Sholat wajib di Masjidil Haram adalah keseharusan bagi saya, selama munggah kaji. Juga thawaf. Penginapan calon haji tahun 2008 yang tak dekat, bukan alasan untuk tidak ke masjid yang memberi kedamaian batiniah itu.
Meski sangat jarang bus yang melayani kami, tapi, hanya sesekali saja, kami memegang kunci dan sholat di masjid dekat dengan penginapan. Itupun untuk maksud ibadah ‘rahasia’ yang dimaklumi teman-teman sekamar.
Naik bus di Mekkah, saya rasa-rasakan, mirip dengan saat naik bus di Jakarta. Terutama untuk urusan berebut bus. Seolah masih di Jakarta, kami saling mendahului mendapat tempat di dalam bus yang akan membawa pulang ke Al Nuzhah, lokasi penginapan kami.
Semua ingin naik. Berjubel, unthel-unthelan menjadi satu. Karena bercampur mulai dari jamaah satu rombongan, berbeda rombongan, bahkan dengan jamaah dari negara lain. Yang paling repot jika bertemu jamaah Mesir yang berbadan besar-besar.
Saya sering tak tega jika melihat rombongan yang lebih sepuh. Jadi apa boleh buat, bukan hanya atas nama kemanusiaan, kami relakan ruang sempit di dalam bus untuk mereka yang berusia lanjut. Perut lapar yang bertambah parah, karena berdiri sepanjang perjalanan, harus ditahan.
BACA JUGA: NKS Munggah Kaji-1: Saat Niat Menguat…
Pemandangan yang memprihatinkan, tidak hanya ketika melihat simbah-simbah berebut naik bus. Selama di tanah suci, saya dan istri juga sering menemui anggota rombongan haji dari kloter lain yang tersesat.
Biasanya, mereka terpisah dari rombongan sehingga bingung harus mengambil jalan ke arah mana. Jika dekat dengan penginapan, tak jarang kami antarkan. Saya selalu bersyukur, bisa munggah kaji pada usia muda, sehingga masih kuat melakukan banyak hal yang berat, termasuk mengantar jamaah yang tersesat.
Saat mengantar mereka yang bingung itulah, kami tahu bahwa beberapa penginapan tidak dalam kamar-kamar namun ruang memanjang yang diisi lebih dari 20 orang. Bersyukurnya kami yang diberi kenyamanan lebih dari mereka.
Setelah melewati banyak ibadah, inti haji segera menghampiri. Hari semakin mendekat sehingga persiapan juga bertambah serius.Pimpinan rombongan mengajak kami mengenal medan.
Menurut saya ini penting agar tidak terkaget-kaget seolah tak siap. Walau tidak bisa semuanya masuk dalam area yang akan digunakan untuk rangkaian ibadah, namun sudah terbayang seperti apa jutaan orang melaksanakan ibadah secara bersamaan.
Tanggal 8 Dzulhijjah 1429 H tiba. Melalui Pak Heri sebagai ketua regu, Pak Widi, Pak Hakim, dan Pak Dodik serta saya diminta berihram dengan niat melaksanakan ibadah haji. Maka kami bersiap dengan terlebih dahulu melaksanakan beberapa sunnah sebelum berihram.
Meski ini ibadah, kami masih sempat berfoto-foto. Berlima, kami foto di depan kamar. Foto memang tidak ada dalam sunnah nabi sewaktu berhaji, tapi bermanfaat juga hari-hari ini, karena menjadi dokumentasi penting. Semoga ini bukan hal yang riya.
Saya sudah berihram. Menutup kedua pundak sesuai yang disunahkan. Setelah itu, saya harus mengingat beberapa hal yang termasuk dalam larangan ihram.
Saya dan rombongan dari kloter 54 kemudian bertolak menuju Mina. Sepanjang perjalanan kami terus mungucap kalimat talbiyah. Di Mina, kami melakukan Shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya’ dan Shubuh. Shalat-shalat tersebut kami kerjakan dengan berjamaan pada waktunya masing-masing namun mengqashar shalat-shalat yang jumlah rakaatnya empat (yaitu Zhuhur, ‘Ashar, dan ‘Isya’) menjadi dua rakaat.
BACA: NKS Munggah Kaji-2: Labbaik Allahumma Labbaik…
Sesuai dengan yang disarankan oleh pimpinan rombongan, kami memperbanyak membaca talbiyah dan membaca dzikir-dzikir lainnya. Tanggal 8 Dzulhijjah 1429 itu kami menginap di Mina. Menginap atau mabid di Mina di dalam tenda besar.
Kami kini tidak hanya berlima karena tenda diisi sangat banyak jemaah. Saya masih terngiang pesan Pak Ali Fikri pimpinan rombongan agar saat mabit tak boleh mengeluh atau ngotot harus berkumpul dengan yang satu regu. Kesabaran dan kebersamaan untuk tujuan mendapatkan haji mabrur adalah yang utama.
Fajar tanggal 9 Dzulhijjah 1429 H datang. Saya dan rombongan bergerak menuju Arafah. Kami dan jamaah haji seluruh dunia yang jumlah lebih dari dua juta orang, hari itu akan berkumpul di padang gersang, Padang Arafah.
Kami akan wukuf di Arafah dimulai dari tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah sampai terbenam matahari. Di Arafah kami diam dan bersimpuh di hadapan Allah sembari berharap mendapat ridha dan ampunan Allah SWT.
Saya mengingat-ingat saat pimpinan rombongan memberi khutbah saat wukuf yang dilanjutkan dengan sholat dhuhur dan sholat ashar secara qashar dan jama’ taqdim dengan satu adzan dua iqomah.
Dari khutbah, saya mendapatkan pencerahan bahwa sejatinya wukuf ini untuk mengingat sejarah Nabi Adam dan Siti Hawa yang diturunkan ke bumi dari surga. Mereka terpedaya iblis. Lalu dipisahkan di dunia selama 40 tahun untuk bertemu kembali.
BACA: NKS Munggah Kaji-3: Perih Merintih di Depan Ka’bah
Wukuf yang berarti berhenti, diam tanpa bergerak adalah kegiatan utama dalam ibadah haji. Berdiam diri sejenak untuk melupakan kebanggaan, kekayaan, jabatan, dan segala urusan duniawi lainnya. Sudah sangat jelas bahwa esensi berhaji adalah kesamaan derajat yang disimbolkan dalam pakaian ihram yang tak terjahit. Semua menggunakan hanya dua helai kain ihram saja. Tak lebih. Inilah simbol persamaan derajat manusia.
Wukuf yang berarti berhenti, diam tanpa bergerak mengingatkan saya bahwa setelah kehidupan yang diwarnai dengan gerakan, maka pada suatu saat gerakan itu akan berhenti. Suatu saat jantung kita akan berhenti berdetak, mata kita akan berhenti berkedip, seluruh anggota tubuh kita dan tangannya akan berhenti bergerak. Diam, kaku, tak bergerak sedikitpun.
Saat itu yang disebut kematian. Dan, Padang Arafah seolah melambangkan Padang Mashar dimana pada saatnya nanti kita semua akan dikumpulkan setelah kematian.
Merinding, takut, haru, dan entah apalagi yang berkecamuk dalam diri. Khutbah saat wukuf di Arafah membuat tangis kembali menguras air mata. Teringat terlalu banyak dosa yang saya perbuat dan masih sangat sedikit bakti saya terhadap bapak simbok, anak-istri, rekan, lingkungan, dan negara. Wukuf yang berarti diam tak bergerak tiba-tiba menjadi sarana mengingat kehidupan dengan segala dosa, kesombongan, kufur nikmat, dan kesalahan yang saya sudah lakukan.
Tanpa menunggu tangis itu reda, saya seraya memperbanyak dzikir dan do’a sampai matahari terbenam. Wajah dan tubuh ini mengarah ke kiblat berdo’a dengan mengangkat kedua tangan dan penuh kekhusyu’an. Memohon ampunanNya.
Setelah wukuf hingga waktu terbenamnya matahari, saya dan jamaah haji lainnya menuju ke Muzdalifah untuk mabit, bermalam di sana. Saya baru tahu maksud KBIH meminta jamaah membawa senter. Ternyata ini berfungsi untuk mencari batu untuk melontar jumrah. Kerikil yang mesti disiapkan berjumlah 70 butir kerikil.
BACA JUGA: NKS Munggah Kaji-4: Kamar Barokah & Haji Tamattu’
Setelah melakukan mabit, saya mengikuti ketua rombongan meneruskan perjalanannya ke Mina untuk melaksanakan ibadah melontar Jumroh. Tanggal 10 Dzulhijjah, saya dan rombongan haji melaksanakan ibadah melempar jumrah. Kerikil yang saya kumpulkan semalam ini saya lontarkan ke Jumrah Aqabah sebanyak 7 kali.
Makna melempar jumrah yang saya tangkap dari penjelasan beberapa ustad dan referensi memang bervariasi disesuaikan kepada siapa para ustad memberi tausiah. Namun saya menangkap makna lempar jumroh itu bukan berarti secara harfiah kita benar-benar sedang melempari setan yang sedang berada atau terikat di jumrah. Lempar jumrah tidak pula berarti setan akan merasa tersiksa dan takut dengan lemparan batu dari para jamaah haji.
Makna lempar jumroh adalah membuat setan ‘sakit’ dengan senantiasa mengingat Allah dan taat kepadaNya. Saat melempar jumroh, kita, jamaah haji, dianjurkan melemparnya sambil melafalkan dzikir dengan bertakbir.
Lafal takbir, Allahu Akbar, itu membuat kita mengingat Allah. Melaksanakan ritual lempar jumrah juga merupakan perintah Allah. Jelas bahwa mengerjakan keduanya merupakan bentuk ketaatan umat yang akan membuat setan kesal dan menjauh. Jadi sejatinya, semua ritual yang dilakukan saat ibadah haji, termasuk lempar jumroh, adalah untuk mengingat Allah.
Setelah melempar jumrah Aqabah, ritual dilanjutkan dengan tahalul awal yaitu mencukur rambut atau sebagian rambut. Dengan telah bertahalul, kita boleh memakai pakaian biasa dan hal yang dilarang selama ihram tidak berlaku, kecuali berhubungan suami istri.
Pada hari yang sama, walaupun tidak dapat menyaksikan secara langsung namun diwakili oleh beberapa pimpinan rombongan dan rekan lainnya, kami menyembelih kurban.
Tahallul awal sudah selesai, lalu saya beserta rombongan bertolak menuju Masjid al-Harom untuk Thawaf Ifadhoh. Rangkaian ibadah setelah selesai melakukan thawaf ifadhoh adalah sa’i antara Bukit Syafa dan Bukit Marwa sebanyak 7 kali.
Selesai sa’i kami menjalani prosesi tahallul kedua. Dengan tahallul kedua, saya dan jamaah haji lainnya sudah terbebas dari semua larangan ihram. Dan, untuk urusan potong rambut ini ada banyak ahli yang menanti. Tak perlu waktu. Hanya dalam sekejap, kepala saya sudah plontos, los. Hilang semua yang hitam di kepala, seperti diharapkan, hilang semua kekotoran dalam diri pak haji.
Saya dan rombongan kembali ke Mina setelah menjalani semua rangkaian ibadah haji tanggal 10 Dzulhijjah dikerjakan. Karena ingin menghendaki nafar tsani, maka kami dan rombongan tetap tinggal di Mina pada hari tasyrik tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Dan, setiap siang pada hari-hari tasyrik itu, kami melontar jumrah Ula, Wustho dan Aqobah, masing-masing 7 kali.
Dengan selesainya melontar jumroh, selesailah seluruh rangkaian kegiatan ibadah haji. Tanggal 13 Dzulhijjah siang kami kembali kembali ke Mekkah. Kembali ke penginapan. Di mana di sana kamar barokah berada.
Begitulah. Medan juang menuju keridhoan Tuhan memang sangat menantang. Penuh perjuangan dan perlu kesabaran. Panasnya gurun yang menyengat butuh persiapan fisik dan niat yang kuat.
Tak jarang jemaah haji yang terserang sakit karena cuaca yang ekstrem atau aktivitas fisik seperti menempuh jarak yang jauh dengan jalan kaki. Sampai-sampai hampir semua jemaah, termasuk saya sakit batuk atau suara yang hilang. Ada ungkapan yang tidak terserang batuk saat di Mekah hanyalah onta.
Kesabaran yang juga diuji saat semua hal perlu untuk mengantri. Jumlah jemaah yang sangat banyak mengharuskan sabar untuk mendapat giliran mandi, berwudhu, atau sekedar buang air. Belum lagi untuk urusan makan. Beberapa orang mengambil berlebih seolah takut tidak mendapatkan. Hingga jemaah yang terakhir mengambil tak bisa menikmati.
Sebelum meninggalkan Mekah untuk menuju Madinah, ada sebuah hal yang mesti dilakukan yaitu thawah wada’. Thawaf wada’ adalah thawaf perpisahan yang dilakukan bagi kita yang hendak meninggalkan kota Mekah. Tentu ada kesedihan di setiap perpisahan. Apalagi meninggalkan Masjidil Haram yang entah kapan lagi bisa mengunjunginya kembali. Terselip sebuah doa, kiranya suatu waktu bisa umrah atau berhaji kembali. (Tamat)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS.