Jakarta,Koranpelita.com
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan, ketergantungan Indonesia terhadap teknologi luar masih sangat tinggi. Kondisi inilah menjadi salah satu penyumbang bagi rendahnya tingkat kemandirian dan lemahnya posisi tawar (bargaining position) bangsa indonesia dalam percaturan global.
Menurut Pontjo, pada serial FGD yang diselenggarakan dalam rangka finalisasi buku berjudul “Kebangsaan yang Berperadaban:Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila”, yang dilakukan secara vrtual, Jumat (6/8/2021), rendahnya penguasaan teknologi Indonesia antara lain disebabkan karena belum terbangunnya ekosistem yang kondusif bagi pengembangan sains dan teknologi, baik pada aspek regulasi, birokrasi, alokasi sumberdaya, dan pengaturan kelembagaan. Sinergi dan kolaborasi kelembagaan “triple-helix” antara perguruan tinggi/lembaga riset, pemerintah, dan dunia usaha juga belum menunjukkan kinerja yang memadai.
Pontjo juga menilai, dunia usaha yang memiliki peran strategis bahkan seharusnya menjadi motor dalam pengembangan inovasi teknologi, juga masih ketinggalan baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Padahal, dunia usaha berperan sebagai pendorong, pengembang, pengguna, sekaligus memasarkan hasil riset dan inovasi teknologi. Tanpa dunia usaha inovasi teknologi tidak akan berkembang.
“Peran strategis inilah yang seharusnya selalu disadari oleh dunia usaha kita. Pengusaha sebagai bagian dari masyarakat harus ambil tanggungjawab atas kemajuan teknologi bangsa ini. Untuk itu, ada kebutuhan “road-map” pengembangan dunia usaha kita,” katanya.
Hadapi kendala budaya
Selain berbagai hambatan atau kendala tersebut, diakui Pontjo, bangsa Indonesia juga masih menghadapi kendala budaya (kultural). Sebagaimana diungkapkan oleh Simon Philpot dalam bukunya: “Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity (2000”), yaitu ketidakmampuan menciptakan ‘imajinasi kultural’ (cultural imagination). Dalam buku tersebut, Simon menilai bangsa Indonesia kurang mampu membangun imajinasi komprehensif yang dituangkan ke dalam visi bangsa. Bangsa tanpa imajinasi akan hidup di dalam bingkai imajinasi orang lain.
Pontjo mengingatkan bahwa sebuah bangsa menjadi besar karena kemampuannya membangun “imajinasi” masa depan, yang sudah barang tentu harus disertai perencanaan dan usaha sistematis untuk mencapainya. Lihat saja imajinasi Amerika Serikat tentang “kota ilmu dan teknologi” yang melahirkan Silicon Valley, imajinasi India sebagai “negeri perangkat lunak”, dan imajinasi Cina sebagai “negeri perangkat keras”.
“Oleh karena itulah menurut hemat saya, dalam kaitan membangun “imaginasi kultural” dalam mengejar ketertinggalan teknologi, hal mendasar yang harus dilakukan adalah perubahan “midset” dan “Visi Iptek” Indonesia,” jelas Pontjo.
Prof Erani dalam FGD pada Oktober 2020 yang lalu, telah mengusulkan agar bangsa Indonesia menghilangkan mindset “kesejahteraan yang diperoleh dengan cara penguasaan sumber daya alam” yang akan melahirkan kolonialisme dan imperialisme (merkantilisme). Harus diakui, sebagian besar dari masyarakat kita masih beranggapan bahwa teknologi itu identik dengan manufaktur, “digitalisasi”, bahkan sebatas penggunaan internet dan komputer.
Menurut Pontjo, visi Iptek sangat diperlukan untuk mendorong dan mengikat semua pihak ke dalam kesatuan langkah pembangunan iptek, membuat kebijakan dan memperjelas posisi penetrasi Iptek ke dalam pembangunan. Beberapa Negara seperti Cina, Korea, India, bahkan Malaysia yang saat ini mempunyai basis Iptek yang kuat, dimulai dengan meletakkan visi iptek yang benar sehingga kebijakan-kebijakan ipteknya menunjang.
Transformasi Ekonomi Berbasis Saintek
Lebih lanjut Ponjto dalam sambutannya mengatakan, Bangsa Indonesia harus segera melakukan transformasi diri dari perekenomian berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju ekonomi berbasis sains dan teknologi (Knowledge Based Economy). Transformasi tersebut dibutuhkan agar Indonesia segera menjadi negara maju, sejahtera, mandiri dan berdaulat dalam bidang ekonomi serta berdaya saing global.
Pontjo Sutowo menyebutkan bahwa penguasaan teknologi bangsa Indonesia memang masih ketinggalan dibanding negara-negara lain. Rendahnya penguasaan teknologi Indonesia dapat kita ketahui dari beberapa indeks yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga internasional. “Untuk itu, mendesak bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan penguasaan teknologinya yang memang saat ini masih ketinggalan,” kata Pontjo.
Sebagaimana diungkapkan oleh Sener dan Saridogan dalam bukunya “The Effects of Science-Technology Innovation on Competitiveness and Economic Growth (2011), negara-negara dengan kebijakan dan strategi ekonomi berbasis sains-teknologi-inovasi memiliki keunggulan dan keuntungan kompetitif berkelanjutan. Keunggulannya tidak hanya pada tingkat daya saing global, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bagi penciptaan kesejahteraan.
Menurut Pontjo, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) juga telah menyebabkan terjadinya transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan sains dan teknologi (Knowledge Based Economy). Kekuatan bangsa diukur dari kemampuan Iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing.
Menghadapi perubahan paradigma ini, negara-negara Barat dan beberapa negara Asia seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, konsisten mengerahkan sejumlah besar sumber-dayanya untuk menguasai Iptek yang pada ujungnya akan mengangkat kualitas hidup dan kesejahteraan bangsanya. “Negara yang tidak mempunyai basis Iptek yang kuat, akan bergantung bahkan berpotensi ditelan oleh kemajuan negara-negara lain,” katanya.
Diakui Pontjo, Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif kekayaan sumber daya alam ternyata belum mampu menjadikannya sebagai keunggulan kompetitif dan mewujudkan kesejahteraan yang kita cita-citakan. Sampai saat ini di beberapa sektor pembangunan ekonomi Indonesia, masih berbasis sumber daya alam. Gustav Papanek pada suatu diskusi ekonomi di Jakarta pada tahun 2014 mengatakan bahwa Indonesia terlalu terlena dengan kekayaan sumber daya alamnya sehingga disebut mengalami penyakit belanda (dutch disease).
Dalam FGD bertema Mewujudkan Kesejahteraan Umum yang Berkeadilan tersebut, ikut memberikan pengantar adalah Ketua Forum Rektor Indonesia yang juga Rektor UGM Prof Panut Mulyono, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof Satryo Soemantri dan Ketua BPP HIMPI Mardani H Maming dan Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latief.
FGD yang menampilkan narasumber antara lain Prof. Dr. Didin S.Damanhuri, SE, MS, DEA (Guru Besar Ekonomi IPB University), Dr. Ing. Ilham Akbar Habibie, Dipl.Ing., M.B.A, Amalia Adininggar Widyasanti, Ph.D (Deputi Bidang Ekonomi, Kementerian PPN/Bappenas, Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika (Guru Besar Universitas Brawijaya) dan Eka Sastra (Wakil Ketua Umum BPP HIPMI) tersebut, selain untuk mendiskusikan dan memperkaya pemikiran serta gagasan yang terangkum dalam bukun“Kebangsaan yang Berperadaban: Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila”, juga dimaksudkan semacam “uji sahih atau uji publik” agar rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dalam buku ini, mendapat keabsahan secara sosiologis.
Buku “Kebangsaan yang Berperadaban:Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila” itu sendiri merupakan rangkuman dari berbagai pemikiran dan gagasan yang berkembang selama pelaksanaan Diskusi Serial selama dua tahun lebih sejak 20 Maret 2019 yang diselenggarakan bersama oleh Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, dan Harian Kompas.
Target utama dari penyelenggaraan Diskusi Serial dan disusunnya buku ini adalah menawarkan pendekatan baru dalam mengukuhkan kebangsaan melalui pendekatan “budaya/peradaban” dalam tiga ranah utama kehidupan sosial yaitu ranah mental spiritual (tata nilai), ranah institusional politikal (tata kelola), dan ranah material teknologikal (tata sejahtera) berdasarkan paradigma Pancasila. Pendekatan dan paradigma ini dapat digunakan sebagai tolok ukur paradigmatik dalam mengembangkan dan menguji sistem pembangunan nasional kita. (Vin)