Jakarta,Koranpelita.com
Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan, Agama bagi bangsa Indonesia memiliki peran signifikan sebagai perekat kohesi social sekaligus determinan utama pembangunan etos dan etis kebangsaan kita. Pasalnya, Bangsa Indonesia sejak dahulu menempatkan agama sebagai kekuatan pemersatu bangsa.
Karena itu meski bangsa ini dibangun dengan keragaman agama, tidak pernpah terjadi dalam sejarah muncul konflik atau perang berkepanjangan antar penganut agama yang berbeda.
Hal tersebut di ungkapkan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Pakar Aliansi Kebangsaan Mayjen TNI (Purn) I Dewa Putu Rai pada FGD bertema “Agama sebagai Kekuatan Pemersatu Bangsa dan Penggerak Pemajuan Peradaban Bangsa dengan Paradidma Pancasila,” yang digelar Jumat (17/6/2022).
FGD digelar oleh Aliansi Kebangsaan, bermitra dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahun Indonesia (AIPI), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan Media Kompas.
Mengutip The Encyclopedia of Religion, Pontjo menjelaskan bahwa hubungan agama dengan negara dalam praktik kehidupan kenegaraan masa kini dapat dipolakan ke dalam tiga bentuk, yakni: integrated, dimana terjadi penyatuan antara agama dan negara dalam wajah negara teokrasi; intersectional, terjadi persinggungan antara agama dan negara, dan secularistic yang memisahkan secara diskrit agama dengan negara. Dari tiga praktik kehidupan kenegaraan tersebut, para pendiri negara telah bersepakat untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi dan tidak pula negara sekuler.
“Jika merujuk pada pola hubungan tersebut, hubungan agama dengan negara, dalam tata hidup bersama kita, bersifat interseksional, dengan tekanan khusus pada fundamentalnya posisi keber-Tuhan-an dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” lanjut Pontjo.
Hal itu tersurat jelas, misalnya, dalam Pidato 1 Juni Bung Karno. Di depan siding BPUPK menegaskan: “Bukan saja bangsa Indonesia harus ber-Tuhan, tetapi masing- masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhan-nya sendiri. Marilah semuanya ber- Tuhan.
Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama.“
Dalam pandangan para pendiri negara, yang tergambar dalam pernyataan Bung Karno tersebut, keber-Tuhan-an yang dilembagakan dalam keber-agama-an serta harmoni dalam keanekaan agama merupakan penanda sekaligus kekuatan dalam kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Masalahnya, kata Pontjo, belakangan ini kehidupan berbangsa masyarakat Indonesia diwarnai dengan berbagai gejala yang menunjukkan belum optimalnya signifikansi agama dan keberagamaan bagi pembangunan peradaban nasional. Berbagai persoalan masih menghantui bangsa ini yang ditandai dengan beberapa gejala, antara lain: berulangnya berbagai peristiwa dan kasus terorisme/ekstremisme kekerasan berbasis doktrin keagamaan tertentu, maraknya gerakan untuk mengganti negara Pancasila dan mendirikan negara khilafah, radikalisme dan massifnya ujaran kebencian (hate speech) dengan menggunakan doktrin-doktrin keagamaan.
Berbagai hasil riset oleh Setara Institute, Wahid Foundatian, dan CRCS-UGM, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan peristiwa dan Tindakan intoleransi dalam satu setengah dekade terakhir. Sejak tahun 2012, menguat politisasi identitas (khususnya identitas keagamaan) dalam berbagai hajatan elektoral di tingkat local dan nasional yang melahirkan polarisasi dan fragmentasi sosial-kemasyarakatan- kebangsaan.
Gejala tersebut diakui Pontjo telah memicu terjadinya dinamika politik yang destruktif dalam optic kebangsaan Indonesia, sehingga mengganggu keamanan nasional dan berpotensi memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa. “Agama sebagai sesuatu yang sakral telah digunakan sebagai alat politik kekuasaan.
Ketuhanan dan keberagamaan yang dibayangkan oleh para pendiri negara sebagai dasar bagi pembangunan kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial kini justru diinstrumentasi oleh berbagai kelompok untuk tujuan-tujuan-tujuan sebaliknya,” tambahnya.
Sebagai kerangka nilai dan norma
Aliansi Kebangsaan menilai, situasi tersebut mesti lekas diatasi dengan revitalisasi peran dan fungsi agama dalam membangun peradaban bangsa. Agama harus dijadikan sebagai kerangka nilai dan norma dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Agama mesti difungsionalisasi untuk membangun dua sisi kesalehan sekaligus yaitu kesalehan pribadi dan kesalehan sosial dalam satu tarikan nafas.
Dijelaskan Pontjo, agama yang dianut melalui keimanan (faith) dan kepercayaan (belief) harus menjadi dasar (basis) sekaligus daya dorong (motives) bagi pembangunan karakter individual dan kolektif, kemanusiaan dan kebangsaan, yang mewujud dalam kualitas kehidupan masyarakat bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adail dan makmur.
Agama yang dianut juga bermuara pada pencapaian tujuan nasional sesuai dengan alinea keempat UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Menurut Pontjo, banyaknya persoalan mendasar yang menjadi pekerjaan rumah bangsa Indonesia harus segera diselesaikan secara bersama-sama, dengan bergotong-royong.
“Melalui diskusi kita ini diharapkan menghasilkan pemikiran, pengetahuan, dan insight baru sebagai kontribusi bersama kita untuk menawarkan solusi-solusi bagi penyelesaian masalah kebangsaan dan kenegaraan kita, khususnya pada ranah mental-kultural,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Forum Rektor Indonesia Prof Ir Panut Mulyanto dalam sambutannya mengatakan agama sejatinya dapat menjadi kekuatan pemersatu bangsa. Keragaman agama yang ada di Indonesia oleh para pendiri bangsa diharapkan justeru akan menguatkan bangsa Indonesia untuk lebih cepat mencapai kejayaan.
“Namun kenyataannya bahwa saat ini ada hal-hal yang dikaitkan dengan agama oleh Sebagian saudara-saudara kita yang pada akhirnya menimbulkan paham radikalisme dan sikap intoleran bahkan anti Pancasila,” kata Panut.
Menurutnya media yang sangat bauk untuk mengatasi persoalan tersebut adalah melalui pendidikan dari tingkat PAUD hingga pendidikan tinggi. “Bagaimana Lembaga pendidikan, mampu menanamkan nilai-nilai Pancasila ini serta bagaimana para penganut agama menjalankan ajar0an agamanya dengan benar sehingga pada akhirnya agama bagi bangsa Indonesia benar-benar menjadi alat pemersatu bangsa,” tambah Prof Panut.
Di luar lembaga pendidikan, penanaman nilai-nilai Pancasila bagi masyarakat bisa dilakukan dengan pendekatan diskusi-diskusi, pendekatan ekonomi dan pendekatan humanitas. Panut yakin dengan berbagai model pendekatan seperti itu maka agama benar-benar akan berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa.
Pada kesempatan yang sama,Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.Phil, M.A, cendekiawan muslim dalam materinya, mengatakan bahwa Nusantara adalah benua maritim yang dipenuhi dengan agama-agama besar dunia, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Keragaman agama tersebut telah menimbulkan ikatan solidaritas bangsa Indonesia yang demikian kuat, yang tidak ditemukan di negara lain termasuk benua Eropa.
“Inilah keistimewaan kita, dimana agama tidak memecahbelah bangsa tetapi justeru telah menjadi ikatan solidaritas dan pemersatu penduduk Indonesia,” katanya.
Azyumardimencontohkan bagaimana agama di Eropa telah menjadi pemecah belah penduduknya. Perbedaan agama di Eropa telah memicu munculnya negara-negara baru. “Beda sedikit, mereka lantas bikin negara baru,” tegas Prof Azyumardi.
Indonesia lanjut Prof Azyumardi adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Indonesia berdasarkan Pancasila sebagai common platform di antara komunitas dan kelompok warga yang sangat majemuk.
Dengan Panacasila ini dipastikan bahwa Indonesia bukanlah negara berdasarkan agamajuga tidaklah negara murni sekular. “Mayoritas mutlak warga dan pemimpin Indonesia menerima Pancasila sebagai final untuk dasar negara Indonesia,” ujar Prof Azyumardi. (Vin)