Tanah Bumbu, Koranpelita.com
Inflasi di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) mencapai 0,15 persen. Penyebabnya, akibat sejumlah kebutuhan bahan pokok (bapok) termasuk beras lokal merangkak naik, seperti di Banjarmasin saja harganya tembus Rp21. 000 per liter.
Menyikapi itu, Wakil Ketua Komisi II DPRD Provinsi Kalsel, Muhammad Yani Helmi, mengatakan, banyaknya tanaman padi yang terkena hama tungro membuat sejumlah daerah di Kalsel mengalami penurunan produksi beras hingga berimbas pada kenaikan.
“Dari titik desa pertama hingga sekarang ini masih saja permasalahan beras. Jangan sampai daerah ini juga terdampak inflasi dan itu tidak kami inginkan. Apabila Kusan Hilir dan Tengah ini berhasil panen tanpa terdampak tungro maka terjadi surplus dan tidak kekurangan,” ujar legislatif Dapil VI membidangi ekonomi dan keuangan di Komisi II DPRD Kalsel, usai menjaring aspirasi di Desa Saring Sungai Binjai dan Beringin, Kabupaten Tanah Bumbu, Rabu (8/2/2023).
Menurut dia, inflasi di Banjarmasin berada dikisaran 6,11 persen. Terlebih, month to month (m to m) untuk kota berjuluk seribu sungai itu berhasil menyentuh 0,15 persen. Melihat ini terjadi, persoalan tersebut jangan sampai terdampak di Tanah Bumbu.
“Pertanian saat ini sangat penting. Perekonomian masyarakat bertumpu pada sektor tersebut. Bahkan, pertanian di Tanah Bumbu harus menjadi perhatian, kita tidak ingin adanya inflasi. Yang perlu digaris bawahi tadi jalan usaha tani, pengairan (irigasi) dan ketersediaan pupuk. Jadi tolong lah pupuk ini dipermudah agar petani kami di sini bisa membantu memperbaiki perekonomian minimal di daerahnya sendiri,” tuturnya.
Tak hanya Banjarmasin, ia menjelaskan, Bumi Saijaan pun terdampak inflasi beras mencapai 0,10 persen. Hal ini lah yang mendorong bertambahnya inflasi di Kalsel. Begitu pula Tanjung yang mencapai 0,12 persen.
“Ini yang menjadi perhatian kita ternyata beras terdampak inflasi. Kami tidak ingin terjadi itu seperti di Kotabaru, apabila produksi melimpah tentu inflasi terkendali,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Desa Saring Sungai Binjai, Anafson Hadi, mengutarakan, yang menjadi kendala dalam sektor pertanian mereka adalah sulitnya mendapatkan pupuk. Alih-alih mendapatkan, harganya pun diketahui mencapai di atas standar bersubsidi.
“Sekarang ini sangat sulit mendapatkan pupuk di agen karena mereka bilang pasti habis. Tercatat ada 550 petani yang produktif dengan rata-rata angka 90 persen. Kami juga memiliki 16 penggilingan padi,” paparnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, kesulitan petani juga terjadi pada kebutuhan solar untuk mengoptimalkan mesin combine.
“Solar di sini langka, karena dimonopoli oleh pelangsir sehingga yang dijual kepada warga mampu menembus harga 18. 000 hingga 20.000 rupiah per liternya,” bebernya.
Dilokasi berbeda, Sekretaris Desa (Sekdes) Beringin, Fardiansyah, menyampaikan, produksi beras di desanya mampu menghasilkan ratusan ton dalam sekali panen dengan luas lahan persawahan 500 hektare. Namun, karena cuaca beberapa hari terakhir ini diketahui ekstrim membuat sektornya berdampak.
“Saat ini masih menanam. Keterlambatan ini terjadi karena curah hujan yang cukup tinggi dan ini menghambat pertumbuhan padi sehingga membuat keterlambatan panen,” ucapnya. (pk)