Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
Masyarakat terpana. Kembali mucul anak pejabat dan politisi yang mencalonkan diri menjadi pejabat publik, khususnya pada level bupati/walikota. Cukup Panjang jika dideret. Mulai dari putra presiden Jokowi, putri Wapres Ma’ruf Amin, putra putri para Menteri, dan putra putri politisi dari Senayan. Rata rata latar belakang mereka bukan politisi. Tetapi mendadak masuk ke ranah politik dan mencalonkan diri sebagai pejabat publik tadi. Pada hal kepemimpinan dari para tokoh itu pun Sebagian besar belum teruji kehandalannya dalam menjalankan kekuasaan.
Dalam bahasa formal memang menjadi hak para warga negara yang memenuhi syarat untuk itu. Tak ada larangan, dan itu sudah berlangsung turun temurun. Tidak saja dalam kancah politik lokal. Tetapi sudah meng-internasional. Para tokoh dunia senantiasa berkecenderungan untuk mengabadikan kekuasaan dengan mencetak kader atau generasi baru dari kalangan terdekatnya, untuk menduduki jabatan publik, bahkan sebagai penggantinya.
Hanya mitos, cerita masa lalu khususnya di kalangan pemimpin sufi, yang menolak kalangan dekat atau kerabatnya untuk didudukkan sebagai pejabat. Kendatipun memenui syarat dan sangat mumpuni. Khalifah Umar bin Khattab misalnya, menolak keras ketika ibnu Umar akan diorbitkan sebagai seorang gubernur. Hal itu seolah hanya pelipur lara dan hanya pantas untuk konteks kotbah atau ceramah.
Dinasti Politik
Dalam dunia politik, fenomena untuk mengabadikan kekuasaan, dengan mengorbitkan anak menantu dan kerabat dekat lainnya sebagai pejabat publik itu diberi label dinasti politik. Membangun dinasti politik. Oleh karena itu mencermatinya akan lebih tepat dari frame politik daripada frame hukum. Hukum sebagai aturan kendatipun merupakan produk politik tidak akan pernah terlepas dari kepentingan, khususnya dari pada pembuat aturan itu sendiri.
Dinasti politik, dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih pada perspektif sejarah sama dengan kerajaan. Kendatipun dengan cara yang dibungkus dengan teknis dan nama demokrasi, pada dasarnya tindakan itu adalah bentuk pewarisan secara turun temurun dari ayah kepada anak dan kemudian dikembangkan kepada angora keluarga agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.
Kecenderungan dinasti politik ini sejatinya sebagai sebuah bukti teerjadinya neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, ketika kompetisi dalam kancah kepemimpinan sosial masih longgar atau tidak ketat. Dasarnya secara antropologi politik adalah sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogi, ketimbang merit sistem, apalagi atas dasar profesionalitas dan prestasi. Andalannya adalah aturan formal yang tidak mempertimbangkan dari sisi etika dan kepatutan dalam proses rekruitmen.
Oleh karena ketidaktepatan dasar dan keraguan atas kemampuan ini, secara umum harusnya dilarang. Bahkan harus dilarang keras. Secara hukum, jika hal itu dibiarkan akan memicu tindakan pelanggaran hukum berupa korupsi yang bersumber dari keserakahan. Tidak bisa dihindarkan kemudian munculnya penyimpangan peruntukan dana yang ujungnya menyengsarakan rakyat. Sebab sederhananya pengelolaan pemerintahan dan administrasi negara dikelola oleh figur yang tidak kapabel. Inipun sudah terbukti secara konkret. Namun senyatanya perspektif pencermatan hanya difokuskan terhadap terjadinya pelanggaran sebagai fakta, tidak perneh menyentuh akar masalahnya secara konkrtet.
Masalah Nafsu Kekuasaan
Bahasa agama mengingatkan, bahwa hal hal yang berhubungan dengan keinginan untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara mewariskan (kendatipun formalnya dengan cara kompetisi) ini merupakan dorongan nafsu, tepatnya nafsu serakah ingin berkuasa. Secara politis faktor lingkungan yang menjadikan situasi kompetisi menjadi sangat ketat melahirkan kelompok baru, yang terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan. Secara alamiah hal ini memunculkan penguasa kelompok dan pengikut kelompok.
Kolusi kelompok ini secara alamiah berkembang tak hanya di lingkungan pemegang kekuasaan. Kolusi juga melibatkan terjadinya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk mengabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politik. Secara “profesional” kemudian melahirkan pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan pengusaha, dan ini yang kemudian melahirkan perilaku korupsi.
Gejala yang kemudian muncul dan berkembang dalam tataran politik moderen saat ini adalah dengan menjadikan partai politik sebagai mesin politik semata. Pada gilirannya memacetkan fungsi ideal partai politik sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan para tokoh yang duduk di parlemen sebagai representasi parpol. Bukan lagi sebagai wakil rakyat yang harusnya memperjuangkan aspirasi rakyat dan berusaha untuk mensejahterakan rakyat.
Pada tataran ini, para tokoh yang duduk di tampuk kekuasan adalah representasi dari penguasa dengan kepentingannya, dan poengusaha dengan kepentingannya, tak lagiu berorientasi kepada idealism memperjuangkan dan berupaya keras mensejahterakan rakyat. Itu menurut mereka hanya Bahasa klise yang sulit diukurdan tak bisa dipertanggungjawabkan secara politis. Konsekuensi berikutnya, adalah tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas, namun tak pubnya akses kekuasaan dan tak punya akses materi yang dikuasai pengusaha.
Dalam bahasa lebih mendasar, hal itu menjadi penyumbat utama terwujudnya cita-cita demokrasi secara konkret. Kekuasaan justru dipegang oleh orang yang tidak kapabel, sehingga pada akhirnya hanya angan saja ketika ada idealisme untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Meskipun secara admnistratif ada fungsi kontrol, namun karena kolusi dengan berbagai kepentingan sudah menjadi dasar, pada akhirnya fungsi kontrol kekuasaan tidak berjalan efektif.
Konkretnya, dengan dinasti politik ini secara konkret membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan dan menjalankan kekuasaan dengan tanpa dasar yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum apa lagi secara etika. Kemungkinan yang sudah terbukti kemudian, orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga dengan dibungkus berbagai argumentasi administratif. Dengan demikian dinasti politik harus dlarang. Dinasti politik bukanlah sistem yang tepat untuk diterapkan di negara Indonesia yang yang prular ini. Para penguasa harusnya menjadi contoh untuk tidak mengorbitkan keluarganya sebagai calon penguasa baru yang menggantikannya. (Penulis Notaris tinggal di Sampit)