Fenomena Demokrasi Digital Mulai Muncul Sebagai Medium Baru Artikulasi Politik

Jakarta, Koranpelita.com

Sejak reformasi tahun 1998 yang mengawali proses transisi dari kehidupan politik otoriter-represif menuju proses demokratisasi, kita semua menaruh harapan besar pada partai politik sebagai instrumen utama dalam kehidupan politik modern berbasis demokrasi electoral. Harapan besar itu tentu wajar karena partai politik dan parlemen adalah wujud representasi politik rakyat dalam sistem demokrasi.

Sampai saat ini, partai politik merupakan satu-satunya ruang atau kanal yang tersedia bagi rakyat Indonesia untuk menyalurkan hak politik (political right) dan kepentingan politiknya baik dalam hal pengelolaan Negara maupun dalam hal memilih kepemimpinan nasional dan daerah. Selain itu, tugas pokok partai politik adalah melaksanakan fungsi-fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat sebagai prasyarat kehidupan politik yang demokratis.

Namun ironisnya, sejak reformasi hingga kini, partai politik justru merupakan salah satu institusi demokrasi yang paling sedikit tersentuh agenda reformasi, baik dilihat dari aspek intra party democracy (IPD) maupun secara eksternal dalam perannya sebagai pilar dan motor penggerak demokratisasi. Padahal pasca amandemen UUD 1945, kedudukan dan peran partai politik semakin menguat di parlemen dalam menjalankan fungsi-fungsi kontrol, budget, dan fungsi legislasi.

Bukan hanya dalam lingkup parlemen, peran partai politik juga menguat dalam berbagai aspek mekanisme pemerintahan dan kenegaraan pada berbagai level tertentu.

Peran partai politik sangat menentukan dalam proses seleksi dan penetapan keanggotaan berbagai organ negara yang utama (main state organs) maupun organ pendukung (state auxiliary organs). Partai politik juga berperan dalam seleksi dan penetapan kepala daerah; bahkan juga menentukan dalam proses seleksi dan pencalonan presiden sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, sehingga melahirkan ungkapan “presiden adalah petugas partai”.

Hal itu disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Menuju PostParliamentary Politics: Mencari Model Representasi Politik yang Inklusif” sebagai rangkaian dari “Diskusi Serial Kebangsaan” yang digelar Aliansi Kebangsaan, bekerjasama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, FKPPI, HIPMI, dan Harian Kompas, Jumat (13/10/2023).

FGD yang dimoderatori Pakar Aliansi Kebangsaan, Manuel Kaisiepo S.IP., MH tersebut menghadirkan narasumber Direktur Kebijakan Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan BRIN, Moch. Nurhasim M.Si, Sosiolog UGM M Najib Azca PhD, dan Peneliti BRIN Irine Hiraswari Gayatri, PhD .

Tetapi pada sisi lain, lanjut Pontjo menguatnya kedudukan dan peran partai politik ternyata tidak diikuti oleh menguatnya demokrasi partisipatoris yang mampu meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses politik. Pola relasi partai dengan massa pemilihnya justru semakin berjarak dan hanya tampak selama masa kampanye pemilihan umum.

Pola relasi ini menyebabkan peran partai politik semakin surut sebagai saluran artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat, sebaliknya lebih menampakkan dirinya sebagai ekstension dari elite pemimpinnya dan ekstension dari kekuatan-kekuatan oligarki.

Beberapa kajian terbaru menunjukkan, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, kedudukan dan peran partai politik dan parlemen justru menjadi sarana untuk melanggengkan kekuasaan, untuk mempertahankan dominasi kekuasaan ekonomipolitik. Di dalam tubuhnya sendiri, masalah intra party democracy masih menjadi persoalan besar yang dihadapi hampir semua partai politik.

“Partai masih sangat tergantung kepada Ketuanya dalam pola relasi patronase-klientelistik, dengan cora kpengambilan keputusan yang didominasi oleh “Sang Ketua”. Hal ini berdampak pada model representasi politik yang memperlihatkan rendahnya relasi anggota partai di parlemen dengan rakyat sebagai basis konstituennya,” jelasny a. Hal lain adalah faktor pendanaan partai (party financing) yang terbatas (kecuali pada partai-partai tertentu).

Lebih lanjut Pontjo mengatakan, keterbatasan dana menyebabkan partai politik rawan “diintervensi” kekuatan modal ekonomi-politik dari luar dirinya, yang pada gilirannya mengukuhkan pengaruh oligarki dalam tubuh partai sekaligus dalam kehidupan politik secara luas.

“Studi Slater (2004) menemukan bahwa partai politik di Indonesia gagal menciptakan mekanisme “check and balances” dalam menjalankan fungsi pengawasan dan perimbangan yang menjadi inti demokrasi. Kondisi demikian, menurutnya merupakan jebakan pertanggung-jawaban (accountability trap) yang diderita oleh demokrasi Indonesia yang mendorong tumbuhnya perilaku kartel partai politik ,” jelasnya.

Sebagai dampak dari kartelisasi politik tersebut, kerjasama antar parpol menjadi lebih berpusat pada perburuan rente (rent seeking) daripada kompetisi memperjuangkan kebijakan atas dasar ideologi untuk kepentingan umum.

Pencarian atas sumber rente inilah yang menurut Ambardi menjadi kepentingan kolektif partai-partai politik. Akibatnya, hal-hal substansial tentang demokrasi yang mengedepankan adanya check and balances dan partai politik yang menjadi perwakilan kepentingan masyarakat seutuhnya menjadi terganggu.

Dalam sistem kepartaian yang terkartelisasi, sebagian besar partai politik cenderung melayani kepentingan mereka sendiri sebagai kelompok yang relatif otonom.

Sebagaimana dikemukakan oleh Katz dan Mair (1995), sistem kepartaian yang terkartelisasi juga ditandai oleh terpisahnya pemimpin partai dengan konstituen mereka dan terpinggirkannya para oposan di tubuh partai. Di sisi lain, sistem kepartaian yang terkartelisasi diindikasikan oleh kabur atau hilangnya posisi ideologis partai.

Kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan politisi partai anggota DPR dan pejabat pemerintah pada berbagai kementerian yang terus berlangsung hingga sekarang dengan angka ratusan milyar hingga triliyunan, adalah contoh nyata dari fenomena kartelisasi politik dan politik oligarki.

Sejak reformasi tahun 1998, telah tercipta suatu sistem politik dan sistem kepartaian yang khas di Idonesia, yaitu sistem pemerintahan presidensialis bergandengan dengan sistem multipartai. Pada awalnya kehadiran sistem multipartai ini mengindikasikan harapan bagi perkembangan demokrasi yang lebih baik di Indonesia.

Namun setelah dua puluh lima tahun reformasi berjalan, eksistensi dan peran partai politik ternyata tidak sebagaimana diharapkan semula. Sistem multipartai yang bergandengan dengan sistem presidensialisme justru menghasilkan suatu model kompromi politik yang tidak berimbang. Kekuatan mayoritas di parlemen justru kehilangan daya kritisnya dan sebaliknya menjadi pendukung pemerintah sehingga prinsip check and balances kurang berfungsi.

Gambaran ringkas tentang kecenderungan perubahan peran dan perilaku partai politik seperti saya sampaikan tadi, memperkuat penilaian bahwa sistem politik Indonesia semakin elitis, monolitik, dan oligarkis, dan sebaliknya makin minim partisipasi politik rakyat.

Berbagai kelemahan partai politik sebagai representasi politik dan saluran artikulasi politik rakyat yang berdampak pada memburuknya kualitas demokrasi di Indonesia, secara langsung atau tidak langsung ikut mendorong munculnya beberapa fenomena politik baru sebagai respons masyarakat atas realitas tadi.

Peran demokrasi digital

Salah satu fenomena itu adalah menguatnya peran demokrasi digital (digital democracy) dalam semua aspek kehidupan politik. Dalam masyarakat mulai muncul kecenderungan kuat menggunakan kecanggihan teknologi digital sebagai medium baru artikulasi politik. Banyak aspirasi dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat kini tidak lagi disalurkan melalui partai politik dan parlemen, melainkan melalui media sosial yang terbukti cukup efektif.

Menguatnya pengaruh demokrasi digital ini kemudian diikuti dengan kemunculan kelompok-kelompok di luar partai politik dan parlemen yang semakin kuat menjalankan fungsi dan peran sebagai “pressure groups” yang punya implikasi politik. Tentu menjadi pertanyaan, apakah dua fenomena baru ini yaitu: demokrasi digital dan kemunculan kelompok-kelompok baru yang semakin kuat berperan sebagai pressure groups merupakan gejala awal pergeseran peran lembaga-lembaga politik formal yang mulai beralih ke kekuatan-kekuatan sosial baru dalam masyarakat?.

Dalam konteks ini menarik untuk mencermati kajian Anthony Giddens tentang fenomena “post-parliamentary politics” di Eropa Barat beberapa dekade lalu, yang menandai semakin bergesernya peran lembaga-lembaga politik formal seperti partai politik dan parlemen yang beralih kepada kelompok-kelompok sosial baru dimasyarakat yang mampu berperan sebagai saluran artikulasi baru.

Ketidakpuasan atas peran dan kinerja partai politik di parlemen mendorong munculnya lembaga-lembaga baru sebagai penyalur aspirasi politik dan kepentingan rakyat, yaitu lembaga-lembaga yang oleh Giddens disebut “keagenan politik” atau “political agency”.

Lembaga-lembaga “political agency” ini secara perlahan tapi pasti mulai muncul sebagai model alternatif representasi politik baru yang mampu menjalankan fungsifungsi artikulasi dan agregasi kepentingan publik yang sebelumnya dijalankan oleh partai-partai politik.

Lembaga-lembaga “political agency” ini beroperasi di luar tatanan politik formal; dia adalah jaringan-jaringan sosial baru yang ditopang kekuatan jaringan digital dengan memproduksi dan menyebarkan ide-ide pada level akar rumput.

Melalui FGD kali ini, Pontjo berharap para narasumber sebagai ilmuwan politik maupun segenap peserta FGD untuk ikut memikirkan dan mencari solusi bagaimana memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam sistem kepartaian kita serta bagaimana mendorong partai politik dan parlemen agar mampu berfungsi sesuai kedudukan dan perannya sebagai lembaga representasi politik rakyat yang mandat utamanya adalah memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat. (Vin)

 

About ervin nur astuti

Check Also

Pontjo : Hukum Sudah Tidak Mampu Memecahkan Persoalan dan Mengatasi Problem Korupsi di Indonesia

Jakarta, Koranpelita.com Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan korupsi yang dilakukan tidak sekadar menumpuk kekayaan, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca