Oleh Man Suparman
SEORANG penutur Jepang di Jakàrta, merasa kebingungan di Indonesia banyak akronim yang belum diketahuinya. Dia pun membuka-buka kamus bahasa Indonesia. Namun nihil, akronim yang dicarinya tidak ada dalam kamus.
Tentu saja itu, berbeda dengan di negaranya, setiap ada istilah-istilah yang baru dan akronim baru diimbangi dengan adanya kamus. Sehingga jika ada akronim baru atau yang tidak dipahami tinggal membuka kamus. Kalau sekarang tinggal membuka internet atau google.
Kisah penutur Jepang yang kebingungan dengan akronim-akronim baru, terjadi pada zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau yang populer dengan nama akroniknya, SBY. Penutur Jepang, bingung juga yang dia tahu SBY itu, Surabaya. Dia tidak tahu kalau akronim SBY adalah akronim dari nama Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia.
Apalagi sekarang ini dalam keseharian, baik ketika ngobrol maupun pada tulisan-tulisan, berita-berita, ungkapan-ungkapan mungkin terdapat berpuluh-puluh akronim baru, karena siapapun bebas membuat akronim-akronim sendiri. Namun dari sekian banyak akronim tidak sedikit yang sulit atau rumit dipahami, karena satu suku kata yang disingkat atau dijadikan akronim sekenanya. Boleh jadi yang penting singkat, keren, unik dan menarik.
Padahal dalam menyingkat suku kata untuk dijadikan akronim tidak sembarangan. Sehingga mudah dipahami tidak rumit, tidak jelimet. Contohnya, paling tidak yang diambil hurup depannya seperti akronim RRI (Radio Republik Indonesia),TVRI (Televisi Republik Indonesia), DKI (Daerah Khusus Ibukota), KBB (Kabupaten Bandung Barat) dan lainnya. Akronim-akronim itu, mudah dipahami yang tentunya tidak rumit.
Nah, berbeda sekarang ini, sungguh banyak akronim yang rumit dan sulit dipahami. Boleh jadi akronim itu dibuat dimaksudkan nuntuk menyingkat, untuk memudahkan yang ujung-ujungnya agar menarik,namun sebaliknya jadi amat sangat rumit.
Akronim-akronim yang rumit dan sulit dipahami contohnya banyak akronim yang dibuat terkait program 100 hari kera bupati di daerah tempat tinggal penulis, juga akronim-akronim lainnya pada program pemerintahan provinsi yang juga sama semarak dengan akronim-akronim yang rumit.
Akronim – akronim yang rumit, hemat penulis diantaranya, PARE GEDE, akronim dari Pajak Rumah Makan Rentoran Hotel dan Kafe Untuk Pembangunan Daerah, SARUNG MANJUR akronim dari Santri Unggul Mandiri Maju Dan Relegius, CINLOK PETAI akronim dari Cintai Produk Lokal Peternak Dan Perani, KARAOS akronim dari Kawasan Pertanian Super Prioritas, KAPUK, akronim dari Kampanye Penggunaan Pupuk Organik, CINLOK KERIUK akronim dari Cintai Produk Lokal Ekraf Dan UKM, RURAL akronim dari Rehabbilitasi Rumah Tidak Layak Huni dan sejumlah akronim lainnya yang rumit-rumit lainnya.
Munculnya akronim-akronim dalam program 100 hari kera bupati tersebut, tentunya niatnya sangat mulia, yaitu untuk memudahkan dalam mensosialisasikan program-program tersebut. Namun sebaliknya dengan akronim-akronim yang terkesan rumit, jangan menjadi rumit dalam pelaksanaannya. Sehingga hanya indah dalam akronim bagi yang membuatnya, namun rumit bagi orang lain dalam memahaminya, sehingga tidak memiliki ruh dan tidak sinergi untuk pelaksanaan berbagai program pembangunan yang semarak dengan akronim-akronim yang terkesan rumit itu.
Dengan begitu, ya harus banyak belajar menghapal akronim- akronim program pembangunan 100 hari kerja, sehingga tidak kelabakan jika ada orang yang bertanya tentang akronim-akronim yang terkesan rumit tersebut. Ya, ketika seorang pejabat ketika ditanya apa kepanjangan dari salah satu akronim, malah kebingungan. Wallohu’alam. (Penulis wartawan Harian Umum Pelita 1980 – 2018/www.koranpelita.com).