Oleh Dasman Djamaluddin
*Penulis, Wartawan senior tinggal di Jakarta.
Tanggal 27 Januari 2021 ini, sudah tentu bangsa Indonesia menundukan kepala, mengingat kembali perjalanan bangsa Indonesia di masa Orde Baru, yang tidak dapat dilepaskan dari nama seorang tokoh militer dan juga salah seorang Jenderal Besar RI bernama Soeharto. Dua orang Jenderal Besar lainnya adalah Jenderal TNI Soedirman dan Abdul Haris Nasution.
Jenderal Besar adalah pangkat tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang perwira TNI Angkatan Darat dengan tanda Bintang Lima dipundak. Pemberian pangkat ini hanya untuk perwira-perwira yang sangat berjasa. Selebihnya, pangkat Jenderal (4 bintang) yang biasanya dicapai oleh perwira-perwira tinggi. Pangkat ini ditandai dengan lima bintang emas di pundak.
Sudah tentu Astana Giribangun pada tanggal 27 Januari 2021 ini akan dikunjungi keluarga Presiden Republik Indonesia ke-2, Soeharto. Kompleks makam ini terletak di lereng Gunung Lawu pada ketinggian 660 meter di atas permukaan laut.
Presiden ke-2 Soeharto meninggal dunia pada hari Minggu, 27 Januari 2008. Kepergian orang nomor satu di Indonesia waktu itu memperoleh tempat istimewa di berbagai media massa ketika itu. Ini membuktikan, lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 tidak memudarkan pengaruh yang telah dibinanya selama 32 tahun berkuasa, apalagi ketika menghembuskan nafas terakhirnya, masih banyak para pejabat atau mantan pejabat dalam dan luar negeri berkunjung ke rumahnya di Jalan Cendana.
Dendam Politik dan Harapan Untuk Melupakannya
Ketika Ruang Credential, Istana Merdeka, 21 Mei 1998 terlihat sangat hening tentu semua orang bertanya, peristiwa penting apa yang akan terjadi. Ternyata, tepat pukul 09.00 WIB, seluruh perhatian tertuju kepada Presiden Soeharto, karena ingin tahu apa yang ingin disampaikan untuk seluruh bangsa Indonesia.
Waktu itu, Presiden Soeharto memakai pakaian sipil berwarna gelap dan berpeci hitam. Di sampingnya terlihat Wakil Presiden RI Bacharuddin Jusuf (B.J) Habibie dan para ajudan. Mereka berjalan pelan-pelan menuju mikrofon yang terletak di tengah-tengah ruang Credential. Nampak Presiden Soeharto dengan sikap tenang, nyaris tanpa ekspresi, dan mengenakan kaca mata baca mengambil naskah pidato dari ajudannya, lalu menyatakan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI dan menyerahkan jabatan Presiden kepada Wakil Presiden RI, B.J. Habibie.
Presiden RI Jenderal Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) Soeharto, mengundurkan diri setelah tidak memperoleh dukungan terhadap dirinya.
Sebelum Presiden Soeharto mundur, Indonesia mengalami krisis politik dan ekonomi dalam 6 sampai 12 bulan sebelumnya. B.J. Habibie melanjutkan setidaknya setahun dari sisa masa kepresidenannya sebelum kemudian digantikan oleh Kiyai Haji Abdurrahman Wahid pada tahun 1999.
Kejatuhan Soeharto juga menandai akhir masa Orde Baru, suatu rezim yang berkuasa sejak tahun 1968. Cerita di balik kejatuhan Jenderal TNI Soeharto tersebut memunculkan berbagai cerita menarik lainnya, di antaranya dari Laksamana TNI (Purn) Soedomo. Ia adalah seorang petinggi militer yang terkenal di masanya karena jabatannya sebagai Pangkopkamtib. Dalam posisi pemerintahan, ia pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja pada periode 1983—1988 dan juga sebagai Ketua DPA.
Tiba-tiba ketika Soedomo meninggal, Rabu, 18 April 2012, saya teringat kembali kenangan ketika bertemu beliau pertama dan terakhir, di rumahnya, Pondok Indah, Senin 8 Februari 2010. Pertemuan pertama, karena memang pertamakali saya berbicara empat mata atau secara khusus. Kedua, setelah itu tidak lagi bertemu hingga beliau meninggal dunia.
Pak Domo, panggilan akrabnya, tiba-tiba bicara tentang peta perpolitikan menjelang Pak Harto lengser dari jabatan Presiden RI.
Diselingi humur- humor kecil, Pak Domo bercerita mengenai tiga orang yang sangat tidak disukai Pak Harto. Pertama, Harmoko, Kedua, B.J. Habibie dan ketiga, Ginanjar Kartasasmita.
Sebetulnya, saya tidak ingin mengetahuinya, karena fokus utama saya ke rumah Pak Domo, adalah menggali informasi tentang Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) Rais Abin (anak buah Soedomo) yang dimuat di halaman 218 dan 219 buku biografi tentang beliau: ” Catatan Rais Abin, Panglima Pasukan Perdamauan PBB di Timur Tengah (1976-1979) (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012).
“Tidak disukai Soeharto,” itu juga merupakan dendam politik. Tetapi apakah di tahun 2021 ini, dendam politik itu akan terus kita pelihara? Sudah tentu tidak.
Ada hal menarik yang dilakukan dua keluarga besar Presiden RI ke-1 Soekarno dan keluarga Presiden ke-2 Soeharto. Itulah yang diterapkan anak-anak Presiden Soeharto dan anak-anak Presiden Soekarno ketika kedua keluarga besar tersebut bertemu di Hari Ulang Tahun Guntur Soekarno Putra pada 8 November 2014. Hal ini patut dicontoh untuk menghapus dendam politik. ***