Jakarta, koranpelita.com – Guru Besar Ilmu Politik FISIP UI, Profesor Valina Singka Subekti menilai Pemilu serentak 2024 sangat krusial. Hal ini merupakan pintu masuk dalam menghasilkan pemimpin baru yang tidak hanya punya kapasitas dan leadership, tetapi juga lebih memahami prinsip dan nilai-nilai etik demokrasi.
Menurutnya, proses pelaksanaan tahapan pemilu harus jurdil dan bermartabat supaya hasilnya legitimate dan diterima masyarakat. Namun legitimasi politik dan legitimasi moral penting dimiliki pemimpin baru, agar di kemudian hari mendatangkan kepatuhan dan dukungan dari masyarakat.
“Namun, justru memasuki pemilu 2024, muncul kecurigaan dari masyarakat bahwa pemilu akan curang dan manipulatif. Masyarakat meragukan netralitas, independensi dan kapasitas penyelenggara dalam menghadirkan pemilu yang jurdil,” ujar Valina dalam Seminar Kebijakan Publik, Dies Natalis ke-56 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) di Kampus UI Depok, Jawa Barat, Kamis (22/2/2024).
Menurut Valuna, keadaan seperti ini belum pernah terjadi pada pemilu era reformasi sebelumnya, dan mengingatkan pada pemilu-pemilu orde baru. Ia berpendapat, seharusnya pemilu ke-6 pascareformasi ini lebih baik dan menjadi pintu masuk konsolidasi demokrasi Indonesia yang selama ini tertatih-tatih jalannya.
“Konsolidasi demokrasi tidak berjalan dengan baik karena berbagai manuver tidak etis dari elite politik sebelum pemilu (isu perpanjangan masa jabatan presiden, isu penundaan pemilu, cawe-cawe presiden dalam pencalonan capres, dan isu pilpres satu putaran) memperkuat opini publik bahwa pemilu tidak akan jurdil,” paparnya.
Menurutnya, kemarahan publik bermula sejak saat tahapan pencalonan sedang berlangsung, MK memutuskan persyaratan batas usia minimal 40 tahun capres dan cawapres ditambah dengan kalimat: ’atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’.
Selain itu, ia menyoroti Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menjatuhkan putusan pelanggaran etik berat anggota dan ketua KPU karena dinilai tidak melaksanakan ketentuan UU dan PKPU yang masih berlaku. KPU langsung mengeksekusi putusan MK dan menerima pendaftaran Cawapres Gibran pada last minute tanpa merevisi PKPU.
” Padahal, PKPU yang berlaku saat itu menggunakan ketentuan UU Pemilu No. 7 tahun 2017 tentang batas usia minimal 40 tahun. Intervensi politik penguasa (presiden), kolusi dan nepotisme secara kuat terlihat dalam proses di MK.”
Keberpihakan Presiden Pada Paslon Tertentu
Pada masa kampanye, Valina menyoroti keberpihakan presiden pada paslon tertentu, netralitas pejabat negara (menteri, gubernur, bupati walikota), netralitas ASN dan TNI Polri, politisasi bansos, serta intimidasi dan kekerasan.
“Semua berlangsung secara kasat mata, vulgar, serta beredar luas di masyarakat lewat medsos dan berbagai publikasi lainnya. Dalam hal ini pengawasan Bawaslu dan penegakannya hukumnya tidak nampak. Mobilisasi ratusan kepala desa di GBK yang dihadiri cawapres Gibran lewat begitu saja tanpa statement yang mencerahkan dari pihak pengawas pemilu,” tegas perempuan kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat itu.
Alih-alih meredakan keriuhan proses Pemilu 2024, tahapan penghitungan suara yang saat ini sedang berlangsung, menurut Valina justru menambah keriuhan proses pemilu 2024. Keadaan ini semakin menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat tentang fairness dan accuracy dalam penghitungan suara. Ada versi quick qount, versi manual dani Sirekap KPU. Namun, terdapat perbedaan hasil C1 Plano di TPS dengan data di Sirekap KPU.
“Sementara kita mengetahui dalam siklus pemilu (election circle), pemungutan dan penghitungan suara adalah tahapan puncak pemilu yang sangat krusial dan amat menentukan keterpilihan calon,” imbuhnya.
Meski begitu, pihaknya mengira bahwa ekosistem politik yang kurang demokratis telah memberi kontribusi besar pada kualitas dan integritas penyelenggara (KPU, Bawaslu, DKPP) dan penyelenggaraan pemilu.
” Umumnya semakin demokratis satu negara maka semakin kuat pelaksanaan norma democratic values sebagai dasar dari ethical political behaviour penyelenggara negara maupun penyelenggara pemilu,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Makara Strategic Insight Research, Andre Priyanto menyatakan, indikasi kecurangan Pemilu 2024 ini diawali adanya aksi-aksi transaksional para elite politik. Menurutnya, kemandirian dan independensi penyelenggara dikalahkan oleh kuatnya pengaruh dan intervensi kekuasaan politik dalam proses.
“Kalau start-nya saja semua serba transaksional, bagaimana kita bisa berharap hasilnya genuine? Sehingga kemudian International observer yang tergabung dalam UNFREL menilai pemilu 2024 kurang berintegritas dan penyelenggara tidak netral. Padahal selama ini UNFREL selalu memberi penilaian positif terhadap pemilu Indonesia,” ujarnya.
Solusi Penyelenggaraan Pemilu ke Depan
Pada konteks politik makro, Valina mengungkapkan, perbaikan harus dilakukan terutama reformasi partai politik dan penguatan etika politik, perbaikan kesetaraan akses pada sumber daya ekonomi dan politik, penguatan masyarakat sipil dengan memperkuat pendidikan politik dan pendidikan demokrasi.
Menurutnya dalam konteks politik, kualitas demokrasi di Indonesia buruk. Konteks ini mempengaruhi pembentukan penyelenggara pemilu. Valina yang pernah menjabat sebagai anggota DKPP Periode 2012-2017, mengungkapkan tiga langkah strategis untuk memperbaiki proses Pemilu di Indonesia, antara lain:
1. Perbaikan sistem rekrutmen penyelenggara pemilu
2. Perbaikan kerangka hukum pemilu, termasuk sistem dan teknis penyelenggaraan pemilu
3. Perbaikan tata kelola pemilu dengan mengedepanan moral values dan democratic values. (***)