Jakarta, Koranpelita.com
Konferensi Pers yang digelar Universitas Indonesia mengenai kasus diskusi BEM UI #PapuanLivesMatter beberapa hari lalu, Michael Manufandu, Mantan Duta Besar Indonesia untuk Kolombia mengatakan terselenggaranya acara diskusi #PapuanLivesMatter merupakan hak masyarakat pada kebijakan pemerintah mengenai kebebasan berpendapat, namun terdapat peraturan dan etika publik sebagai ukuran agar masyarakat sopan santun dalam tutur kata dan memberikan pendapat yang mempunyai nilai realistis.
“Universitas Indonesia dengan berbagai perangkat pimpinan atau rektornya mempunyai kewenangan untuk menghasilkan produk mahasiswa yang bagus, bernilai tinggi, dan berkarakter. Memang perlu dipertanyakan, banyaknya pelanggaran pada acara tersebut. Perlunya teguran, peringatan, sanksi dan lain-lain, agar dapat mengevaluasi diskusi yang menyebabkan dampak yang meluas di ranah publik. Seperti, adanya diskusi atau seminar yang dinilai mengandung unsur berbeda pendapat yang ekstrim”, ungkapnya.
Keteraturan, hierarki, prosedur, dan metode perlu diterapkan oleh organisasi yang di usung BEM UI.
“Universitas Indonesia mempunyai aturan berlaku, untuk membina mahasiswa. Organisasi BEM UI harus berjalan sesuai aturan, dalam setiap organisasi harus ada hierarki. Universitas Indonesia memberlakukan aturan tersebut dan akan menekankan kembali kepada BEM UI. Keteraturan, hierarki, prosedur dan metoda akan diberlakukan sesuai ketetapan terlebih pada BEM UI. Kebebasan berpendapat harus diatur agar tidak menyalahi aturan yang berlaku”, lanjutnya
Sehubungan dengan adanya diskusi #PapuanLivesMatter, pihaknya kembali menekankan kepada Universitas bagaimana pimpinan Universitas memberikan reward dan punishment bagi organisasi BEM UI yang telah menyelenggarakan acara tersebut. Jika pimpinan universitas melihat adanya pertentangan, akan diberikan sanksi tersendiri. Kebebasan akademisi harus berpikir realistis berpikir bagaimana dampak yang akan terjadi. Pimpinan harus melihat bagaimana ke depan dampak tersebut, sebagaimana acara yang sama.
Cudry Sitompul, S.H.,M.H., Dosen Fakultas Hukum, mengatakan terselenggaranya acara diskusi #PapuanLivesMatter dinilai peran pembicara tidak mewakili beberapa pihak, sehingga acara tersebut tidak komprehensif. Acara tersebut tidak dapat diterima untuk mewakili Universitas Indonesia.
“Tema yang diangkat oleh BEM UI berkaitan dengan hukum yang bersifat tidak bersifat apartheid, mengenai hak-hak manusia. Pemerintah tidak melakukan seperti yang dibicarakan dalam diskusi tersebut. Pandangan opini seseorang tertentu berkaitan dengan isu diskusi yang missleading, tidak benar pemerintah melakukan tindakan kekerasan ke papua. Hal tersebut hanya tindakan hukum yang dilakukan pemerintah menangani Papua”, ungkapnya.
Sayang sekali, lanjutnya, BEM UI mengadakan diskusi yang isinya tidak ada kaidah ilmiah, rujukan-rujukan, dan teori-teori. Hal tersebut yang disampaikan harus ada ilmunya, sehingga tidak membawa dampak buruk terhadap instansi dan publik. Dikarenakan diskusi hanya pendapat pribadi dan bukan cara ilmiah, substansi tersebut tidak dapat diterima sepenuhnya dan perlu diteliti. “Hal tersebut dapat menjadi fitnah bagi Pemerintah yang cenderung membawa isu rasisme yang dilakukan pemerintah, ujarnya.
Menurutnya, Mahasiswa UI tidak seharusnya melakukan pembahasan tersebut tanpa ada dasar-dasar dan metodologi ilmiah. Diskusi adalah kebebasan pendapat, atau biasa disebut kebebasan akademik dalam lingkup universitas. Jika hal tersebut adalah kebebasan akademik harusnya membawa hal ilmiah dan metodologinya. “Kalau seperti diskusi yang lalu, berarti hanya sekedar orasi mahasiswa,” tandasnya.
Selain itu, Amelita Lusia, M.Si, Kepala Biro Humas dan KIP UI, mengatakan BEM UI sudah mengajukan perizinan untuk mengadakan acara diskusi #PapuanLivesMatter, namun surat baru diterima Direktorat Mahasiswa pukul 11.00 WIB dan kegiatan dilaksanakan pada pukul 19.00 WIB.
Diungkapkannya, Pihak Dirmawa sudah memberikan saran berdasarkan narasumber yang terlihat hanya satu pihak perlu dievaluasi, untuk mengikutsertakan pihak pro dan kontra sehingga acara terselenggara dengan baik. Namun, acara tersebut tetap berlangsung sesuai jadwal. Pihak Dirmawa sudah memberikan tanggapan namun tidak ada lagi komunikasi dengan pihak BEM UI.
“Ketika diskusi publik hanya ada narasumber satu pihak maka perlu dievaluasi kegiatan tersebut, agar tidak terjadi pro dan kontra di masyarakat atau ranah publik. Diskusi yang baik perlu ada perbedaan pendapat, sehingga tidak seperti diskusi #PapuanLivesMatter. Perlu ada pembanding dari pihak pro dan kontra,” ujarnya
Sanksi yang diberikan untuk BEM UI akan dipertimbangkan oleh civitas akademika, sehingga membuat efek jera kepada mahasiswa.
Menanggapi hal tersebut Wawan Hari Purwanto, Deputi-VII BIN, mengatakan bahwa kasus rasialisme di Indonesia tidak bisa disamakan dengan yang ada di Amerika, hal tersebut tidak ada kaitannya. Perlunya melihat situasi dengan proporsional, kasus Papua juga sudah selesai di ranah PBB. Mengkritisi tidak bermasalah, namun yang sudah di sahkan tidak perlu dipermasalahkan kembali.
Pada dasarnya pemerintah Indonesia telah membangun wilayah Papua dengan kecepatan tinggi dan infrastruktur yang lebih baik. Produk objek vital nasional dan sarana prasarana sudah ditujukan untuk masyarakat Papua.
“Opini publik yang terus diusung perlu dipertimbangkan dengan baik, harus mengikuti aturan dan jangan sampai melanggar. Institusi UI sudah seharusnya memahami hal tersebut untuk mengadakan sebuah diskusi, harus diimbangi dengan kedua sisi pro dan kontra tidak hanya satu sisi,” ungkapnya.
Menurutnya, saat ini kita menuju ke masyarakat yang sejahtera adil dan makmur. Solusi untuk pembangunan Papua ke depan untuk tampil lebih menarik dan mensejahterkan masyarakat Indonesia. (ay)