Jakarta, Koranpelita.com
Dalam perspektif pembangunan ranah tata kelola, belakangan dihadapkan oleh fenomena merosotnya “Kepercayaan Publik” terhadap Institus Institusi Negara Produk Reformasi. Sebagaimana di ketahui bersama, salah satu tujuan dari gerakan reformasi tahun 1998 adalah untuk mewujudkan negara hukum (rechtsstaat) yang demokratis, sebagai koreksi atas rezim sebelumnya yang berkarakter negara kekuasaan (machstaat) dengan cara-cara pemerintahan yang dianggap represif-otoriter.
Untuk mewujudkan tujuan reformasi tersebut maka yang pertama kali dilakukan adalah dengan mengamandemen UUD 1945. “Melalui empat kali amandemen UUD 1945, telah terjadi perubahan mendasar dalam desain ketatanegaraan kita, termasuk dengan menghadirkan lembaga-lembaga baru kenegaraan guna menopang cita-cita terwujudnya pemerintahan negara yang demokratis berlandaskan hukum (constitutional democratic state),” ujar Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam sambutanya di Acara Diskusi Serial Kebangsaan” Fokus Group Discussion Discussion (FGD) Ranah Tata Kelola, di Jakarta Jumat (19/5/2023). Yang telah dilaksanakan bersama oleh Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, HIPMI, dan Harian Kompas.
Dikatakan Pontjo, lembaga-lembaga baru kenegaraan hasil reformasi antara lain adalah Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, dibentuk pula beberapa lembaga pengawasan seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Nasional Kepolisian, Komisi Nasional HAM, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan lain-lainnya.
“Setelah 25 tahun reformasi, eksistensi dan peran lembaga-lembaga tersebut bagi demokratisasi serta konsolidasi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia mulai banyak disoal. Dari beberapa kajian akademis, laporan hasil survei, maupun laporan media massa, terungkap bahwa ada hambatan struktural maupun politik yang membuat lembaga-lembaga itu belum mampu berfungsi maksimal sesuai tujuan pembentukannya,” jelasnya.
Ketidak mampuan lembaga-lembaga ini lanjut Pontjo, juga ditandai oleh kecenderungan semakin meningkatnya praktik penyimpangan dari prinsip-prinsip negara hukum demokratis, yang justru dilakukan oleh apparat penegak hukum dan pejabat negara sendiri. “Meningkatnya praktik penyimpangan dari segi hukum ini menyebabkan pengamat hukum Tim Lindsey menyebut Indonesia adalah “rechtstaat in a lawless state”,” katanya.
Sementara lanjut Pontjo, penyimpangan dalam bidang hukum ini juga diikuti oleh praktik politik yang semakin tidak demokratis. Proses demokratisasi sejak reformasi, belum menghadirkan demokrasi substansial yang terkonsolidasi, bahkan banyak pihak menilai, bangsa Indonesia justru masih terperangkap praktik demokrasi elektoral dan elitis yang bersifat prosedural. Salah satu indikatornya, kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada pemerintah tanpa kontrol yang memadai dari publik.
Menurut Pontjo, kejadian ini juga dapat kita kenali dari laporan berbagai lembaga pemantau demokrasi. The Economist Intelligence Unit (EIU) misalnya, melaporkan bahwa pada tahun 2022 Indonesia masih masuk dalam kategori negara “demokrasi cacat (flawed democracy)” dengan skor indeks demokrasi 6,71. Dengan skor ini, Indonesia berada di peringkat ke-54 dari 167 negara. Sedangkan kajian Aspinal dan Eva Warbutton serta Ward Berenschot menunjukkan telah terjadi kemandegan demokrasi di Indonesia, bahkan dinilai tidak hanya mandeg tapi juga semakin mundur (from stagnation to regression).
“Tidak maksimalnya peran dan kinerja lembaga-lembaga reformasi dan
meningkatnya praktik penyimpangan yang dilakukan para fungsionarisnya juga oleh para pejabat negara dan aparat penegak hukum menjadi penyebab menurunnya kepercayaan rakyat atas lembaga-lembaga tersebut. Padahal, faktor kepercayaan (trust) justru sangat mendasar dalam demokrasi karena dengannya negara memperoleh legitimasi dalam menjalankan tugas-tugasnya secara efektif,” jelasnya.
Terus berkembang
Respons publik terhadap lembaga-lembaga produk reformasi 1998 yang cukup berkembang belakangan ini, antara lain terkait dengan peran Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dua lembaga yang sebelumnya sangat diharapkan dan mendapatkan kepercayaan tinggi dari publik. Muncul kritik atas kinerja dan peran dari MK dan KPK, yang akhir-akhir ini dinilai semakin melemah, tidak independen, dan cenderung dikooptasi oleh kekuasaan.
KPK yang semula begitu kuat dan berada di garda terdepan pemberantasan korupsi, kini “dilemahkan” melalui revisi UU KPK tahun 2019 di samping pemilihan
komisionernya yang mengindikasikan adanya campur tangan kekuasaan.
Demikian juga dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Kasus Hakim MK Aswanto yang diberhentikan oleh DPR-RI karena membatalkan Undang-Undang inisiatif DPR dan terakhir adalah kasus Hakim MK Guntur Hamzah yang terbukti mengubah frasa Putusan MK tapi hanya dikenakan sanksi etik dan administratif, menujukkan kelemahan dalam tubuh lembaga yang semula didesain sebagai special tribunal.
“Semua kecenderungan praktik politik dan hukum yang menyimpang seperti saya kemukakan tadi, telah mengakibatkan lembaga-lembaga negara hasil reformasi tersebut tidak mampu beperan secara maksimal, bahkan sebaliknya pada kasus tertentu ikut “larut” dalam praktik penyimpangan yang terjadi. Dan ini semua membawa akibat merosotnya tingkat kepercayaan (trust) publik atas lembaga-lembaga tersebut,” jelas Pontjo.
Hasil Survei terbaru
Menurut Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, survei terbaru dari Litbang Harian Kompas yang dilaporkan pada tanggal 27 Maret 2023 yang lalu, menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga lembaga yang dihasilkan reformasi untuk memperkuat mekanisme kontrol atas kekuasaan kini cenderung menurun.
Beberapa lembaga bahkan citra positifnya tercatat di bawah angka 60 persen, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (57 persen), Mahkamah Agung (57 persen), Mahkamah Konstitusi (52 persen), Dewan Perwakilan Daerah (52 persen), partai politik (52 persen). Lembaga yang mendapatkan citra buruk di atas 20 persen adalah Dewan Perwakilan Rakyat (29 persen) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (24 persen).
Menghadapi fenomena seperti itu, maka setelah 25 tahun reformasi berjalan, dirasa perlu untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas eksistensi, fungsi dan peran dari lembaga-lembaga hasil reformasi tersebut. Termasuk mengevaluasi apakah disain kelembagaan Negara atau bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya sudah berbasis pada Pancasila yang telah disepakati dan disetujui (consensus) oleh bangsa Indonesia sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju.
Acemonglu dan Robinson (212) mengingatkan kita bahwa sebab pokok kegagalan suatu negara bangsa bukan karena kurang adidaya atau sumber daya, melainkan karena salah disain kelembagaan dan tata kelola pemerintahannya.
“Kegagalan suatu negara tidak terjadi dengan tiba-tiba. Bibit-bibit kegagalan itu sebenarnya sudah tertanam jauh di dalam berbagai institusi politik kenegaraan, terkait bagaimana sebuah negara dijalankan, ” ujar Pontjo.
Dalam mendisain dan mengembangkan institusi kenegaraan, Barry Buzan dalam bukunya “People, States and Fear” (1983)”, menjelaskan bahwa “The idea of the state” atau ideologi/filsafat/dasar dibentuknya suatu Negara merupakan faktor sentral yang harus menjadi rujukan utama.
Dikatakannya faktor sentral karena berfungsi memberikan arah/petunjuk/pola dasar bagi pembentukan institusi-institusi pemerintahan negara atau sistem pemerintahan negara.
Dalam konteks Indonesia, tentu yang dimaksud dengan “the idea of the state” sebagai faktor sentral dalam mengembangkan kelembagaan negara adalah Pancasila. Sistem ketatanegaraan Indonesia yang hendak dibangun dan dikembangkan, tentu tidak bisa dipisahkan dari Pancasila sebagai ideologi atau jalan hidup berbangsa dan bernegara yang secara yuridis konstitusional sudah diterima dan ditetapkan pada 18 Agustus 1945 sebagai filsafat dan ideologi negara sebagaimana terdapat dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945. Karenanya, nilai-nilai Pancasila tersebut haruslah menjadi paradigma dalam merancang tata kelola Negara atau sistem ketatanegaraan Indonesia.
Menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga kenegaraan hasil reformasi tersebut, tentu menjadi keprihatinan kita bersama. Apalagi, banyak studi empiris menunjukkan dampak negatif yang ditimbulkan, khususnya terhadap kondisi sosial dan ekonomi bangsa. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya yang terstruktur, 1 Acemonglu & Robinson. Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty. (2012) sistematis, strategi dengan tahapan yang tepat.
Pemerintahan partisipatif yang mengedepankan partisipasi dan
transparansi akan lebih meningkatkan kepercayaan publik. Menurut, Lee, J.W (2005) partisipasi dan kepercayaan memiliki hubungan timbal balik, partisipasi dapat meningkatkan kepercayaan dan kepercayaan dapat meningkatkan partisipasi. Partisipasi dapat tercipta dari kepercayaan publik, dan partisipasi juga berperan sebagai pilar kepercayaan publik. (Vin)