Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit
HANYA dalam rentang waktu sepuluh hari, korupsi besar terjadi di tanah air. Peristiwa OTT (Operasi Tangkap Tangah) ini benar benar mengguncang sendi administrasi pemerintahan dan sendi moralitas kebangsaan. Masalahnya terjadi pada saat penanganan pandemi masih sedang terjadi. Benar benar memalukan. Apa lagi korupsi yang terjadi di Departemen sosial, Ketika seluruh elemen bangsa, teerkhusus rakyat kecil sdang bergulat melawan virus korona. Sangat sangat memprihatinkan, dan entah kalimat mana lagi yang bisa dijadikan sebagai pengungkapan rasa dalam dada seluruh rakyat.
Namun demikian korupsi itu telah terjadi dengan modus yang sangat vulgar. Sementara pelaku korupsi pada tingkat kementerian ini, adalah tokoh yang sebelumnya, tepatnya hanya beberapa hari sebelumnya menyuarakan resep untuk mehindarkan diri dari korupsi. Resep yang merupakan pakta integritas, untuk tidak saja tidak melaukan tindakan korupsi, tetapi juga mencegah terjadinya perbuatan terkutuk itu. Namun yang terjadi sudah terjadi. Harus dihadapi sebagai satu kenyataan bahwa itulah standar moralitas bangsa ini. Setidaknya pada sebagian pejabat, yang melakukannya.
Penegakan Hukum
Terlepas dari berbagai upaya untuk memadamkan lebih lanjut terhadap teerjadinya korupsi yang ke berikut, kepastian untuk menegakkan hukum terhadap kejahatan korupsi yang terjadi pada masa pandemi ini terus dilakukan. Proses penangkapan, penahanan dan terus dilakukan poenyidikan sedang berlangsung. Muncul wacana sanat juat, atau tepatnya tuntutan dari masyarakat yang berwujud desakan agar para koruptor dalam masa pandemi, khususnya lagi yang mengkoruposi dana untuk melawan pandemi ini dijatuhi hukuman mati.
Tuntutan demikian masuk akal, mengingat berbagai kondisi yanbg harusnya diarahkan untuk secara maksimal melawan pandemi justru diselewengkan. Benar benar tidak berperikemanusiaan dan tak punya nurani dan empati yang menjadi karakter seorang pemimpin. Modus yang dilakukan secara terbuka dalam jumlah yang gila gilaan, dalam kuantitas sangat besar benar benar melukai hati seluruh komponen bangsa. Oleh karena itu tuntutan untuk dijatuhinya hukuman mati kepaa koruptor ini menjadi satu tuntutan yang realistis.
Ungkapan agar koruptor dijatuhi hukuman mati ini pernah disampaikan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri. Ia pernah mengingatkan kepada pejabat negara agar tidak melakukan korupsi dana anggaran penanganan pandemi korona. Tepatnya pernyataannya itu dikemukakan dalam acara rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI, pada Rabu, 29 April 2020. Saat awal-awal mewabahnya virus corona di tanah air, bahkan di seluruh dunia ini ia mengancam tidak segan-segan menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi dana bantuan sosial (Bansos) penanganan virus korona.
Kendatipun argumentasinya masih bersifat sosial, namun masuk akal bahwa persis bahwa korupsi yang dilakukan dalam bencana tidak lepas ancaman hukumannya pidananya adalah pidana mati. Memparihatinkan bahwa Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara terjerat kasus dugaan suap terkait pengadaan bantuan sosial (Bansos) berupa paket sembako untuk penanganan pandemi korona di wilayah Jabodetabek. Juliari Batubara diduga mendapat ‘jatah’ Rp17 miliar dari hasil pengadaan paket Bansos pandemi korona dimaksud.
Perspektif Ketentuan Yuridis
Pada perspektif penegakan hukum, dipahami bahwa ada ketentuan yang secara yuridis mengatur hal ini. Ketentuan yang tidak mengandung muti interpretatif itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Pasal 2 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Di dalamnya dinyatakan bahwa barang siapa yang telah melakukan perbuatan dengan sengaja memperkaya diri atau orang lain melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara maka diancam hukuman mati.
Jadi ancaman itu bukan pepesan kosong. Dalam Ayat 2 memang ssanat gambling dan mengandung kepastian hukum yang tegas bahwa ada ancaman hukuman mati. Sehubungan denga peristiwa merebaknya virus korona ini, secara teknis dinyatakan oleh pemerintah sebagai bencana non-alam. Sementara koruosi yang diancamkan hukuman mati itu manakala terjadi bencana alam. Oleh karena tu secara komprehensif harus dilakukan kajian mendalam untuk menjawab tuntutan masyarakat terhadap para koruptor ini dengan pidana mati.
Pada sisi lain, analisis terhadap kemungkinan diterapkannya hukuman mati itu tentu saja tidak didasarkan pada penilaian yang tidak terukur. Maksudnya bahwa kondisi obyektif yanhg ada pada realitas sosial masyarakat yang kemudian dikonfirmasikan dengan ketentuan yuridisnya harus dilakukan sedcara rasional dan cemat. Tidak dilakukan berdasarkan emosionalias, apa lagi berdasarkan kecenderungan berpihak yang artinya bertentangan dengan rasa keadilan.
Dalam kaitan ini benar, bahwa Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 berisi tentang klausula bahw di dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Sedara yuridis,Dalam keadaan tertentu yang dimaksud dalam pasal ialah tindak pidana korupsi tersebut dilakukan saat negara dalam keadaan bahaya atau bencana yang dinyatakan dengan Undang Undang yang berlaku. Adapun syarat dalam Undang Uundang yang berlaku yang dimaksud ialah bahwa realitasnya Negara tidak dalam Keadaan Bahaya. Negara seara obyektif masih dalam kendali tertib sipil. Secara yuridis, tidak dalam keadaan penanganan bencana alam nasional. Hal ini yang nennjadi kunci dasarnya, sementara hukuman mati dapat dijatuhkan sebagai hukuman maksimal manakala negara dalam keadaan bencana nasional dan itu dinyatakan dalam Undang Undang.
Memang secara konkret saat ini pemerintah sedang menyatakan bencana non alam. Banyak orang menyatakan justru bencana non alam pandemi korona ini lebih besar dampaknya daripada bencana alam nasional. Namun aturan yuridis menyatakan demikian, oleh karena itu jika kondisi demikian akan diubah dengan kausula yang menyebabkan seseorang dijatuhi pidana mati, harus diadakan perubahan. Namun demikian tentu saja seara yuridis perubahan dimaksud tidak boleh berlaku surut.
Pada sisi lain, pidana mati juga dapat dijatuhkan manakala negara dalam keadaan resesi ekonomi. Sementara itu resesi itu tidak sama dengan krisis ekonomi, resesi itu adalah manakala pertumbuhan ekonomi minus dua kuartal berturu-turut. Hal itu jikia terjadi baru Namanya resesi. Artinya sedara yuridis tidak akan bisa dikaitkan antara terjadinya korupsi masa pandemi ini paa satu sisi dengan klausula yang memenuhi syarat yuridis yaitu negara dalam keaaan darurat, atau negara sedang terjadi resesi ekonomi.
Oleh karena itu opini nyang berkembang dalam mnasyarakat, khususnya rasa penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya korupsi tersebut, dan keinginan untuk dijatuhi hukuman mati harus rasional. Kendatipun aspirasi yang muncul dalam masyarakat bersifat sebagai kondisi yang harus dipertimbangkan dalam penegakan hukum, tentu harus sesuai dengan koridor hukum itu sendiri.***