Jakarta,Koranpelita.com
Pengangkatan Direktur Jenderal (Dirjen) Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Laksamana Muda Adin Nurawaluddin, oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono telah melanggar Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pasalnya sampai saat ini, Adin masih berstatus sebagai perwira tinggi aktif di TNI Angkatan Laut.
Mantan Dirjen PSDKP Aji Sularso yang juga pernah berstatus sebagai perwira di TNI AL mengatakan. Pengangkatan Adin Nurawaluddin memang diperbolehkan dalam UU, tetapi perwira bintang dua itu harus beralih status dari TNI menjadi Aparatus Sipil Negara (ASN).
“Jadi Pak Adin haru memilih, mau menjadi ASN atau tetap sebagai TNI. Karena UUnya memerintahkan seperti itu,” kata Aji kepada wartawan di Jakarta, Kamis (27/1/2022).
Aji juga menjelaskan, Adin tidak perlu mengundurkan diri jika mengingkan status sebagai Dirjen PSDKP, melainkan hanya perlu mengurus perpindahan status saja.
Namun demikian lanjut Aji, dalam UU TNI pasal 47 dijelaskan bahwa memberikan kemungkinan bagi anggota TNI untuk menduduki jabatan struktural di 10 (sepuluh) instansi sipil, yaitu:
1.Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan;
2. Kementerian Pertahanan;
3. Sekretariat Militer Presiden;
4. Badan Intelijen Negara;
5. Lembaga Sandi Negara;
6. Lembaga Ketahanan Nasional;
7. Dewan Ketahanan Nasional;
8. Badan Search and Rescue Nasional;
9. Badan Narkotika Nasional;
10. Mahkamah Agung.
Diketahui, Adin Nurawaluddin dilantik sebagai Dirjen PSDKP oleh Menteri Wahyu Sakti Trenggono pada 16 Agustus 2021.
Hal senada juga dikatakan pemerhati perundang-undangan Purnomo Sucipto, melalui tulisannya yang dikutip dari setkab.go.id menjelaskan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan,anggota TNI/Polri pada dasarnya tidak dapat menduduki jabatan struktural di instansi sipil. Hal ini dapat dibaca dalam ketentuan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang mengatur: “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.
Alasan utama dimungkinkannya anggota TNI/Polri menduduki jabatan struktural di instansi sipil tanpa pengalihan status adalah dalam penyelenggaraan pemerintahan terdapat jabatan?jabatan struktural tertentu di lingkungan instansi sipil yang tugas dan fungsinya sesuai dengan tugas dan fungsi TNI/Polri, sehingga jabatan tersebut dapat diduduki oleh Anggota TNI/Polri tanpa beralih statusnya menjadi PNS.
Ketentuan di atas diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menyatakan bahwa pengisian jabatan ASN tertentu yang berasal dari TNI/Polri dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam UU TNI dan UU Polri. Ini berarti, pengisian jabatan ASN oleh TNI/Polri hanya dilaksanakan di instansi pusat dan (bukan) instansi daerah dengan tetap mengacu pada UU TNI dan UU Polri.
Mengacu pada ketentuan di atas, berarti di luar instansi tersebut tidak dimungkinkan mengisi jabatan struktural dengan pejabat yang berasal dari TNI/Polri tanpa alih status. Khusus keberadaan anggota Polri yang menjadi pegawai KPK, hal itu telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam hal ini berlaku asas aturan khusus mengalahkan peraturan umum (lex specialis derogat legi generalis)yang merupakan dasar hukum. Hal ini berbeda dengan keberadaan anggota TNI pada institusi KPK yang belum ada dasar hukumnya.
Namun apabila pengisian jabatan struktural di instansi sipil tertentu oleh TNI/Polri tanpa pengalihan status akan dijadikan kebijakan pemerintah, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur, terutama UU TNI, harus diubah terlebih dahulu dengan menambahinstansi yang diinginkan pada daftar kementerian/lembaga dalam Undang-Undang tersebut.
Apabila suatu instansi, baik yang masuk dalam daftar 10 (sepuluh) instansi di atas maupun tidak, tetap menghendaki dan membutuhkan pejabat yang berasal dari TNI/Polri, maka dapat menempuh beberapa cara.
Pertama, anggota TNI/Polri yang menduduki jabatan struktural di instansi sipil dialihkan statusnya menjadi PNS. Misalnya, seorang anggota TNI berpangkat Kolonel atau anggota Polri berpangkat Komisaris Besar dialihkan statusnya menjadi PNS dengan pangkat Pembina Utama Muda IV/c. Konsekuensinya, anggota TNI/Polri yang bersangkutan kehilangan statusnya sebagai anggota TNI/Polri.
Kedua, merekrut pejabat struktural yang berasal dari TNI/Polri yang telah pensiun atau mengundurkan diri.
Pilihan ini juga paling mudah dilakukan karena calon pejabatnya tidak terikat pada instansi tertentu, disamping memiliki karakter dan profil anggota TNI/Polri sebagaimana yang diinginkan. Namun, pilihan ini perlu pula mengacu pada skema rekrutmen yang diatur dalam UU ASN, misalnya ketentuan mengenai pengisian jabatan berdasarkan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).
Sebagai catatan, alternatif manapun yang dipilih,perlu dipertimbangkan bahwa pada dasarnya jabatan struktural di lingkungan instansi sipil merupakan jabatan karier yang diperuntukkan bagi PNS. Apabila pengisian jabatan itu dilakukan secara masif dan menutup karir PNS, maka dapat menurunkan moral dan semangat kerja PNS. Selain itu, secara filosofi, seharusnya jabatan diisi oleh orang yang dididik, dilatih, dan memiliki pengalaman yang relevan untuk melakukan tugas suatu jabatan secara efektif.
Bagi TNI/Polri sendiri, kebijakan memberikan anggotanya secara secara masif dan tidak selektif ke luar instansi dapat berpotensi mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara.
Waktu, biaya, dan energi telah dicurahkan untuk mendidik dan membentuk setiap anggota TNI/Polri pada hakikatnya dimaksudkan untuk mendarmabaktikan kemampuannya untuk membantu tugas-tugas TNI/Polri. Oleh karenanya, pengisian jabatan struktural di instansi sipil tertentu oleh anggota TNI/Polri harus dilakukan dengan selektif dan terbatas pada jabatan-jabatan yang memang tidak bisa tidak harus diduduki anggota TNI/Polri. (Vin)