Berfoto sesaat sebelum berangkat Sholat Idul Fitri di Sydney.

Numpang Mudik-1: ke Negeri Kangguru Kami Berlebaran

Ini tulisan kenangan. Boleh juga disebut retrospeksi. Tapi sebenarnya, sekadar menandai Idul Fitri yang berbeda. Saya mulai menuliskannya di atas ketinggian sekitar 9.300an meter dari permukaan laut. Hanya saja, akhirnya tulisan baru selesai lebih dari dua minggu setelah kembali ke tanah air.

Sebenarnya, Idul Fitri tahun ini, saya ingin berlebaran di kampung halaman. Tapi demi dua buah hati kami yang ingin Lebaran dengan suasana berbeda, kami terpaksa numpang mudik. Bukan sekadar numpang di kampung orang, tapi di negeri orang: negeri para kangguru.

Jadinya, hari-hari pertama Lebaran, saya hanya bisa membayangkan Lebaran di kampung halaman untuk kemudian, membuat tulisan yang sudah mengorbit di koranpelita.com.  Lumayan bisa punya waktu melempar ingatan ke masa lampau.

Nah, soal numpang mudik. Ada perasaan mak deg, saat keputusan mudik di negeri orang diambil. Sebab, tiba-tiba saja, terkenang pesan simbok saat beliau masih diberi panjang usia. Pesan bahwa anak keturunannya harus tetap rukun walau suatu saat nanti simbok tidak lagi bisa menemani. Saya ingat, wanti-wanti itu, diulang-ulang seakan memang ada keraguan, anak keturunan tidak lagi mau saling bersapa.

Harus diakui, orangtua memang menjadi lem perekat paling kuat bagi anak-anaknya untuk terus bisa dibilang bersaudara. Kini simbok sudah pergi bahkan sudah lebih dari 3 tahun saat ini. Akankah kekecewaan simbok (anak turunnya saling tidak dekat) akan menjadi kenyataan?

Dalam tiga tahun kepergian simbok, minimal setahun sekali,  tepatnya saat Lebaran kami berkumpul. Tapi Lebaran kali ini, kumpulnya tidak tepat di hari raya. Bukan kami tak lagi tunduk dan patuh pada wasiat simbok, kami tetap patuh, karena kesempatan berkumpul digeser mundur. Hanya beberapa hari, bertepatan dengan bersyawalan dusun yang kebetulan sambil nanggap wayang.

Rasanya tidak salah jika Lebaran diisi dengan menciptakan pengalaman baru, terutama untuk buah hati yang kini mulai susah mencocokkan waktu berlibur bersama. Putri pertama, kini sudah mulai bisa belajar memenuhi kebutuhannya sendiri dan tak lagi mau membebani orangtuanya. Bahkan, sesekali memaksa untuk bisa menyenangkan orangtua dan adik semata wayangnya dengan membayari makan malam bersama.

Putri kedua juga beranjak dewasa serta berlatih hidup mandiri jauh dari orangtua karena menuntut ilmu di kota pahlawan. Tentunya berlatih hidup mandiri dengan masih menanti transferan setiap bulan yang diharap secara pasti.

Dari diskusi lewat grup whatsapp keluarga, tercetus keinginan anak-anak untuk merasakan Puasa dan Lebaran di negeri orang. Ini diskusi panjang, sebab sudah dilakukan dan berlangsung terus-menerus selama tiga bulan sebelum Lebaran.  Yang paling alot adalah menyepakati negeri yang akan menjadi destinasi: Korea Selatan, Jepang, atau Australia.

Dengan pertimbangan bahwa Korea Selatan dan Jepang memasuki musim panas yang berarti siangnya lebih panjang, dua negara itu tidak masuk kriteria yang akan dikunjungi. “Biar waktu puasanya lebih pendek,”  begitu alasan anak-anak.

Alasan lain karena dua negara tersebut tidak berbahasa Inggris sebagai bahasa simbok (kali ini yang benar bahasa ibu). Tapi mungkin alasan yang kedua tidak terlalu valid untuk mereka.

Ya sudah. Akhirnya diputuskan untuk berlibur di negeri kangguru. Pembagian tugas dilakukan. Ibunda anak-anak yang mencari tiket murah walau yang didapat bukan penerbangan langsung tapi harus transit terlebih dahulu.

Anak yang besar mencari penginapan murah lewat aplikasi. Dan anak yang kecil membuat itinerary dari saat pergi sampai pulang. Saya, sebagai ayah, tugasnya apa? Sebenarnya bisa dibilang tugas terberat walaupun tidak terlalu kelihatan. Ya. Tugas saya sebagai sang ayah adalah mbayar. Membayari setiap kegiatan yang dilakukan yang membutuhkan biaya. Sesederhana itu.

Tiket yang relatif terjangkau (dengan catatan menabung selama setahun), telah didapat lewat pencarian online. Tugas ibunda selesai. Demikian juga tugas putri sulung sudah dilaksanakan untuk mendapatkan tempat menginap yang tidak terlalu membebani APBN, Anggaran Pendapatan dan Belanja NKS.

Tentu saja tugas ini belum selesai hanya setelah mendapatkan tempatnya, tetapi bagaimana kita bisa mengakses masuk ke rumah tersebut dan mendapatkan informasi detail tentang fasilitas rumah yang akan disewa, term & condition, dsb.

Bagaimana dengan tugas si bungsu? Sepertinya puteri kedua kami ini memiliki bakat untuk menjadi tour guide dan bisa jadi pas jika nantinya memiliki usaha tour and travel. Dengan menjelajahi internet, perencanaan perjalanan dari saat berangkat hingga pulang disusun sangat rapi. Bukan itu saja, pilihan penggunaan moda transportasi dari sejak mendarat di Sydney International Airport ke penginapan sewa misalnya lengkap dengan berapa biayanya.

Namanya juga anak milenial. Generasi yang di tangannya digenggam dunia. Ia terlihat paham ‘luar dalam’ Australia, seolah dia pernah ke Sydney bahkan sampai tahu tempat-tempat yang harus dikunjungi. Betul-betul ayahnya dibuat tidak lagi perlu mikir harus ke mana, naik apa, jam berapa, dsb. Sekali lagi tugas ayahnya hanya satu. Mbayar.(bersambung)

About redaksi

Check Also

PNS Kodiklatal Surabaya Gelar Aksi Donor Darah dalam Rangka HUT KORPRI ke-53 Tahun 2024

Surabaya, koranpelita.com Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-53 Tahun 2024, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca