Pontjo Sutowo : Pancasila Menjadi Paradigma Sistem Hukum Indonesia

Jakarta, Koranpelita.com

Pancasila merupakan dasar filosofis (philosofische grondslag), ideologi negara, norma fundamental negara (staatfundamental norm), dan sebagai sumber segala sumber hukum. Pancasila juga adalah Cita Hukum (Rechtsidee) Indonesia.

“Konstitusi Negara kita menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, rechstaat, bukan negara kekuasaan, machstaat. Sebagai negara hukum dan sebagai negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat, Indonesia tentunya secara ideal dan faktual memiliki sistem hukum nasionalnya sendiri yang berbasis pada jatidiri dan kepribadian bangsa, filosofi, dan nilai-nilai luhur dalam masyarakat Indonesia sendiri, yang semuanya terkristal dalam Pancasila,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo dalam Focused Group Discussion (FGD) Tata Kelola Politik “Mempersoalkan Paradigma Hukum Nasional: Mewujudkan Negara Hukum Pancasila”, di Jakarta, Jumat (13/12/2024).

Pontjo mengatakan, paada aras ideal, sistem hukum kita itu berdiri di atas pada Pancasila sebagai norma dasar (grund norm), sehingga jika kita menemukan hal-hal yang mesti kita pertanyakan pada aras faktual, maka dasar untuk ‘kembali’, mempersoalkan, dan memperbaikinya adakah dengan merujuk pada Pancasila. Sebab, Pancasila di samping sebagai sumber qqqhukum (source of law), juga merupakan sumber etika (source of ethics) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila katanyaa, merupakan ruh bagi hukum dasar kita (the spirit of the constitution), yang mengalami penubuhan atau embodiment dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis.

Dengan demikian, Pancasila menjadi paradigma sistem hukum nasional, yang menjiwai substansi, kerangka sistem hukum nasional, dan dalam derivasi ke dalam peraturan perundangan-undalangan pada tingkat yang lebih rendah serta implementasinya. Meminjam kerangka Friedman, Pancasila mendasari substance, structure, dan legal culture dalam sistem hukum nasional Indonesia.

Dalam rumpun pengetahuan, teori, dan filsafat hukum, dikenal doktrin bahwa hukum merupakan instrumen untuk melakukan rekayasa sosial, law as tool of social engineering, sebagaimana keyakinan para ahli dalam mazhab hukum sosiologis, yang dipelopori utamanya oleh Roscoe Pound.

“Pada pokoknya, mazhab hukum ini mengajarkan bahwa tatanan ideal masyarakat harus dibentuk dan dilahirkan melalui hukum. Jadi hukum memiliki fungsi manufacturing dan membentuk tatanan sosial. Namun, aspek yang jarang sekali diperbincangkan dalam dunia akademik dan praksis hukum kita adalah bahwa hukum merupakan instrumen kebangsaan. Hukum kita idealnya memiliki fungsi untuk memperkuat keindonesiaan dan peradaban sosial bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sangat relevan lagi urgen, untuk merefleksikan paradigma hukum nasional Indonesia, apakah ia semata-mata dibangun berdasarkan warisan kolonialisme Belanda yang visi utamanya mewujudkan ketertiban umum dalam sebuah koloni untuk menunjang agenda-agenda kolonialisme, ataukah kita sudah secara serius mengikhtiarkan agar paradigma hukum kita diikhtiarkan untuk mengokohkan kebangsaan Indonesia dan bervisi pada upaya untuk membangun bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan Makmur,” jelasnya.

Nilai-nilai dan jatidiri bangsa Indonesia

Lebih lanjut Pontjo mengatakan, agenda untuk memperbarui hukum nasional yang sesuai dengan nilai-nilai dan jatidiri bangsa Indonesia masih harus terus dilakukan. Namun dalam kenyataannya hingga kini, untuk sebagian besarnya, Indonesia masih mewarisi paradigma civil law dari hukum kolonial Belanda.

“Memang dalam perkembangannya Indonesia juga mengadopsi sebagian unsur dari tradisi common law, terutama prinsip rule of law. Namun dalam praktiknya yang lebih dominan dalam dunia hukum kita adalah karakter civil law tersebut. Paradigma civil law diimplementasikan melalui tradisi hukum positivistik, legal-formal, terikat pada teks UU sebagai sumber hukum, dan mengedepankan kepastian hukum,” jelasnya.

Namun demikian lanjut Pontjo, tradisi ini cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tradisi positivis menganggap hukum yang dibentuk oleh penguasa secara legal-formal dalam bentuk peraturan perundang-undangan tertulis (legislated law) merupakan satu-satunya sumber hukum. Ruang bagi hukum yang hidup di tengah masyarakat tidak banyak diakomodasi. “Betul bahwa sudah ada upaya untuk mengakomodasi secara sporadis hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat, living law, dalam KUHP baru kita, namun secara umum hal itu tidak mengurangi kecenderungan utama hukum kita yang positivistik dan legal-formal,” tungkasnya.

Tradisi hukum yang terlalu positivistik dan legal formal akan sangat bias kekuasaan politik, karena seringkali produk hukum yang dihasilkannya cenderung menjadi corong kepentingan

pembentuknya (yaitu eksekutif dan legislatif). Tradisi ini tentu saja berpijak pada salah satu doktrin utama bahwa hukum adalah produk politik dan dalam praktiknya hukum mudah tergelincir sebagai sarana legalisasi dan legitimasi kepentingan penguasa. Pada kadar tertentu, hukum lalu menjadi instrumen kekuasaan. Hukum lalu dengan gampang dimanfaat sebagai alat penguasa yang sering disebut oleh teoritikus hukum kritis sebagai autocratic legalism.

Kecenderungan legalisme otokratis berkorelasi dengan merosotnya demokrasi serta pengabaian kedaulatan rakyat dan keadilan sosial kita. Indeks demokrasi dan tata kelola kedaulatan rakyat dan keadilan yang merosot, yang ditandai dengan demokrasi ‘cacat’, flawed democracy, dan menyempitnya ruang warga, shrinking civic space, ternyata juga diikuti dengan stagnannya indeks negara hukum Indonesia.

Berdasarkan Indeks Negara Hukum (Rule of Law) 2024 dari World Justice Project (WJP), indeks negara hukum Indonesia mengalami stagnasi alias jalan di tempat, sejak tahun 2015 dengan skor indeks 0,51 hingga tahun 2024 dengan skor 0,53.

Di sisi lain, terdapat persoalan yang lebih mendasar, yang mana Pancasila sebagai cita hukum atau rechtsidee, sebagai norma dasar atau grundnorm, dan sebagai ruh hukum dasar atau spirit of constitution, belum sungguh-sungguh menjadi panduan dalam pembentukan sistem hukum nasional.

Di ranah substansi hukum, banyak Undang-Undang yang dipersoalkan karena hanya berpihak pada kepentingan elite dan meminggirkan hak-hak dasar rakyat, misal hak ulayat masyarakat adat. Pada ranah penegakan hukum teramat sering kita mendengar grievance bahwa “hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas”. Fenomena digital belakangan ini menunjukkan fenomena baru “No Viral No Justice”.

“Ini semacam tanda bahaya bagi kebangsaan kita kalau public distrust atas hukum menguat, karena rakyat tidak lagi berharap hukum akan dapat melindungi hak dasar dan kepentingan mereka. Dalam kondisi demikian, hukum potensial gagal menjadi instrumen kebangsaan yang melemahkan kesatuan kita dalam keindonesiaan,” tutup Pontjo.

Focused Group Discussion (FGD) Tata Kelola Politik “Mempersoalkan Paradigma Hukum Nasional: Mewujudkan Negara Hukum Pancasila” Jakarta, 13 Desember 2024 hadir sebagai narasumber Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, M.A., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan Andy Omara Ph.D, Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Diskusi Serial Kebangsaan dalam ranah tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera telah dilaksanakan sejak Maret 2019, oleh Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahun Indonesia (AIPI), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan Media Kompas, yang hasil-hasil rumusannya menjadi bahan utama dalam penyusunan buku berjudul “Memperadabkan Bangsa: Paradigma Pancasila Untuk Membangun Indonesia”. (Vin)

About ervin nur astuti

Check Also

Maximus Tipagau : Banyaknya Potensi Untuk Menjadikan Mimika Sebagai Kota Percontohan di Tanah Papua

Jakarta, Koranpelita.com Mewujudkan Mimika bersatu, berdaya saing, sejahterah, dan pembangunan yang berkelanjutan itulah visi dari …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca