Oleh: Eki Thadan
Setiap persoalan yang timbul perlu disikapi bukan disiasati. Pernah kah melihat seekor cicak yang memutus ekornya? Apakah itu suatu siasat untuk menyelamatkan diri?
Ketika saya pasang status di FB tentang menyiasati waktu saat sedang work form home, stay at home. Kangmas Erry Amanda mengingatkan, sesungguhnya kata MENSIASATI sama dengan menipu – (sekali pun terma dan istilah itu sudah lama hidup di tengah-tengah masyarakat dan dianggap sebagai ‘teori, sistem atau cara’ dalam menghindar atau mengelabuhi suatu masalah yang sedang dihadapi.
Dari dulu kangmas Erry tak pernah MENYIASATI apa pun dalam hidupnya, ia selalu menghadapi masalah yang menghadang dalam berbagai bentuk, ia sikapi dengan mengeksplorasi kemampuan atau potensi yang pada dirinya, baik dengan cara memperdayakan akal maupun mengolah pikiran dari berbagai prespektif, jadi, bukan dengan BERSIASAT.
Jika kata SIASAT dijadikan sikap dalam mengatasi segala persoalan dengan pola MENSIASATI HIDUP, maka pada proses mengurai problem di sepanjang perjalanan kehidupan akan menjumpai MENSIASATI SAKIT. Rentang waktu yang dilalui akan memunculkan siasat-siasat baru, penipuan-penipuan baru, yang justru melahirkan rasa kecewa dari kebuntuan masalah, dan menimbulkan perasaan sakit dalam jiwa bahkan berdampak pada orang lain, bisa jadi, mereka sakit hati atas perilaku dari penyiasatan atau sikap mengelabui yang telah dilakukan.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata siasat padanan kata; muslihat dan taktik, namun ketiga kata tersebut sering dipakai untuk mengatur strategi dalam menyikapi situasi sehari-hari, mengatur taktik untuk melihat akar permasalahan dengan jeli, dan bermuslihat dalam mengeksplorasi kemampuan diri untuk menyusun strategi perencanaan A, membuat alternatif strategi B dan menentukan pilihan rencana C.
Memang agak susah menerjemahkan kata STRATEGY yang berasal dari bahasa asing, jika satu kata ‘dipaksakan’ untuk bisa diterjemahkan dalam ‘satu kata’. Semisal, strategi, jauh lebih luas dari pada sekadar siasat. Dalam membuat strategi ada siasat, di dalam strategi ada unsur ‘merancang sesuatu’ tapi bukan desain. Strategi lebih dekat kapada taktik atau kiat.
Kata strategis dalam bahasa Indonesia pun ‘dipungut’ dari kata strategy. Tapi artinya justru agak melenceng. Pengertian strategis dalam bahasa Indonesia mengacu kapada: suatu tempat atau posisi yang menguntungkan, seumpama, lokasi tempat berbisnis sangat strategis letaknya.
Dalam menghadapi persoalan bisnis, acapkali siasat dipakai untuk mengatur kinerja sumber daya manusia yang ada, mengelola sistem manajemen, menghitung dengan cermat dalam menentukan harga jual, mencari peluang menjaring konsumen, berupaya meningkatkan pendapatan, aktivitas bisnis yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan segala siasat yang dilakukan.
Namun dalam mensiasati hidup, tidak harus menggunakan pola siasat sebagaimana pada saat mengelola bisnis, karena HIDUP BUKAN BISNIS, hidup dimaknai dengan menjalani sesuai aturan dan perintahNYA yang diyakininya, maka outputnya adalah peningkatan kualitas, mutu, memberi yang terbaik dalam bentuk apa pun. Terbaik dalam memberi pelayanan, terbaik menawarkan produk yang dijual, terbaik memberikan sarana dan fasilitas untuk peningkatan kesejahteraan, hal itu merupakan kewajiban manajemen bisnis atas sikap kepedulian kemanusiaan yang dilandasi oleh norma-norma sosial (SOCIO MORALITY).
Membangun kerajaan bisnis bukan dengan cara siasat, muslihat atau taktik, namun mengembangkannya dengan MANAGING DESIRE MECHINE yang mengatur antara hasrat atau kehendak sepadan dengan kemampuan (kapabilitas) yang dimiliki oleh sumber daya perusahaan tersebut. Bayangkan, jika hasrat untuk mencapai target tertinggi, dalam waktu yang sudah tetapkan, tetapi tidak ditunjungan dengan kemampuan pendukung, pastinya kehendak capaian itu menjadi harapan dari selembar rencana di atas kertas kerja saja.
Bayangkan, ketika pedagang menyiasati penjualan produknya, ia menjual suatu barang dalam satu box, semisal buah-buahan, di bagian atas disusun yang bagus-bagus, tetapi di bawahnya ada yang busuk. Atau mempromosikan Duren Kualitas Terbaik dengan harga murah, kemudian pedagang mengelabui pembeli dengan cara buah durian itu telah disuntik esen supaya manis. Maka hasil dari siasat itu, perlahan-lahan akan membunuh dirinya sendiri dan usahanya bukannya untung, malah buntung, ditinggal konsumennya. Berbisnis dagang yang wajar tanpa mensiasati pasar.
HIDUP bukanlah menyiasati waktu, hidup adalah proses panjang dalam mengaplikasi kehidupan dengan segala resiko yang akan ditimbulkan, problematik yang hadir di setiap waktu, masalah yang datang silih berganti atas keputusan yang telah dipilihnya, karena setiap pilihan memiliki resiko yang sama dan setara.
Resiko hidup tidak mengenal strata sosial, kaya-miskin, pedagang-karyawan, pejabat-penjahat. Masing-masing mempunyai resiko yang diterima, mau tidak ia tentu akan menyikapinya, tidak dengan cara menyiasatinya. Misal, seseorang kondisi ekonominya miskin, tidak mampu makan berhari-hari, saat itu ia harus makan singkong, maka, baginya bukan mensiati laparnya, tetapi situasi hidup yang disikapinya. Resiko sikap selanjutnya ia harus mengekplorasi diri untuk berkerja, dengan profesi sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.
Waktu yang bergerak adalah peluang untuk mengeksplorasi potensi diri dalam menghadapi masalah apapun dalam hidup dan kehidupan, prosesnya mesti dilalui dari sikap yang satu ke sikap berikutnya, sikap itu menjadi gaya hidup, life style, kebiasaan yang mendarah daging, menjadi budaya yang dipegang teguh dalam mencari solusi, dengan terus dan terus menggali keserbamungkinan untuk mengatasi masalah, bukan bersiasat setiap saat. (Penulis, budayawan mantan wartawan Merdeka)