Semarang,koranpelita.com
Dalam forum rapat organisasi Serikat Karyawan Perhutani, Kamis malam (13/4/2023) lalu, kemukakan alasan gugatan terhadap Surat Keputusan (SK) Men LHK tentang Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) adalah kemungkinan terjadinya perubahan fungsi kawasan hutan menjadi tidak lagi berfungsi hutan.
Apa yang dikhawatirkan itu ternyata benar sedang terjadi di kawasan hutan negara produksi kayu di daerah Bagian Hutan Gemolong, Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Telawa, Divisi Regional Jawa Tengah.
Kawasan hutan jati di RPH Kadirejo, petak hutan nomor 17 itu kini sedang dirobohkan.
Ratusan pohon jati terpaksa ditebang secara dini atau tebangan sebelum masak produksi kayu. Khususnya di areal seluas 35×75 meteran. Belasan pohon di sekitaran terpaksa roboh oleh terjangan mesin excavator alias backhoe yang sengaja didatangkan ke sana.
” Dalam waktu dua bulan ke depan rencana kami dapat menyelesaikan pembangunan embung di sini,”tutur Pardi Bencek terkait ihwal keberadaan mesin pacul raksasa di tengah hutan jati negara itu.
Sosok pemuka masyarakat desa yang ada di lokasi pembangunan Embung menjelaskan, dirinya berperan selaku pendamping Kelompok Tani Hutan (KTH) Wono Makmur.
Lembaga Desa Hutan itulah yang sedang membangun sebuah embung penampungan air guna sistem pertanian di areal seluas 55 hektare di dalam kawasan hutan.
KTH Wono Makmur merupakan pemegang Ijin pemanfaatan hutan sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) nomor SK 5842/MENLHK/-PSKL/PKPS/PSL.0/10/2017 tentang pemberian Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS).
Meski IPHPS merupakan program atau tujuan utama dari kelahiran Surat Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) nomor 287 tentang kebijakan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), yang tengah menjadi kontroversi di kalangan masyarakat yang peduli kelestarian alam kehutanan.
“Di lahan kehutanan ini nantinya para petani KTH Wono Makmur akan membangun kebun buah alpokat,” ungkap Pardi Bencek ihwal rencana selanjutnya seusai pembangunan waduk kecil atau Embung itu.
Tidak Berdaya
Sementara itu, Forum Rapat Lengkap Pengurus Sekar di Semarang Kamis malam (13/4/23) itu, juga menyatakan sinyalemen kalo jajaran Direksi Perum Perhutani/Board of Director saat ini, sedang tidak berdaya menghadapi tekanan pihak penerbit SK KHDPK.
“Mereka tampak lemah dan menjadi tidak peduli dengan eksistensi kawasan hutan serta mengabaikan nota kesepakatan kerja bersama (KKB) karyawannya,” demikian ungkapan kritis dari forum Rapat tersebut.
Ungkapan tentang keberadaan Direksi yang lemah itu, tersirat dalam ekspresi tegang sejumlah tenaga tebang paksa hutan jati Gemolong di siang hari itu. Terbukti nampak benar suasananya kalau para pegawai Perhutani KPH sedang dalam tekanan perintah dadakan dari atasannya.
Seperti diketahui, aturan penebangan pohon jati di kawasan hutan produksi harus melewati prosedur yang memerlukan waktu berbilang bulan, melalui sejumlah proses panjang dalam koridor sistem perencanaan yang cermat.
“Kecuali akibat bencana alam, nyaris mustahil melakukan proses tebangan secara dadakan begini. Pasti ada prosedur standar yang dilanggar, ” tutur sosok pensiunan rimbawan yang diminta komentarnya.
Meski demikian, katanya lagi, pastilah terjadi konflik batin yang menyakitkan di benak petugas Perhutani, yang terpaksa harus mengikuti perintah dadakan atasannya itu.
“Apalagi saat menyaksikan di depan matanya ada alat berat di dalam kawasan hutan. Sungguh berpotensi kena sanksi hukum pidana bagi siapapun yang berani memasukkannya,” tutur Rimbawan yang tidak bersedia dipublikasikan namanya ini.(***)
Memang tidak semua kth peduli dengan fungsi hutan, masih banyak kepentingan untuk menghasilkan uang/pendapatan dengan merubah fungsi hutan. Hutan di jadikan perkebunan terlebih sayuran