Jakarta, koranpelita.com– Memanfaatkan kekuatan kecerdasan buatan atau AI (artificial intelligence), dalam mengembangkan kerangka program dan menulis proposal pendanaan dapat memberikan keunggulan yang signifikan bagi lembaga filantropi.
Kuncinya, antara lain, terletak pada interaksi dan efektivitas prompt (instruksi yang diajukan) terhadap aplikasi atau perangkat (tool) yang digunakan dalam menyusun dokumen.
Principal Levent Digital sekaligus praktisi AI, Ridwan Amsal, menegaskan hal tersebut dalam sesi pelatihan “Optimasi Kecerdasan Buatan (AI) Mengembangkan Kerangka Program dan Menulis Proposal Pendanaan” bagi 19 lembaga non-profit, yang diselenggarakan atas kolaborasi Resolve Asia, Friendraising.ID, CEN(AI)ANG, dan Levant Digital di Learning Center Yayasan Tahija, Kuningan, Jakarta Selatan (31/8).
“Mengarahkan instruksi yang tepat (priming), context learning, dan identifikasi isu yang dikembangkan dapat mengarahkan tool yang digunakan, semisal ChatGPT atau Bing Chat, memberi respon dan informasi terbaik yang diperlukan,” ujar Ridwan dalam keterangan tertulis, Kamis (31/8/2023).
Di saat sama, proses kreativitas tetap ada pada penggunanya, sehingga keberhasilan penyusunan dokumen amat tergantung dari pemahaman pengguna akan struktur dokumen yang diinginkan.
Acara dibuka oleh Ketua Badan Pengurus Yayasan Tahija, Trihadi Saptoadi. “Kami gembira menjadi tuan rumah yang pertama kali untuk kegiatan dengan topik kecerdasan buatan ini,” kata Trihadi. Ia berharap kemajuan teknologi, termasuk dalam proses pengembangan program dan penulisan proposal, dapat menciptakan kegiatan dan hasil dengan manfaat yang lebih banyak dan luas kepada masyarakat di wilayah program.
Dalam pelatihan yang didukung oleh Yayasan Tahija, MyVet, dan Zoom Computer tersebut, peserta berdiskusi tentang cara masing-masing lembaga mengembangkan program mereka di berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, isu anak, kebencanaan, dan perubahan iklim. Termasuk teknik mereka menyusun proposal untuk memperoleh pendanaan baik dari donor institusi maupun perusahaan.
” Mereka juga melakukan praktik langsung mengeksplorasi aplikasi AI serta proses kreatifnya untuk mengembangkan konsep dan proposal,” katanya.
Menurut CEO Resolve Asia, Maitra Widiantini, NGO dituntut untuk mengadopsi strategi dan praktik terbaik dalam mendiversifikasi sumber pendanaan mereka dengan menjalin kemitraan dengan berbagai pihak seperti pemerintah, perusahaan swasta, yayasan, individu, dan komunitas lokal.
“Pelatihan ini kami ciptakan untuk meningkatkan keterampilan peserta dalam memanfaatkan kecerdasan buatan untuk mengembangkan kerangka program, menyusun proposal pendanaan yang efektif, memperluas peluang pendanaan, meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam proses penulisan, serta meningkatkan kualitas proposal pendanaan yang dihasilkan,” ujar Maitra.
Sementara itu, Ketua Yayasan Alkautsar Temanggung, Mohammad Kurniawan mengatakan, pelatihan ini memberikan perspektif baru dan segar baginya.
“Topik ini menyadarkan kita semua bahwa ada mesin kecerdasan yang dapat membantu para penyusun program di lembaga-lembaga non-profit untuk mampu mengembangkan program dan menyusun proposal secara efektif untuk para donor,” ujarnya.
Sumunar Jati, Ketua Yayasan Shaf Indonesia, Bogor yang bergerak di bidang bantuan sosial-kemanusiaan, menuturkan, bahwa pelatihan ini amat membantu lembaganya yang relatif baru untuk dapat bekerja lebih efisien dan efektif, khususnya dalam pemanfaatan teknologi informasi seperti kecerdasan buatan.
“Selain penyusunan program dan proposal, kami memandang perlu dibuat pelatihan mengenai aplikasi presentasi yang tentu membutuhkan aplikasi AI yang berbeda,” ujarnya.(sup)