Jakarta,koranpelita.com
Aliansi Selamatkan Hutan Jawa menelan kekecewaan. Meski dalam persidangan berhasil membongkar berbagai cacat hukum obyek sengketa, namun gugatan terhadap Surat Keputusan (SK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bernomor 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus pada Sebagian Hutan Negara yang Berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten tanggal 5 April 2022 (SK KHDPK) yang mengurangi separuh wilayah pengelolaan hutan Perum Perhutani, diputuskan tidak diterima oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Dalam putusannya, PTUN Jakarta menyatakan gugatan tidak dapat diterima, karena para penggugat dianggap tidak memiliki kepentingan hukum (legal standing) terhadap SK KHDPK. Meski gugatan tidak diterima, tak lantas membuat Aliansi Selamatkan Hutan Jawa patah arang. Melalui kuasa hukumnya, Indrayana Centre For Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm, Aliansi Selamatkan Hutan Jawa menempuh upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta.
“Kami tidak sependapat dengan Majelis Hakim. Para Penggugat yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Hutan Jawa jelas-jelas dirugikan dengan adanya kebijakan ini, baik kerugian faktual di lapangan maupun kerugian potensial. Apalagi dalam persidangan tim kuasa hukum berhasil mengungkap berbagai cacat hukum dari SK KHDPK. Karena itu, kami bertekad melanjutkan advokasi dan perjuangan ini dengan mengajukan upaya hukum banding melalui kuasa hukum pada hari ini ke PT TUN Jakarta,” tegas Nurochim selaku Perwakilan Para Penggugat yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Hutan Jawa.
Diketahui sebelumnya, Para Penggugat yang terdiri dari Serikat Karyawan Perum Perhutani Bersatu, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), organisasi lingkungan, dan karyawan Perum Perhutani secara perorangan yang kesemuanya tergabung dalam Aliansi Selamatkan Hutan Jawa mengajukan gugatan terhadap SK KHDPK di PTUN Jakarta dengan nomor perkara 275/G/2022/PTUN.JKT. pada tanggal 10 Agustus 2022. Pada prinsipnya, gugatan tersebut diajukan lantaran kebijakan yang mengurangi 1,1 juta hektar hutan yang dikelola Perhutani tersebut cacat secara hukum.
Kuasa Hukum Aliansi Selamatkan Hutan Jawa, Prof. Denny Indrayana, S.H, LL.M., Ph.D., meski menghormati namun sangat menyayangkan putusan majelis hakim PTUN Jakarta tersebut, padahal dalam persidangan pihaknya berhasil membuktikan berbagai persoalan hukum, lingkungan hidup dan sosial dalam penerbitan SK KHDPK.
“Dalam persidangan terbukti bahwa SK KHDPK diterbitkan tanpa melalui tahapan prosedural-formal, seperti sosialisasi dan partisipasi bermakna. SK tersebut juga bermasalah secara substansi, karena bertentangan dengan berbagai peraturan dan AUPB. Misalnya, memaksakan penetapan kawasan hutan yang dikelola Perhutani menjadi KHDPK. Padahal sesuai aturan, kawasan hutan yang pengelolaannya dilimpahkan kepada BUMN, dalam hal ini adalah Perhutani, tidak dapat ditetapkan sebagai KHDPK. Belum lagi, ada SK backdated yang diterbitkan untuk menutupi cacat SK KHDPK. Padahal ini pelanggaran fatal AUPB,”jelas Senior Partner INTEGRITY Law Firm tersebut.
Hakim Inkonsisten Menilai Legal Standing
Tidak diterimanya gugatan karena persoalan legal standing menunjukkan, inkonsistensi majelis hakim dalam mempertimbangkan kepentingan hukum para penggugat. Dalam berkas gugatan, INTEGRITY Law Firm sebenarnya telah mengantisipasi hal tersebut, dengan memasukkan kualifikasi dan variasi penggugat secara berlapis. Selain itu, preseden diakuinya legal standing yang diajukan oleh Serikat Karyawan BUMN dalam perkara lainnya telah diuraikan dalam gugatan.
Salah satu contohnya adalah Putusan Nomor 129/G/2013/PTUN.JKT juncto Putusan Nomor 41/B/2014/PT.TUN.JKT juncto Putusan Nomor 2 K/TUN/2015, dimana Penggugat dalam perkara tersebut adalah Serikat Pegawai Surveyor Indonesia (SPASI) melawan Menteri BUMN selaku Tergugat dengan objek gugatan berupa Surat Keputusan Menteri BUMN tentang usulan pemberhentian dan pengangkatan anggota Direksi PT. Surveyor Indonesia (Persero). Perkara tersebut tidak melibatkan PT. Surveyor Indonesia (Persero) sebagai pihak. Namun, dalam pertimbangannya, hakim tetap menyatakan SPASI memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan.
Oleh karena itu, Kuasa Hukum Aliansi Selamatkan Hutan Jawa lainnya, Zamrony, menuturkan bahwa sangat terbuka peluang untuk menguji pertimbangan hakim PTUN Jakarta di tingkat PT TUN. Ia memiliki keyakinan bahwa terdapat kekeliruan dalam pertimbangan hakim tersebut.
“Kepentingan hukum Para Penggugat sangat jelas, beberapa kerugian dirasakan akibat lahirnya kebijakan KHDPK ini, seperti: Para Penggugat dilarang memasuki wilayah-wilayah Perum Perhutani yang saat ini ditetapkan sebagai KHDPK. Selain itu, ada ancaman pemutusan hubungan kerja, konversi status kepegawaian yang melawan hukum, dan pengurangan pendapatan dari sisi bonus kinerja perusahaan seiring dengan berkurangnya 1,1 juta hektar hutan Perhutani. Para Petani LMDH juga terdampak akibat perjanjian kemitraan yang telah ditandatangani bersama Perhutani menjadi kehilangan obyek,” pungkas Zamrony, Partner INTEGRITY Law Firm.
Melalui upaya hukum banding ini, Para Penggugat berharap agar Majelis Hakim PT TUN Jakarta, dapat melihat perkara ini secara lebih detail dan menyeluruh, terutama dalam memeriksa persoalan kepentingan hukum (legal standing) dan pokok perkara dari Para Penggugat.(***)