Oleh: Prof Dr H Haryono Suyono. MA, PhD
Keputusan Bapak Abdul Majid, Kepala BPS waktu itu (almarhum), pada akhir tahun 1972, memberi ijin kepada Haryono Suyono secara penuh mengabdi kepada Negara dan Bangsa melalui BKKBN, sungguh merupakan keputusan yang berarti bagi masa depan program KB di Indonesia sekaligus merupakan tantangan yang menarik untuk dilaksanakan dengan dedikasi tinggi demi kemajuan bangsa dan negara. Segera setelah itu Kepala BKKBN Pusat, dr. Suwardjono Suryaningrat (almarhum), menetapkan Haryono Suyono, yang stauts kepegawaiannya baru berpangkat IIe, sebagai Koordinator Biro Penelitian dan Pelaporan (eselon ii) biarpun golongan pangkatnya belum disesuaikan, menunggu keputusan Badan Kepegawaian Negara biarpun menyandang gelar Doktor baru dari Amerika. Keputusan itu baginya merupakan kehormatan sekaligus tantangan yang menarik.
Dengan kepercayaan diri dan tekad yang kuat segera dilakukan konsolidasi dan koordinasi bersama beberapa pejabat senior dan bergerak cepat mengundang berbagai Perguruan Tinggi membangun kerja sama yang erat berupa jaringan penelitian dan pengembangan memperkuat rencana operasional yang menggerakkan program KB lebih dinamis. Dalam diskusi dengan berbagai kekuatan jaringan pelayanan pemerintah di kala itu, khususnya dalam bidang komunikasi, informasi dan edukasi serta jaringan pelayanan kontrasepsi, dapat diketahui betapa lemahnya jaringan yang kita miliki pada tahun 1972 itu. Dalam perhitungan kasar, apabila setiap tahun hanya diperoleh sekitar 150.000 peserta KB, maka diperlukan waktu ratusan tahun tingkat kelahiran bakal menurun sesuai dengan cita-cita yang telah digariskan.
Setelah dilakukan diskusi bersama berbagai ahli senior dari banyak Perguruan Tinggi dan Pimpinan Lembaga Donor, khususnya dari US AID, Ford Foundation, UNFPA dan lainnya, maka diputuskan perlunya dikembangkan suatu program studi pemberdayaan di lapangan melalui perkenalan program KB langsung kepada rakyat di desa, mendampingi pendekatan klinik yang sedang dijalankan. Alasannya karena jumlah klinik, petugas dan fasilitas yang terbatas serta jangkauan yang relatif kecil. Lebih-lebih kalau diingat bahwa calon peserta KB adalah pasangan usia subur yang tidak sakit, maka akan banyak pasangan yang tidak akan terjangkau.
Dengan persiapan yang matang selama dua tahun melalui berbagai pertemuan, Seminar dan kerja keras seluruh staf, dan dengan dukungan sponsor Lembaga Donor seperti USAID dan UNFPA, sementara kedudukan Koordinator telah dikukuhkan sebagai Deputy Penelitian dan Pengembangan dengan Keputusan Presiden dan pangkat tituler IVC, dimulailah studi pengembangan pendekatan kemasyarakatan KB di beberapa daerah di Jawa. Studi itu bukan hanya melakukan pendataan tetapi serentak dilakukan upaya pemberdayaan petugas yang langsung melakukan kegiatan operasional di desa. Studi lapangan yang gegap gempita, karena diikuti upaya Komunikasi dan Edukasi dengan pendekatan yang populer, segera menjadi model baru yang membawa program KB seakan berubah menjadi suatu gerakan masyarakat yang gegap gempita. Pada tahun kedua dan ketiga, studi lapangan itu makin menjangkau banyak daerah yang ikut karena program KB bertambah populer.
Setelah masa lima tahun sebagai Deputy Penelitian dan Pengembangan, Kepala BKKBN yang mendapat petunjuk Presiden Soeharto memindah tugas kepada Deputy Operasional mengembangkan program KB secara operasional melalui pendekatan kemasyarakatan dengan mengikut sertakan Gubernur, Bupati, Walikota dan perangkat desa secara luas sesuai prinsip pendekatan masyarakat yang beliau baca beritanya hampir setiap hati melalui media dan televisi RI, yang waktu itu merupakan media televisi satu-satunya yang paling populer di Indonesia.
Sebagai Deputy Operasional, bersama seluruh jajaran, tidak saja dengan dana bantuan Donor, juga dengan dana APBN, dikembangkan pendekatan kemasyarakatan secara luas di 16 provinsi dan akhirnya di seluruh Indonesia. Kegiatan program KB makin memasyarakat dan menyentuh pedesaan secara masal. Pada tahun 1980 diadakan Sensus Penduduk dan ternyata angka fertilitas belum menurun. Program KB di hantam kritik oleh berbagai kalangan kenapa angka fertilitas belum turun. Kepala BKKBN memerintahkan memberi tanggapan yang gamblang disertai data lengkap agar masyarakat mengetahui proses yang sedang terjadi dan dampak adanya pendekatan masyarakat yang jauh lebih luas dibanding pendekatan klinik yang berlangsung pada tahun-tahun pertama dilaksanakannya program KB. Khalayak diminta sabar karena kehamilan berumur sembilan bulan sehingga angka kelahiran tahun 1980-an adalah hasil kehamilan tahun-tahun sebelumnya.
Mungkin karena keyakinan informasi itu terbukti pada tahun-tahun berikutnya, Haryono Suyono mendapat pujian pemerintah dan diberi penghargaan Bintang Maha Putera Utama dan tahun 1992. Pada tahun berikutnya di tugasi sebagai Kepala BKKBN, biarpun pangkat kepegawaiannya masih pada golongan IIIC, sehingga perlu diberi pangkat tituler IVC berdasar Keputusan Presiden RI, suatu kehormatan dan tantangan yang tinggi. Terobosan itu selanjutnya mendapat penghargaan inovasi pendekatan kemasyarakatan dari dunia internasional sebagai terobosan oleh putra bangsa Indonesia yang dianggap genius.
Melihat hasil gemilang pendekatan kemasyarakatan yang dilakukan hampir oleh semua kekuatan bangsa yang di kembangkan melalui kesungguhan dan komitmen Presiden dan aparat serta rakyat Indonesia yang tinggi itu, pada awal tahun 1987 diusulkan agar target penurunan angka kelahiran sebesar 50 persen pada tahun 2000 bisa dipercepat menjadi turun 50 persen pada tahun 1990. Usul tersebut disetujui oleh Presiden Soeharto dan ternyata pada tahun 1989 tanda-tanda penurunan separo angka kelahiran di tahun 1990 dibanding keadaan tahun 1970 itu tercapai, sehingga PBB memberikan penghargaan tertinggi, UN Population Awards kepada Presiden RI, Bapak HM Soeharto atas komitmen dan dukungannya yang luar biasa.
Setelah diterimanya penghargaan tersebut pemerintah bertekad menyegarkan tujuan program KB tidak saja mengajak pasangan usia subur ber-KB tetapi membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera, memperbaiki delapan fungsi keluarga, termasuk utamanya mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan mutu penduduk Indonesia. Oleh karena itu sejak saat itu dikembangkan UU Keluarga Sejahtera yang disyahkan DPR pada tahun 1992. Atas dasar UU itu pada tahun 1993 di tetapkan Hari Keluarga Nasional sebagai awal upaya menurunkan kemiskinan secara sistematis melalui Inpres Desa Tertinggal (IDT) untuk sekitar 20.000 desa dipimpin oleh Menteri Ginanjar Kartasasmita dan Inpres Keluarga Sejahtera (IKS) untuk sekitar 40.000 desa dipimpin oleh Menteri Haryono Suyono yang diarahkan mendukung penurunan tingkat kemiskinan yang di tahun 1970 tingkat kemiskinannya masih berkisar sekitar 70 persen dan di tahun 1990-an sekitar 30 persen.
Melalui kerja sama lintas sektor dengan menggunakan Peta Keluarga sebagai roadmap dan arahan fokus pada keluarga prasejahtera, alhamdulillah tingkat kemiskinan bisa diturunkan menjadi 11 persen pada tahun 1997. Untuk itu, Dirjen UNDP PBB datang ke Jakarta menyerahkan Penghargaan PBB untuk Presiden RI HM Soeharto karena keberhasilan yang gemilang tersebut. Upaya gegap gempita itu dilanjutkan oleh Presiden Jokowi dan tingkat kemiskinan di garap melalui disediakannya dana desa yang dikirim langsung ke desa-desa untuk perbaikan infrastruktur, seperti IDT, dan untuk memberi kesempatan keluarga desa membangun ekonomi keluarganya, seperti IKS, dengan magnitute jauh lebih besar karena semua desa digarap secara serentak. Semoga tingkat kemiskinan segera menurun tajam dan keluarga Indonesia menjadi lebih bahagia dan sejahtera. Amin. (Penulis, Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya)