Selesai sesi, perut perlu diisi. Rasa penasaran mengajak menepi ke sisi pinggir kota Jogja. Arah dibawa ke kawasan Pakem di Sleman. Ada yang sedang hits karena sering disebut oleh rekan-rekan saat datang ke Jogja. Kopi klotok.
Perlu waktu 30 menit untuk mencapai tempat ini dari lokasi mini symposium. Entah kenapa, kami datang pas tidak ada antrean seperti yang diceritakan teman-teman.
Memang saat akan berangkat ke Kopi Klotok ada yang membekali semangat jika harus terjebak dalam antrean panjang dan lama. Tapi saya yakinkan bahwa ada cara yang pas agar saat datang tak perlu antre lama. Ternyata ucapan itu doa, dan doa itu terkabul. Tidak perlu ngantre.
Tapi tak berapa lama setelah kami duduk, langsung banyak yang datang dan antrean panjang terjadi.
Di Kopi Klotok kita mengambil makanan sendiri. Ada nasi, lalu beberapa variasi dari lodeh (lodeh kluwih, lodeh tempe lombok ijo, dan lodeg terong), tahu dan tempe.
Melihat semua itu, ingatan dengan begitu saja berloncatan ke masa lampau. Terutama ingatan tentang masakan Simbok. Masakan yang luar biasa enaknya.
Yang paling top di Kopi Klotok adalah telor dadar. Menu sederhana tapi luar biasa larisnya. Kemudian, jangan lupa mencicipi gurihnya pisang goreng.
Sudah. Jogja memang tidak pernah berhenti memberi cerita. Tidak hanya cerita dari Kopi Klotok atau simposium menarik di UGM, tapi cerita lainnya.
Pada pagi berikutnya, sebelum kembali ke Jakarta, saya mampir membeli makanan khas Jogja sebagai oleh-oleh di rumah. Gudeg Jogja. Tidak banyak, hanya untuk mengobati rasa rindu gurihnya ayam dan telor dalam gudeg Yu Jum.
Itu sudah membuat rasa bahagia serasa membuncah. Dan ini penting untuk membuktikan teorema NKS bahwa Ndeso tidak berarti Nelongso. (*)
Ditulis dengan dicicil, mengisi waktu di perjalanan. Berkembang terus ilmu matematika, statistika, dan aktuaria.
Salam NKS: Nami Kulo Sumarjono