Banjarmasin, Koranpelita.com
Sebagai tindaklanjut, Wakil Ketua DPRD Kalimantan Selatan (Kalsel) M Syaripuddin berharap Tim Koordinasi Percepatan Pencegahan dan Penanganan Stunting (TKP3S) di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 188.44/ 107/ KUM/ 2019 bisa lebih terorganisir dalam melaksanakan tugas sesuai dengan amanat yang diberikan agar kasus stunting dapat diselesaikan secara paripurna.
Hal itu disampaikan Bang Dhin sapaan akrab wakil rakyat Kalsel ini Jumat (7/8/2020)
Stunting kata dia, merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan asupan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi dalam waktu yang lama.
Sehingga, anak lebih pendek atau perawakan pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir.
Berdasarkan data World Bank pada 2017, Indonesia adalah negara ke-4 di dunia dengan jumlah balita stunting tertinggi. Data termutakhir dari hasil riset studi status gizi balita Indonesia (SSGBI) 2019 mencatat bahwa jumlah balita stunting di Indonesia saat ini mencapai 27,67 persen.
Artinya, terdapat 6.3 juta dari populasi 23 juta balita di Indonesia yang mengidap masalah stunting.
Jumlah yang telah melampaui nilai standar maksimal dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni sebesar 20 persen atau seperlima dari jumlah total anak balita dalam suatu negara. Sedangkan di Kalimantan Selatan angka stunting juga cukup tinggi, yaitu di angka 33,2 persen (data riset dasar kesehatan tahun 2018).
” Melihat kenyataan diatas diperlukan sinergitas untuk mengatasi stunting di Kalsel”, kata Bang Dhin.
Penyelesaian masalah stunting menurut dia, bukan hanya penanganan langsung terhadap balita stunting. Tetapi juga harus dilakukan pencegahan sedini mungkin dimulai dari pemenuhan asupan untuk remaja puteri. Remaja puteri harus menjadi perhatian khusus mengingat mereka akan mengandung dan melahirkan anak.
Saat ini ada beberapa program yang sudah dilaksanakan di Kalsel, yaitu program pemberian tablet tambah darah sebagai pencegahan anemia di tingkat SMP dan SMA, karena anemia merupakan penyumbang angka stunting. Akan tetapi, permasalahan yang terjadi adalah tidak terevaluasi apakah tablet tambah tersebut terkonsumsi dengan baik dan apakah sudah terukur dengan pemeriksaan HB secara berkala.
Diperlukan pengawasan bersama yang dilakukan pihak fasilitas kesehatan, sekolah dan orangtua. Jangan sampai program pencegahan tersebut hanya menjadi program mubazir.
Selain pencegahan anemia, remaja puteri juga harus diperhatikan kebutuhan gizinya, diharapkan dapat dipikirkan bersama untuk program makanan tambahan bagi remaja putri. Tentunya ini harus diikuti dengan kampanye dan edukasi kesehatan dan gizi untuk remaja puteri, karena diusia mereka, mereka berpikiran tentang penampilan berupa diet agar terlihat langsing. Pemberian paket makanan tambahan pun harus menyeluruh, tidak hanya untuk orang tidak mampu, karena orang mampupun belum tentu makanananya bergizi.
Terkait gizi, ada hal menarik. biasanya, orangtua senang melihat balitanya suka minum susu kental manis dan seolah itu hal yang baik. “Susu kental manis itu adalah perasa, balita tidak boleh mengkonsumsi sebagai minuman sebelum tidur, jadi bukan untuk kebutuhan pemenuhan gizi,” sebutnya.
Masalah gizi lain lanjut Bang Dhin, adalah pola konsumsi sayur, data riskesdas 2013 menunjukkan bahwa tingkat proporsi konsumsi buah/sayur pada penduduk umur 5 tahun keatas Kalsel menduduki peringkat teratas.
” Permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kalsel belum teredukasi dengan baik mengenai gizi,” tegas politisi PDI-P ini. (Ipik)