Dampak Covid-19: Mungkinkah Pendidikan Kita Kembali ke Awal?

Bagian Pertama

Oleh : Miftahul Rizky

*#Formal*

Melihat dunia pendidikan saat ini dalam kondisi yang semakin memprihatinkan. Sejak muncul Virus Covid-19 kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka di sekolah terpaksa harus dihentikan, pembelajaran harus dilakukan dengan jarak jauh secara daring atau online.

Bukan tanpa alasan, penghentian tersebut untuk memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19 atau yang sering disebut dengan virus corona. Sejumlah aturan telah dikeluarkan Pemerintah Pusat sehingga wajib diikuti secara Nasional.

Dampak berhentinya KBM tatap muka di sekolah semakin menjadi kekhawatiran oleh sejumlah orang tua, khususnya bagi mereka yang berstatus miskin. Anaknya tidak bisa mengikuti program belajar secara daring karena orang tua tidak mampu membelikan Perangkat Android.

Walaupun sebagian siswa sudah mempunyai perangkat android tetapi seringkali mereka salah memfungsikan, siswa lebih tertarik bermain game online dari pada belajar bersama guru secara daring.

Fakta yang terjadi khususnya di Provinsi Aceh. Warung kopi yang punya akses Wifi tidak pernah sepi hingga waktu tengah malam. Mereka sibuk berkumpul menggesek-gesekkan jari di perangkat android untuk menikmati keseruan game yang mereka mainkan.

Guru kesulitan mengajar secara daring, bukan karena masalah koneksi internet yang lemot, bukan juga masalah disiplin kehadiran siswa. Mereka sulit ketika menyampaikan materi pembelajaran secara daring. Hal ini karena sebagian guru belum bisa memanfaatkan bantuan media teknologi.

Jika kegiatan belajar mengajar seperti ini terus berlanjut, berdampak buruk bagi generasi masa mendatang. Generasi yang diharapkan akan menjadi penentu arah perubahan bangsa terus menjadi generasi yang *LEMAH* dan *BODOH*.

—————

*#Nonformal*

Berbeda halnya dengan pendidikan Non-formal yang di kelola secara mandiri oleh Ulama-ulama Dayah Salafi seperti pondok pasantren. Khususnya di daerah Aceh, selama kondisi pandemi kegiatan belajar mengajar kitab kuning secara tatap muka di dayah tidak di hentikan.

Pengajian di dayah tidak satupun mengikuti protokoler kesehatan. Santri dayah tidak memakai masker, tidak mencuci tangan dengan sabun atau Handsanitizer, dan mereka selalu berkumpul dengan jumlah yang banyak ketika membaca shalawat, zikir serta Doa.

Ulama dan santri dayah tidak pernah khawatir akan meregang nyawa jika terserang virus corona. Mereka sangat yakin, akhir hidupnya akan Husnul Khatimah jika berada dalam Majelis Ilmu.

Mereka menganggap virus corona hanyalah sekedar isu belaka. Bukan tanpa alasan, pasalnya banyak pasien yang dinyatakan positif virus corona tetapi seketika bisa negatif. Tidak hanya itu, isu corona dinilai hanya sebagai proyek para elite penguasa.

Isu corona sering kali di bombardir oleh media masa untuk menakut-nakuti masyarakat. Maka sudah sepantasnya jika ulama dayah mengambil sikap tegas tidak memberhentikan kegiatan belajar mengajar kitab kuning secara tatap muka di dayah. Ulama dayah terus melanjutkan eksistensinya untuk pembentukan akhlak, moral dan pengetahuan agama kepada peserta didiknya.

Selama ini banyak video yang tersebar di media sosial pasien positif corona menari-nari di ruangan isolasi, bahkan ada pasien yang senang ketika di isolasi karena dilayani berbagai makanan dan minuman yang enak. (Penulis, Wartawan Koranpelita.com tinggal di Lhokseumawe, Aceh Darussalam)

 

About redaksi

Check Also

Perempuan Tak Cukup Miliki Ilmu, Tapi Mesti Berbudi Pekerti Luhur

SEMARANG,KORANPELITA.COM – Perempuan adalah tempat pendidikan atau madrasah pertama bagi anak. Karenanya, seorang perempuan mesti …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca