Oleh: Cahyonoadi Raharyo Sukoco, Wakil Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat
WAKTU dengan cepat bergulir menuju tahun 2024. Banyak harapan dan sekaligus kecemasan. Cemas kalau keadilan dan demokrasi gagal. Pada tahun 2024 kurang lebih separuh penduduk bumi, yakni sekitar dua miliar orang di 70 negara akan mengikuti pemilihan umum, dari Inggris sampai Bangladesh, India, Indonesia, dan negara-negara lainnya.
Demikian Pemimpin Redaksi The Economist, Zanny Minton Beddoes dalam catatannya yang dimuat pada edisi akhir tahun di media yang ia pimpin bertajuk “The World Ahead 2024”.
Harapan semua penduduk bumi yang ikut pemilihan umum 2024, pastilah perubahan kearah kebaikan. Demokrasi diharapkan tidak tergelincir pada demokrasi semu, illiberal.
Dunia menginginkan perubahan menjadi lebih baik: adil, tanpa diskriminatif, dan makmur bersama. Ketidakadilan, baik yang sudah terjadi maupun yang masih dalam rancangan berbagai kelompok serakah tidak menjadi harapan. Bahkan menjadi musuh bersama, masyarakat luas, para pebisnis, dan termasuk para pengusaha pers rintisan (start up) yang tergabung dalam organisasi pers Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).
Ketidakadilan dibungkus dalam berbagai kemasan yang sering kali terlihat dan terdengar indah. Masyarakat dituntut jeli melihatnya. Jangan terpedaya.
Di Indonesia, Sepanjang tahun 2023, SMSI menolak rencana ketidakadilan yang digagas sekelompok insan pers yang membujuk Presiden Joko Widodo untuk menandangani draf hak penerbit (publisher right) dengan alasan yang terbungkus demi memajukan media pers berkualitas.
Draf tersebut dirancang untuk menjadi peraturan presiden. Di dalamnya terdapat rancangan bagi-bagi kue iklan di antara media mainstream (arus utama) dan membatasi ruang gerak bisnis media rintisan yang sekarang berkembang pesat di seluruh wilayah Tanah Air.
Di dalam draf yang dirancang sebagai peraturan presiden (perpres) RI ini diberi batasan pagar kuat bahwa media yang akan mendapat hak-haknya sebagai penerbit harus terverifikasi oleh Dewan Pers, meskipun media telah berbadan hukum pers. Di sinilah ketidakadilan mulai ditanamkan.
Posisi terakhir, Joko Widodo (Jokowi) menolak menandatangani rancangan peraturan presiden yang sudah terus disodor-sodorkan untuk diteken.
Ketika didesak oleh sekelompok insan pers untuk menandatangani draf publisher right dengan alasan untuk menciptakan jurnalisme berkualitas, Jokowi tidak segera menekennya.
Jokowi tampaknya tahu, draf itu masih disikapi pro kontra di kalangan pers. Insan pers yang kontra berjumlah lebih besar. Mereka adalah usaha media pers rintisan yang secara terang-terangan menolak. Belum lagi masyarakat pengelola media sosial yang secara diam-diam tidak sepakat terhadap rancangan perpres tersebut.
Perusahaan pers besar akan diuntungkan, sedangkan pers start up akan tersingkir dari dunia bisnis pers jika perpres itu ditandatangani presiden, karena di dalamnya ada satu pasal yang mensyaratkan perusahaan pers “harus terverifikasi” oleh Dewan Pers untuk bisa mendapatkan kue iklan, termasuk iklan dari perusahaan platform digital global yang bernama Google. Sementara verifikasi perusahaan pers tidak dikenal dalam undang-undang pers nomor 40 Tahun 1999.
Ketika Presiden Joko Widodo secara resmi membuka Kongres XXV Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) 2023 di Bandung yang dibuka dari Istana Negara Jakarta, Senin (25/09/2023), ia sempat memberi isyarat dengan mengadu dua kepalan tangannya, sebagai pertanda draf perpres masih diwarnai pro-kontra di kalangan pers.
Tidak mungkin presiden menandatangani perpres yang akan digunakan untuk persaingan bisnis secara tidak sehat. Apalagi akan berakibat buruk bagi perkembangan perusahaan media rintisan.
“Kalau sampai draf itu ditandatangani pak presiden, sama saja pemerintah melakukan pembredelan secara sistematis. Ini melawan perkembangan demokrasi di Tanah Air,” tutur Ketua Umum SMSI Firdaus dalam berbagai kesempatan rapat SMSI yang beranggotakan 2000 perusahaan pers siber.
SMSI melalui berbagai tulisan mengingatkan Jokowi akan janjinya ketika debat calon presiden pada pencalonan periode keduanya. Joko Widodo mengatakan pentingnya dukungan terhadap perusahaan rintisan (start-up).
Yang dipahami sebagai perusahaan rintisan adalah termasuk perusahaan pers start up, media baru tumbuh yang sebagian besar dikelola oleh wartawan yang terkena pemutusan hubungan kerja akibat diterpa badai distrupsi teknologi.
Jokowi ketika itu akhirnya terpilih untuk periode kedua dan berlangsung hingga sekarang. Perusahaan yang baru tumbuh bersemangat dan memegang janji Jokowi.
Jokowi konsisten dengan janjinya, mendukung dan melindungi media-media kecil yang bertebaran di seluruh Indonesia. Jokowi masih berbuat adil.
Google Mengingatkan
Peringatan juga datang dari Google Asia Pacific. Google mengingatkan Pemerintah Indonesia mengenai masa depan media. Michaela Browning, Wakil Presiden Google Asia Pacifik yang menangani Urusan Pemerintahan dan Kebijakan Publik lah mengingatkan Pemerintah Indonesia mengenai rencana penandatanganan draf perpres tentang media massa tersebut.
Michaela Browning berpendapat rancangan peraturan presiden itu berpotensi mengancam masa depan media di Indonesia, serta kebebasan pers sendiri.
“Sebagaimana yang telah kami sampaikan kepada Pemerintah Indonesia, kami khawatir jika disahkan tanpa perubahan, tidak dapat dilaksanakan. Alih-alih membangun jurnalisme berkualitas, peraturan ini dapat membatasi keberagaman sumber berita bagi publik karena memberikan kekuasaan kepada sebuah lembaga non-pemerintah untuk menentukan konten apa yang boleh muncul di online dan penerbit berita mana yang boleh meraih penghasilan dari iklan,” tulis Michaela Browning, Selasa, July 25, 2023.
Menurut dia, Google membuat informasi mudah diakses dan bermanfaat bagi semua orang. Jika perpres disahkan dalam versi sekarang, peraturan berita yang baru dapat secara langsung mempengaruhi kemampuan Google untuk menyediakan sumber informasi online yang relevan, kredibel, dan beragam bagi pengguna produk Google di Indonesia.
Menurut Browning, jika disahkan Perpres Jurnalisme Berkualitas akan berdampak sebagai berikut bagi masyarakat Indonesia:
• Membatasi berita yang tersedia online: Peraturan ini hanya menguntungkan sejumlah kecil penerbit berita dan membatasi kemampuan Google untuk menampilkan beragam informasi dari ribuan penerbit berita lainnya di seluruh nusantara, termasuk merugikan ratusan penerbit berita kecil di bawah naungan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI). Masyarakat Indonesia yang ingin tahu berbagai sudut pandang pun akan dirugikan, karena mereka akan menemukan informasi yang mungkin kurang netral dan kurang relevan di internet.
• Mengancam eksistensi media dan kreator berita, padahal mereka adalah sumber informasi utama bagi masyarakat Indonesia. Tujuan awal peraturan ini adalah membangun industri berita yang sehat, tetapi versinya yang terakhir diusulkan malah mungkin berdampak buruk bagi banyak penerbit dan kreator berita yang sedang bertransformasi dan berinovasi.
Meta Juga Menolak
Seperti diberitakan banyak media pada tahun ini, perusahaan platform digital Meta yang mengelola facebook dan instagram juga menolak rancangan Perpres Publisher Rights.
Meta bahkan mengancam akan memblokir konten berita dari Indonesia di semua platform mereka, seperti Instagram dan Facebook.
Hal itu dikemukakan oleh Direktur Kebijakan Publik Meta untuk Asia Tenggara Rafael Frankel yang kemudian meminta pemerintah mempertimbangkan regulasi publisher rights.
Rafael mengatakan, Meta akan menerapkan kebijakan yang sama seperti di Kanada jika perpres tersebut disahkan.
“Kami sudah berkali-kali berdiskusi dengan pemerintah dalam penyusunan draf perpres ini,” ujarnya, Kamis (10/8/2023). “Kami konsisten dengan pandangan kami bahwa kebijakan ini tidak bisa dijalankan.”
Seperti dikutip ERA.id, Manajer Kebijakan Publik Meta Indonesia Noudhy Valdryno juga meminta pemerintah transparan dalam proses pembentukan regulasi tersebut.
Peringatan untuk Presiden Jokowi, tentunya juga ditujukan untuk presiden terpilih Februari 2024. Rakyat Indonesia berharap siapapun presidennya, keadilan, termasuk berbisnis media, tetap tumbuh subur di negeri ini. (*)