Pontjo : Sudah Seharusnya Bangsa Ini Menjadikan Paradigma Ekonomi Berbasis Pengetahuan

Jakarta,Koranpelita.com

Penguasaan dan pengembangan inovasi teknologi, merupakan isu yang sangat penting dan strategis, karena teknologi dewasa ini telah menyebabkan terjadinya transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan pengetahuan (Knowledge Based Economy), dimana pengetahuan dan teknologi menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam pertumbuhan dan kemandirian ekonomi.

Kekuatan sebuah bangsa kemudian diukur dari kemampuan Iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing. Negara-negara dengan kekayaan alam yang berlimpah sekalipun sudah menyadari bahwa suatu saat kekayaan alamnya akan habis, sehingga sudah menitikberatkan perkembangan ekonominya ke knowledge-based economy.

“Saya sependapat dengan ungkapan Michaele Porter dalam bukunya “The Competitive Advantage of Nations (1989)”, bahwa national power, kedayasaingan, kemakmuran sebuah bangsa, tidak lagi hanya ditentukan oleh “endowment factor” seperti sumber daya alam, iklim, letak geografi, dan lain-lain, akan tetapi sangat ditentukan oleh “advanced factor” yaitu pengetahuan dan teknologi,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam Diskusi Serial Kebangsaan bertema Penguasaan dan Pengembangan Teknologi dalam Rangka Penguatan Sektor Energi dan Sumber Daya Alam, yang digelar secara virtual, Jumat (19/2/2021).

Menyadari perkembangan ekonomi dunia seperti itu, lanjut Pontjo sudah seharusnya bangsa ini menjadikan paradigma “Ekonomi Berbasis Pengetahuan (EBP)” itu sebagai suatu gerakan nasional, kalau bangsa ini ingin maju, makmur, mandiri dan berdaulat dalam bidang ekonomi, serta berdaya saing global.

Gustav Papanek, Presiden Boston Institute for Developing Economies, dalam suatu diskusi ekonomi di Jakarta beberapa tahun yang lalu menyampaikan bahwa Indonesia mengalami apa yang disebutnya sebagai “penyakit Belanda” (Dutch Disease) yaitu penyakit terlena dengan kekayaan sumber daya alamnya. Tentu bangsa ini tidak boleh terus menerus terlena, karena gerakan EBP akan terus berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi.

Dalam mewujudkan gerakan ekonomi pengetahuan tersebut, pada FGD yang
lalu, ada beberapa langkah strategis yang direkomendasikan untuk dilakukan bangsa ini, antara lain yaitu: (1) Kebijakan yang holistik; (2) Memperkuat sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi/lembaga riset, dan industri/dunia usaha, yang sering disebut sebagai sinergi “Triple Helix”. Dalam kolaborasi kelembagaan Triple Helix ini, industri/dunia usaha berperan sebagai pendorong, pengembang, penghasil, dan sekaligus pengguna inovasi teknologi; (3) Pemberdayaan masyarakat, agar ruang-ruang pengembangan inovasi teknologi menjadi semakin luas dan merata; dan (4) Prioritas pengembangan pada beberapa sektor unggulan Indonesia, termasuk dalam penguatan sektor energi dan sumberdaya alam yang akan kita diskusikan hari ini.

“Seperti kita ketahui bersama, energi merupakan komoditas strategis dan vital
baik ditinjau dari segi ekonomi, politik, sosial, dan keamanan nasional. Sejarah
membuktikan bahwa Isu energi sangat erat kaitannya dengan ketahanan nasional suatu negara. Sekitar 70 % konflik yang terjadi di dunia bersumber dari isu energi dan pangan. Karenanya, ketersediaan energi menjadi isu strategis global yang bisa menjadi sumber konflik bahkan perang antar negara,” jelasnya.

Oleh karena itulah, maka kemandirian dan ketahanan energi sudah seharusnya
menjadi salah satu kepentingan nasional utama Indonesia yang perlu terus
diperjuangkan. Ketahanan energi sangat ditentukan oleh empat aspek utama, yaitu availability, accessibility, affordability, dan acceptability. Untuk memenuhi aspek-aspek ketahanan energi tersebut, maka mewujudkan bauran energi (energy mix) nasional menjadi sangat penting agar tidak tergantung hanya kepada satu sumber energi saja.

“Harus diakui hingga saat ini, Indonesia masih sangat bergantung pada energi
berbasis fosil (minyak bumi dan batu bara) sebagai sumber energi nasional, utamanya untuk mencukupi kebutuhan di sektor transportasi, industri dan kelistrikan. Eksploitasi secara terus menerus sumber energi fosil yang tidak dapat diperbaharui tersebut dapat menyebabkan sumber cadangan jenis energi ini suatu saat akan habis” jelas Pontjo.

Berbagai sumber menyatakan bahwa cadangan terbukti (proven reserve) minyak bumi diperkirakan akan habis kurang dari 10 tahun, dan batu bara hanya tersedia sampai kurang dari 28 tahun.

Manfaatkan sumber energi baru terbarukan (EBT)

Salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi berbasis fosil dan untuk meningkatkan ketahanan energi nasional, adalah dengan pemanfaatan sumber energi baru terbarukan (EBT) atau populer dengan sebutan energi hijau yaitu sumber energi yang dapat diperbaharui secara terus menerus sehingga keberadaannya di alam ini tidak akan habis.

Selain itu lanjut Pontjo, sumber energi terbarukan adalah sumber energi ramah lingkungan yang dapat memberikan kontribusi terhadap isu perubahan iklim dan pemanasan global.

Oleh karena itu, pemanfaatan EBT sudah seharusnya menjadi prioritas nasional untuk mengurangi ketergantungan negara pada energi fosil, dan pada saatnya akan mendukung peningkatan stabilitas ekonomi nasional, meningkatkan manfaat sosial dan lingkungan, serta memungkinkan Indonesia untuk memenuhi komitmen mitigasi perubahan iklim di bawah Paris Agreement.

Untuk itu, pemerintah telah mentargetkan kontribusi EBT dalam bauran energi nasional mencapai 23% di tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050, sebagaimana tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 22 Tahun 2017.

“Tentu masih banyak tantangan yang harus kita hadapi dalam pengembangan
EBT ini untuk meningkatkan share EBT dalam bauran energi nasional kita. Inovasi teknologi diyakini menjadi salah satu faktor kunci pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Mengembangkan EBT membutuhkan investasi dalam jumlah besar, namun dengan input teknologi, akan memungkinkan EBT menjadi lebih terjangkau dan lebih ekonomis,” kata Pontjo.

Untuk meningkatkan efisiensi dalam pengembangan EBT, selain meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan inovasi teknologi, seharusnya juga berbasis potensi lokal (lokalitas), karena secara geografi dan
sebaran potensi EBT Indonesia memang sangat beragam. Dengan demikian, maka
setiap daerah dapat mengembangkan dan menggunakan energi terbarukan secara efektif dan efisien dengan jenis yang berbeda sesuai potensi setempat.

Berkaca dari pengalaman negara-negara lain, lokomotif pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan terletak pada dunia usaha atau korporasi yang menjadi ujung dari pengembangan, penggunaan, dan pemasaran inovasi-teknologi.

“Mengingat pengembangan sektor energi skalanya sangat besar dan membutuhkan investasi dalam jumlah besar pula, menurut hemat saya harus ada korporasi yang diberi tugas sebagai lead corporation yang menjadi motor dalam pengembangan sektor energi. Selain itu, perlu juga ada rekayasa sosial (social engineering) untuk menarik para pengusaha ikut ambil bagian dalam pengembangan sektor energi sehingga jumlah dan kulaitas pengusaha-nya meningkat. Harus diakui, jumlah pengusaha Indonesia di sektor energi masih sangat kecil. Hal ini perlu saya kemukakan dalam kesempatan ini, karena saya meyakini bahwa inovasi teknologi dan gerakan ekonomi berbasis pengetahuan tidak mungkin akan berkembang tanpa dunia usaha,” jelasnya.

Larangan ekspor bahan tambang mentah

Lebih lanjut Pontjo mengatakan, Indonesia termasuk salah satu negara yang sangat kaya akan sumber daya alam. Salah satunya adalah bahan baku nikel yang lagi booming karena trend perkembangan mobil listrik (electric vechical) yang sangat pesat.

Potensi bahan baku nikel Indonesia disebut tidak akan habis hingga 200 tahun ke depan. Mengutip Data US Geological Survey (2019), dari 80 juta metrik ton cadangan nikel dunia, hampir 4 juta metrik ton tersimpan di
Indonesia. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-6 deposit nikel terbesar di dunia.

Sebelum diberlakukanya pelarangan ekspor bahan tambang mentah, Indonesia termasuk 3 besar negara pengekspor nikel dan mineral ikutannya. Namun sejak Januari 2020, pemerintah secara resmi melarang ekspor nikel mentah, baik sebagai batuan nikel (nickel ore), maupun bijih nikel yang kadar nikelnya di bawah tiga persen. Walaupun kebijakan ini digugat oleh Organisasi Perdagangan Dunia ( WTO), kebijakan ini perlu dilanjutkan karena cadangan nikel di Indonesia akan terus menipis. Selain itu, kebijakan ini juga diambil dalam rangka program pemerintah terkait kendaraan listrik, karena nikel bisa dimanfaatkan untuk industri baterai kendaraan listrik yang mempunyai prospek sangat bagus ke depan.

Untuk menangkap peluang ini dengan sebaik-baiknya, maka penguasaan
inovasi teknologi baterai untuk kendaraan listrik merupakan kunci utama bagi Indonesia menjadi pemain utama di sektor electric vehicle yang ramah lingkungan.

Selain itu, menurut beberapa sumber, kualitas bahan baku nikel Indonesia masih tergolong rendah. Peningkatan kualitas bahan baku ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan inovasi teknologi. (Vin)

About ervin nur astuti

Check Also

Ketua DPP PKS: Rendahnya Pendapatan Jadi Tantangan Kinerja APBN 2024

Jakarta, Koranpelita.com Ketua DPP PKS menanggapi paparan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan Anggaran Pendapatan dan Belanja …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca