidak sendiri menjalani hobi, karena ditemani Pak Naufal yang wajahnya mirip benar dengan perjaka dari Shanghai.
Ritual berikutnya sarapan pagi, mandi, dan mematut diri sebelum kembali berjalan kaki menuju kampus. Kali ini kami tak lagi dijemput oleh Ms. Yingying. Sudah mulai bisa mandiri walau mungkin Ms. Yingying masih khawatir jangan-jangan ada dari kami yang tersesat. Untungnya, saya sampai di kampus dengan selamat.
Topik yang dibahas pada hari kedua ‘kuliah’ lebih menarik. Tidak ada yang mengantuk di dalam kelas kecuali yang susah tidur tadi malam.
Prof Teng Binsheng dan Prof Zhang Weining memberikan penjelasan dengan contoh-contoh sangat menarik. Mereka sepakat bahwa tatanan dalam segala hal berubah setelah adanya internet. Ini pula yang membuat modal (uang) saja tidak cukup di era teknologi informasi. Data menjadi tambang minyak baru.
Perubahan tatanan kehidupan terjadi di banyak hal. Ada beberapa contoh menarik yang disampaikan pak profesor. Beliau mengamati bahwa di China permen karet misalnya, yang biasanya dijual di dekat kasir dan pelanggan mengambil sambil menunggu antrean membayar, sekarang penjualan permen karet turun drastis.
Tidak berarti bahwa orang tidak lagi suka dengan permen karet. Tapi ada perubahan perilaku. Jika dahulu orang China membayar dengan uang cash dan permen dibeli jika ada kembalian receh, kini mereka tak lagi menggunakan cash. Mereka beralih menggunakan uang elektronik dan sibuk melihat handphone saat antre membayar. Tidak lagi melihat sekeliling. Tidak juga melihat permen karet. Saya tidak tahu apakah di Indonesia fenomena penurunan penjualan permen karet ini juga terjadi.
Contoh lain yang menarik adalah turunnya penjualan mie instant yang siap seduh. Yang di gelas atau mangkuk sterofoam. Hal ini terjadi akibat sudah ada jasa pesan antar sehingga tidak perlu repot menyeduhnya.
Jadi begitulah. Dua hari yang menyenangkan saya lalui. Bukan hanya materi para profesor yang menarik, tapi juga antusiasme para peserta kuliah sehingga kelas bisa sangat hidup. Kekaguman selanjutnya, ada pada Bahasa Inggris peserta program yang sangat bagus.
Dan, biar kelihatan bagus, saya tak mau kalah. Hanya sialnya, meski sudah dibagus-baguskan, bahasa Inggris saya tetap model Jonglish alias Jowo English. (*)
Salam NKS: Niru Kisah Sukses