*Mengenang Kepergian Buya Hamka (4)*
Oleh Dasman Djamaluddin
Bulan Juli ini, Buya Hamka meninggal dunia di usia 73 tahun. Tepatnya tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta. Diberitakan ia gagal organ multipel. Sangatlah tepat jika figur Buya Hamka untuk memberikan contoh kepada generasi penerus.
Siapa pun pasti bangga mendengar Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” salah satu novel karya Sastrawan Minangkabau almarhum Prof. Dr. Haji Abdullah Karim atau yang lebih populer dengan singkatan Hamka itu difilmkan.
Pada bulan Desember 2013, seluruh masyarakat Indonesia, mungkin sudah menyaksikan di berbagai bioskop tanah air, film yang diproduksi oleh Soraya Intercine Films. Sudah tentu seluruh peristiwa berdasarkan novel lagendaris Buya Hamka di tahun 1939, di mana sudah dicetak sebanyak 80 ribu eksemplar, bahkan lebih.
Yang jelas, pemain film adalah putera bangsa Indonesia. Tetapi memang perlu memperoleh beberapa catatan. Pertama, apakah roh atau pesan-pesan yang disampaikan di dalam Novel seorang alim ulama Buya Hamka bisa terwakili? Kedua, peran yang dimainkan sesuaikah dengan budaya asli bangsa Indonesia dalam hal ini Minangkabau?
Bagaimana pun sebuah pesan yang disampaikan merupakan kunci utama dari sebuah Novel Buya Hamka. Keberhasilan penulisnya. Sama halnya dengan Novel Pramudya Ananta Toer yang kalah dalam pemilihan Nobel Sastra. Salah satu faktor kekalahannya karena roh atau jiwa yang disampaikan dalam bahasa Indonesia tidak terwakili dalam terjemahan bahasa Inggrisnya. Menurut saya, roh dan jiwa itu jika di adaptasi ke film akan memiliki nilai yang sama.
Buya Hamka itu asli berasal dari Minangkabau. Ini yang perlu digarisbawahi. Ia juga alim ulama. Itu juga sangat penting kita ketahui. Berasal dari keluarga Muslim yang taat. Lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 di usia 73 tahun. Beliau adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat dan aktivis politik. Jangan lah hendaknya dengan munculnya film tersebut, membuat protes di kalangan berbagai pihak. Terutama para pemainnya, berpakaian ala Barat yang diperankan bangsa Indonesia asli yang tahun 1936 itu masih Kita menginginkan dengan munculnya film ini menambah bobot dari ulama, sastrawan Indonesia itu sebagian besar malah mengikuti budaya berpakaian Indonesia asli. Kalaupun mereka berpakaian budaya mereka, sangat sedikit sekali, juga biasanya diselenggarakan di kediaman dan kedutaan mereka sendiri. Jangan sebaliknya diperlihatkan budaya Barat tersebut untuk mewakili budaya asli, khususnya apa yang terjadi di Minangkabau tahun 1936 itu.
Cukup sudah beberapa fitnah yang dialamatkan kepada Buya Hamka. Lebih menyakitkan novelnya “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” ini pernah dituduh hasil plagiat dari novel “Magdalena” yang merupakan saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) dari roman yang ditulis pengarang Perancis Alphonse Karr, “Sous les Tilleuls”. Tetapi sejauh ini tidak ada bukti-bukti bahwa Hamka adalah seorang Plagiator.
Berkaitan dengan poster film dari novel Buya Hamka, boleh jadi juga sutradaranya ingin mengambil sumber dari penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) dari roman yang ditulis pengarang Perancis Alphonse Karr, “Sous les Tilleuls”. Tetapi menurut saya tidak demikian, karena itu merupakan film hasil karya putra bangsa Indonesia.
Untuk membandingkannya, baru-baru ini, kisah Buya Hamka juga diangkat menjadi film. Rumah produksi Starvision Plus dan Falcon Pictures dipercaya menggarapnya.
Adalah mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin yang pertama menggagas biopik tentang tokoh politik sekaligus penulis asal Sumatera Barat itu. Ia menawarkan kepada produser Starvision Plus, Chand Parwez untuk membuat film tentang Buya Hamka.
Tanpa pikir panjang Chand Parwez langsung merespons tawaran yang datang pada 4 November 2014 itu. Ia sampai hadir dalam pertemuan di kantor MUI. Menurutnya, ini merupakan film Indonesia pertama di mana rumah produksinya bekerja sama dengan MUI.
“Buya Hamka adalah orang yang terkenal ketokohannya. Tapi apa yang kita berikan [semoga bisa jadi] pencerahan dan inspirasi bagi kita semua,” kata Chand saat jumpa media di kantor Falcon Pictures, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Setelah disepakati pada 2014, film Buya Hamka melalui proses panjang. Terutama soal penulisan naskah. Diceritakan Chand, naskahnya harus direvisi berkali-kali karena dirasa belum ‘kena.’ Penulisan naskah akhirnya baru rampung setelah tiga tahun lamanya.
Chand mempercayakan penulisannya pada Alim Sudio. Ia dikenal sebagai penulis naskah untuk Ayat-ayat Cinta 2, Surga yang Tak Dirindukan, Guru Ngaji, dan Ranah 3 Warna.
Sementara sutradara diserahkan pada Fajar Bustomi, yang sukses menggarap Dilan 1990 (2018) yang berhasil meraup 6,3 juta penonton dan Dilan 1991 yang masih tayang di bioskop.
Semoga saja film ini sesuai dengan ajaran Islam sesuai tokoh yang diperankankan Buya Hamka, ulama besar bangsa Indonesia.
_Bakri Siregar: ” Van Der Wijck Karya Terbaik Hamka.”_
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, untuk memajukan organisasi Muhammadiyah yang digelutinya, Hamka bersedia menjadi guru Muhammadiyah di Makasar sekitar tahun 1931 sampai 1934. Pada tahun 1932, Hamka menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makassar. Selanjutnya Hamka menjadi Pemimpin Redaksi di Pedoman Masyarakat tahun 1936-1943 di Medan.
Di Medan ini, pada era 30an , karya-karya Hamka mulai terkenal dan ditunggu para penggemarnya. Beberapa roman/novel yang terkenal pada masa itu, Laila Majnun (1932), Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937). Novelnya lain yang terkenal adalah Merantau ke Deli (1940). Novel-novelnya menjadi buku sastra wajib di Malaysia dan Singapura. Pengaruh Hamka masih terjaga di kedua negara itu. Karya-karya besar Hamka lain Keadilan Illahi (1939), Tuan Direktur (1939), dijemput Mamaknya (1939), Tashawwuf Modern (1939), Falsafah Hidup (1939), Lembaga Hidup (1940) dan Lembaga Budi (1940).
Pada waktu menulis roman/novelnya ini, kehidupan Hamka tidak lagi sendirian, karena pada tanggal 5 April 1929, beliau dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak dari salah satu saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah. Menjelang akhir hayatnya ia mengangkat Jusuf Hamka, seorang muallaf, peranakan Tionghoa-Indonesia sebagai anak.
Di antara roman/novel Hamka yang terkenal adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Pertama kali diterbitkan sebagai cerita bersambung dalam Majalah Islam Mingguan Hamka di Medan, Pedoman Masjarakat. Menurut Yunan Nasution, salah satu karyawan majalah tersebut, ketika majalah itu dikirimkan ke Kutaraja, Aceh (kini Banda Aceh), banyak pembaca yang telah menunggu di stasiun kereta api agar bisa membaca bab berikutnya secepat mungkin. Hamka juga menerima surat dari beberapa pembaca, yang beranggapan bahwa novel itu mencerminkan kehidupan mereka.
Setelah mendapat sambutan yang hangat itu, Hamka memutuskan untuk menerbitkan Van Der Wijck sebagai novel dengan usaha penerbitan milik temannya, M. Syarkawi; dengan menggunakan penerbit swasta, Hamka tidak dikenakan sensor seperti yang berlaku di Balai Pustaka. Cetakan kedua juga dengan penerbit Syarkawi. Lima cetakan berikutnya, mulai pada tahun 1951, dengan Balai Pustaka. Cetakan ke delapan pada tahun 1961, diterbitkan oleh Penerbit Nusantara di Jakarta; hingga tahun 1962, novel ini telah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Cetakan setelah itu kemudian diterbitkan oleh Bulan Bintang. Novel Hamka ini juga pernah diterbitkan di Malaysia beberapa kali.
Kritikus sastra Indonesia beraliran sosialis, Bakri Siregar menyebut Van Der Wijck sebagai karya terbaik Hamka. Kritikus lain, Maman S. Mahayana, berpendapat bahwa novel ini mempunyai karakterisasi yang baik dan penuh ketegangan; Maman beranggapan bahwa ini mungkin karena novel ini awalnya diterbitkan sebagai cerita bersambung.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck berkisah tentang percintaan antara Zainuddin, laki-laki berayah Minang beribu Bugis, dan Hayati, perempuan yang murni keturunan Minang.
Dalam novel ini, Hamka menyatakan ketidaksetujuan terhadap beberapa tradisi dalam adat Minang, terutama mengenai diskriminasi terhadap orang keturunan campuran yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lebih dikenal dengan singkatan Hamka ini memang Muslim asal Minangkabau yang dibesarkan dalam kalangan keluarga yang taat beragama. Ia memandang tradisi yang ada dalam masyarakat di sekitarnya sebagai penghambat kemajuan agama, sebagaimana pandangan ayahnya, Abdul Karim Amrullah.
Zainuddin adalah anak yatim piatu. Ayahnya yang berasal dari kalangan Minang, meninggal dalam pengasingan setelah membunuh kerabatnya karena masalah warisan; sedangkan ibunya yang bukan Minang meninggal sebelumnya. Zainuddin tinggal bersama teman ayahnya, Mak Base di Batipuh, Sumatera Barat. Sebagai orang blasteran, banyak diskriminasi yang ditujukan kepadanya mengingat konservatifnya masyarakat Minang pada saat itu. Biarpun Zainuddin mencintai Hayati, putri dari bangsawan Minang, Zainuddin tidak diperbolehkan untuk bersamanya. Karena itu, Zainuddin kemudian memutuskan pindah ke Padangpanjang, tetapi tetap melakukan surat-menyurat dengan Hayati.
Suatu hari, Hayati berkunjung ke Padangpanjang untuk menjumpai Zainuddin. Hayati menginap dengan sahabatnya, Khadijah. Namun, kakak Khadijah, Aziz mulai jatuh cinta dengan Hayati, sehingga Aziz dan Zainuddin harus bersaing untuk memenangkan cinta Hayati. Aziz, yang murni keturunan Minang dan berasal dari keluarga terpandang, lebih disukai keluarga Hayati; mereka meremehkan Zainuddin, yang blasteran dan miskin. Biarpun Zainuddin mendapatkan warisan yang cukup besar dari Mak Base, Zainuddin hanya bisa menyampaikan hal itu setelah Hayati menikah dengan Aziz.
Karena putus asa, Zainuddin dan temannya Muluk pergi ke Jawa, tinggal pertama kali di Batavia sebelum akhirnya pindah ke Surabaya. Di perantauan, Zainuddin menjadi penulis yang terkenal. Pada saat yang sama, Aziz juga pindah ke Surabaya bersama Hayati karena alasan pekerjaan. Namun, hubungan mereka tidak lagi berjalan dengan baik. Setelah Aziz dipecat, mereka terpaksa menginap di rumah Zainuddin. Ketika Aziz menyadari bahwa Zainuddin lebih pantas untuk Hayati, Aziz memutuskan untuk pergi ke Banyuwangi; dalam sepucuk surat, Aziz menyatakan telah mengikhlaskan Hayati untuk Zainuddin.
Zainuddin, yang merasa tersiksa karena kerinduannya akan Hayati, menolak perempuan itu untuk tetap di rumahnya dan menyuruhnya agar pulang ke Batipuh. Hari berikutnya, Hayati pergi dengan menaiki kapal Van Der Wijck, yang kemudian tenggelam di pesisir utara pulau Jawa. Setelah mendengar berita itu, Zainuddin dan Muluk pergi ke Tuban untuk mencari Hayati, yang ternyata telah berada di rumah sakit. Di rumah sakit itu, Hayati meninggal setelah berbaikan dengan Zainuddin. Zainuddin pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Mereka kemudian dikebumikan secara bersebelahan. (Penulis wartawan senior tinggal di Jakarta)