Cerita yang saya sampaikan di depan para sahabat, alumni, guru, dan kepala sekolah SMPN 2 Wates tanggal 1 Agustus 2020 itu, memang hanya sepenggal-sepenggal. Karena yang lengkap ada di buku Nami Kulo Sumarjono (NKS).
Saya agak ragu, sesungguhnya, saat panitia memimnta saya mengisahkan kembali buku NKS. Apalagi, di depan tokoh-tokoh yang jauh lebih inspiratif. Saya tahu, banyak lulusan SMPN 2 Wates yang sukses di panggung nasional. Ini, sudah pasti, tidak lepas dari peran para guru serta doa pangestu orangtua.
Begitu besar peran bapak-ibu guru, membantu menemukan jalan masa depan kita. Kini, sudah saatnya para alumni, melakukan sesuatu (bukan sekadar membalas budi dan jasa) tapi sekaligus yang lebih besar bagi andil sekolah yang telah membekali kita semua dengan prasyarat untuk sukses.
Inisiasi pembentukan paguyuban alumni, rasa-rasanya, bisa menjadi jalan agar semua lulusan SMPN 2 Wates, mengambil peran dalam berbuat sesuatu untuk sekolah, untuk Kulon Progo, serta untuk bangsa ini.
Sebelum turun panggung, menyudahi (semacam) sambutan ringan hari itu, saya mengucap selamat atas terbentuknya paguyuban. Juga, berterimakasih kepada panitia atas terselenggaranya peringatan lustrum ke-12. Saya mengajak semua berkolaborasi. Kolaborasi antara sekolah dan alumni.
BACA JUGA: NKS Menulis Pengasih: Di sini Saya Mengenal Cinta Pertama…
Sebelum acara ditutup dengan doa, sambutan terakhir dari tokoh kharismatik angkatan pertama SMP N 2 Wates. Beliau bersekolah di SMP ini mulai tahun 1960 dan lulus tahun 1963. Itu artinya, delapan tahun sebelum saya lahir.
Namanya Pak Ahmad Subangi. Tokoh yang juga punya perjuangan sangat heroic untuk bisa sekolah. Beliau bercerita,berangkat dari rumah ketika adzan subuh belum terdengar. Beliau harus mengejar waktu agar bisa naik sepur karena jarak yang jauh.
Pukul 03.30 wib setiap hari beliau sudah harus berada di atas kereta api menuju stasiun Wates yang kemudian berjalan kaki menuju ke sekolah. Untuk tahu waktu, beliau melihat bintang agar tak ketinggalan kereta.
Saya berdecak. Atau malah, melonggo (jika ada yang sadar) karena membayangkan niat Pak Bangi yang keras untuk sekolah. Saya semakin tidak bisa melukiskan kesedihan, kesengsaraan, dan nelangsanya hati jika sedang musim penghujan.
Bahkan, pada musim mendung, kesulitan sudah menghadang sejak dari rumah. Sebab, betapa sulit menentukan jam, hanya karena bintang tak kelihatan di langit.
Perjuangan Pak Bangi yang gigih bersekolah, memberi buah manis. Semua orang mengakui kesuksesan beliau. Kakak saya yang dulu bersekolah di STM N Wates mengakui bahwa Pak Ahmad Subangi adalah sosok kharismatik yang semua orang hormat kepadanya.
Pak Ahmad Subangi meniti karir sebagai guru ST Negeri II Wates, lalu menjadi guru STM N Wates serta telah mendirikan beberapa sekolahan demi mencerdaskan pemuda Kulon Progo.
BACA: NKS Menulis Pengasih: Lutessih, Wadah Berterimakasih
Karir Pak Bangi menanjak ke arah politik ketika tokoh penting Kulon Progo ini menjadi Anggota DPRD. Bersama pemerintah daerah, banyak hal telah dilakukan untuk kemajuan Kulon Progo. Mungkin ini pula yang mengantarkannya terpilih menjadi Anggota DPRD Provinsi DIY.
Setelah berkirsah perjuangannya bersekolah hingga karir politiknya yang cemerlang, Pak Bangi juga mengurai cerita di balik motto atau branding Kulon Progo: The Jewel of Java.
Hari itu, saya sangat beruntung, karena bisa mendengar langsung cerita lahirnya slogan yang menarik itu. Rasanya, baru pertama kali, saya mendengarnya. Apalagi, sewaktu masih tinggal di Kulon Progo, belum ada unen-unen The Jewel of Java.
Tagline The Jewel of Java lahir dari kegemasan. Gemas karena tak banyak orang mengenal Kulon Progo. Salah satu penyumbang ketidakterkenalan Kulon Progo adalah warganya sendiri, yang agak-agak kurang bangga sebagai orang yang dilahirkan di bumi Kulon Progo.
Dulu, misalnya. Orang Kulon Progo sangat jarang yang ‘berani’ mengaku sebagai Wong Kulon Progo. Atau jika ada yang bertanya begini, “SMPnya di mana?” Secara spontan, akan menyebutkan SMP Negeri 2 Wates, Yogyakarta. Sama sekali tidak ada embel-embel Kulon Progo.
Tidak ada yang bisa memberi penjelasan mengapa orang Kulon Progo enggan (atau malu) menyebut Kulon Progo sebagai identitas personalnya. Mungkinkah nama Kulon PRogo kurang keren? Entahlah. Tapi akibatnya, semakin tidak banyak orang di luaran yang mengenal Kulon Progo.
Lebih tragis lagi yang dikisahkan Pak Bangi saat dinas di Sumatera. Beliau dan rombongan mengenalkan diri dari Kulon Progo. Lantas tuan rumah menyebut bahwa rombongan tamu adalah dari sebuah daerah di Jawa Timur yang terkenal dengan reognya, Ponorogo. Sangat jelas mereka tidak mengenal Kabupaten Kulon Progo.
Berawal dari keprihatinan inilah digagas branding Kulon Progo dengan sebuah julukan The Jewel of Java. Sejatinya, Kulon Progo memiliki sejumlah potensi luar biasa yang belum banyak tergarap. Mulai dari sektor pariwisata, sektor perdagangan dan berbagai industri. Modal potensi ini, sesungguhnya tidak ada alasan untuk miner menyebut nama Kulon Progo. Kulo Asli Kulon Progo.
Begitulah pesan penting Pak Ahmad Subangi, penasihat Lutessih 2.1 yang juga angkatan pertama SMP N 2 Wates (kini bernama SMP N 1 Pengasih Kulon Progo). Pesan berkesan sebagai penutup rangkaian acara peringatan HUT ke-60 sekolah tercinta.
Saya termenung. Lalu tersenyum. Saya beruntung sudah punya NKS dan kaos dengan merk Nikaku (niki kaos kulo). Dalam buku itu, atau dalam kaos, tertulis “I Am(not)sterdam, tapi A Kulon Progo” sebagai gambaran cinta dan bangga saya sebagai wong Kulon Progo.
Sebelum saya benar-benar meninggalkan almamater yang saya cintai, saya meminta izin kepada Bapak Kepala Sekolah menengok kelas 1.D. Tapi rupanya, Pak Mohammad Sohin malah mengantar saya ke ruang kelas 1.D yang kini beralih fungsi. Di belakang kami, menyusul Mas Triyanto Raharjo yang kini menjadi Panewu Pengasih.
Meski bukan lagi ruang kelas, saya masih bisa melihat banyangan anak-anak 1.D yang kok rasanya agak mbeling-mbeling. Kelas penuh kenangan manis. Semanis tebu yang masih tumbuh ditanam di sawah yang kini lebih aman lantaran diberi tembok pembatas. (Tamat).
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS