Dan, Lebaran tiba di kala Corona belum mereda. Nuansa yang dibawa menjadi sangat berbeda. Saya merasakan itu. Merasakan suasana yang terasa sama sekali tak biasa. Sulit, terlilit bagai dipingit di dalam rumah.
Ini, benar-benar baru saya rasakan, sepanjang 15 tahun tinggal di Depok. Sebuah gegeblug yang bahkan tak pernah menjamah, sejak masa-masa ditatar kehidupan di Nganjir.
Pandemi Covid 19 yang melilit hidup, sungguh menyeduh perasaan. Bukan hanya tak bisa kemana-mana, tapi membuat lumpuh perikehidupan. Juga bagi para perantau yang semestinya, menikmati hari-hari menyenangkan di kampung halaman.
Saya paham, tidak mudik adalah gagal memetik rindu yang ditabung setahun. 20 tahun lalu, saya meresapi situasi seperti itu. Tidak mudik, dan didera kerinduan yang tak terobati oleh apapun.
Saat itu, saya tidak mudik karena anak kedua lahir di minggu pertama puasa, sehingga tidak memungkinkan untuk mudik Lebaran. Beruntung bapak dan simbok memakluminya.
Kebiasaan mudik Lebaran, bagi saya (barangkali juga bagi perantau lainnya) untuk membahagiakan orangtua. Sak adoh-adoh lungo tetep kudu eling wong tuo…wong tuo ora butuh bondo, hamung butuh anak’e teko.
BACA JUGA Lebaran Kulo di Kulon Progo
Kalaimat sederhana itu, menjadi slogan yang relevan bagi perantau. Sejauh-jauh meninggalkanr rumah, tetap harus ingat orangtua…orangtua tidak mengharapkan oleh-oleh, uang, ataupun harta, karena yang dinanti adalah kehadiran dan kedatangan anak-anaknya.
Mudik, sudah pasti juga berarti silaturahmi selain reuni, menapak-tilasi masa lampau. Tradisi mudik, juga menjadi agenda nasional, sampai-sampai negara perlu menambah libur Lebaraan dengan program cuti bersama.
Pada akhirnya, mudik yang seperti kesemestian bagi perantau, bisa dipahami sebagai distribusi kebahagiaan yang menyeluruh. Lewat mudik, roda perekonomian di kampung, ikut berderap.
Tapi itu cerita-cerita tahun lalu dan sebelum-sebelumnya. Tahun ini, Lebaran dihadang penghalang. Namanya Corona. Nama indah yang penuh paradok: indah tapi pemusnah, liris tapi bengis.
Bayangkan saja, semua rencana dibuat rusak. Sementara yang tak terencana datang, langsung di beranda rumah. Umpamanya, tak pernah terlintas dalam fikiran, saya akan ditunjuk menjadi imam sholat idul fitri.
Saking tak pernah terlintas di dalam kepala, sampai muncul niat (agak norak) untuk membuat spanduk besar yang saya pasang di depan rumah atau di gerbang perumahan. Bukankah biasa seperti itu, yang kita jumpai di banyak tempat: spanduk jadwal sholat ied yang isinya, hari, tanggal, jam, imam, khotib, dll.
Rasa-rasanya, menjadi kebanggaan jika di spanduk itu tertulis “Ikutilah sholat idul fitri 1441 H, dengan imam NKS dan khotib adik ipar NKS. Tempat di rumahnya”.
BACA Numpang Mudik-4: Penutupan Puasa bersama Hujan di Bulan Juni
Tapi apa boleh buat, mimpi mendapat kebanggaan itu, harus saya putus. Setelah dipikir-pikir, untuk apa juga membuat spanduk. Toh yang boleh ikut menjadi makmum hanya istri dan anak-anak.
Nah yang perlu dipersiapan agar jalannya sholat ied lancar adalah pembagian tugas. Saya yang menjadi imam, wajib tahu tata cara sholat ied. Juga menyiapkan diri menjadi khotib, agar mendapatkan bahan kotbah yang pas untuk disampaikan sesuai dengan kondisi saat ini.
Seperti biasa di hari kemenangan ada semacam tradisi untuk memakai baju baru bernuansa sama. Tradisi ini pula yang barangkali membuat dari tahun ke tahun mall dan pasar menjadi penuh sesak berisi lautan manusia.
Namun terlalu berisiko jika harus ke mall. Untung saya punya disainer andal. Mbak Heni, pembatik ecoprint di Gamping, Jogjakarta. Siasat ini, menjadi terasa pas, karena penjahit langganan tak biasanya sampai menanyakan apakah ada pekerjaan menjahit selama masa pandemi ini.
Omsetnya turun drastis sementara mau mudik tak bisa dilakukan. Jadilah bahan batik ecoprint dijahit oleh Mas Deni. Deni Suryadi yang rindu order. Bahan batik yang saya pesan memang untuk seluruh anggota keluarga, ditambah adik ipar yang akhirnya bersedia menggantikan peran ganda saya sebagai khotib sholat ied.
Jadilah jahitan Mas Yadi menghiasi lebaran kami. Saat sholat idul fitri, tanpa saya tahu, anak yang sedang tidak sholat mengabadikan ayahnya yang menjadi imam. Mungkin ia juga bangga. Sayang saat khotbah tiba, sang anak terlupa memfoto om-nya yang sedang beraksi. Padahal isi khotbahnya sangat pas dengan kondisi saat ini bagaimana bersikap pada saat pandemi. Doanya pun sungguh dalam maknanya agar negeri segera terhindar dari berbagai macam bahaya.
Rangkaian sholat ied sudah selesai dijalani. Acara selanjutnya adalah saling meminta maaf dan saling memaafkan. Ini yang mengharukan. Teringat saat simbok dan bapak masih sugeng, hal inilah yang pertama kali dilakukan sekalinya dari tanah lapang atau masjid. Kini hanya doa yang bisa saya panjatkan kiranya Alloh memberi tempat terbaik untuk orang yang melahirkan dan membimbing saya menjalani hidup. Doa yang biasa kita panjatkan sambil ziarah kubur di hadapan pusara simbok dan bapak, tak lagi bisa dilakukan.
Selepas bersalaman, kami duduk mengitari meja makan. Menu terbaik disajikan dalam rangka merayakan hari kemenangan. Yang wajib ada adalah ketupat. Ini semacam sanepo, melambangkan saling memaafkan. Kupat janure tuwo, menawi lepat nyuwun ngapuro. Opor ayam, sambel goreng daging khas cirebon, semur daging betawi, serta sayur lodeh pepaya melengkapi nikmatnya menyantap ketupat.
Biasanya setelah makan, acara berlanjut dengan pembagian angpao. Tidak kali ini. Saya yakin ada rasa kecewa dari ponakan yang sudah merancang membeli sesuatu dari hasil pembagian angpau yang pasti seru.
Agenda yang sudah menunggu adalah berfoto keluarga. Sekalian ini diperuntukkan untuk memberi ucapan selamat lebaran. Biar seperti keluarga yang lainnya. Tapi biar bertema sedang dilanda pandemi corona, foto diambil tidak dalam frame yang sama. Memberi pesan agar tetap menjaga jarak, physical distancing.
Agenda lain sudah menanti. Seperti halnya di lebaran sebelumnya yaitu berkunjung ke saudara dan kolega. Bedanya jika dahulu berkunjung secara fisik dan mencoba hidangan kue lebaran, kunjungqn kali ini secara virtual. Kebetulan Pak Dirut menyelenggarakan open house virtual. Jadilah saya bisa bertemu tidak hanya keluarga Pak Dirut saja, tapi juga keluarga Direksi yang lain, dan banyak insan BPJAMSOSTEK dari ujung barat Indonesia sampai dengan ujung timur Indonesia.
Saya mendengar dan merasakan kisah haru bercampur sendu saat melihat para insan BPJAMSOSTEK yang tak mudik terhalang covid. Bahkan ada insan BPJAMSOSTEK yang membuat video pesan untuk khusus mengingatkan bahwa bentuk sayang yang tepat saat pandemi ini adalah tidak dulu pulang. Salut untuk insan BPJAMSOSTEK yang mematuhi himbauan pemerintah untuk turut melawan penyebaran virus corona.
Walau tamu yang datang ribuan, sepertinya cukup ringan jika dilihat dari persiapan penyambutan ataupun penyiapan hidangan. Bahkan biaya yang dikeluarkan menjadi sangat ringan. Hidangan minuman dan makanan disiapkan sendiri oleh tamu yang datang virtual. Dan, para tamu pun tak perlu menempuh perjalanan membelah kemacetan karena cukup di rumah aja. Sesekali sebagai tuan rumah, Pak Dirut mengajak dan mempersilakan tamunya untuk menikmati minum dan kue lebaran.
Yang perlu bisa diatur lebih baik mungkin bagaimana supaya tidak semua tamu berbicara secara bersamaan. Perlu pengaturan waktu agar penyampaian ucapan selamat lebaran terdengar dengan baik. Tamu juga harus sabar menunggu giliran untuk menyampaikan pesan lebaran. Tanpa itu, suara yang tercipta layaknya suara ribuan tawon yang beterbangan.
Hampir satu jam saya bergabung di acara open house virtual Pak Dirut. Cukup seru karena banyak tamu silih berganti masuk ruang yang disediakan. Bahkan di satu ruangan virtual itu, bisa muat menampung ratusan tamu dari berbagai pelosok negeri di mana BPJAMSOSTEK memang harus melayani. Ingin berlama-lama di ruang tamu Pak Dirut agar bisa bertemu seluruh karyawan, namun saya harus undur diri karena sudah dinanti berlebaran dengan keluarga besar istri dan keluarga trah Karsorejo, keluarga besar saya.
Ketika orangtua kita telah tiada, lem perekat yang menyatukan ikatan keluarga biasanya akan berkurang keeratannya. Saudara kakak beradik mulai memiliki keluarga termasuk dengan kesibukannya masing-masing. Dan, lebaran adalah momen yang menyatukan. Pesan almarhum bapak dan simbok ataupun bapak ibu mertua masih terngiang di telinga. “Nek aku mengko wis ora ono, tetep guyup rukuno karo sedulurmu kabeh”, begitu pesan bapak simbok yang tak terlupakan.
Di masa pandemi corona, pasti menemukan cara untuk tetap menjalankan wasiat orang tua. Bapak simbok tidak mengharuskan ada tatap muka dalam wasiatnya. Sebuah wasiat yang visioner menurut saya. Dan, dengan teknologi kami keluarga Adam dan keluarga Karsorejo tetap bersilaturahmi (silaturahmeet karena menggunakan aplikasi).
Canda tawa seperti tak ada bedanya dengan saat bertemu tanpa jarak. Ekspresi rindu karena lama tak bertemu tergambar dari layar. Apalagi wajah keponakan yang tak pandai menyembunyikan perasaan rindu. Tak hanya rindu bertemu tapi juga rindu angpau.
Bahagia rasanya berjumpa saudara yang semuanya sehat. Bahkan yang sedang belajar di Roma bisa bergabung tanpa putus nyambung. Satu ponakan di negeri singa yang sedang tak enak badan meminta maaf untuk tak dapat ikut berlebaran. Atau ponakan yang di Kalimantan pun luput karena pesan untuk video conference lebaran terlambat dibaca.
Salah satu ponakan sangat taat pada aturan dan himbauan pemerintah. Di pintu rumah, dengan tegas ditulis “Selamat Hari Raya. Maaf tidak menerima tamu. Mencegah corona. Harap maklum”.
Kembali pada masalah angpau, andai para ponakan tahu adanya pelemahan ekonomi, saya pun terfikir akan membuat tulisan menyampaikan pesan “Selamat Hari Raya. Maaf tidak ada angpau. Mencegah corona. Harap maklum”.
Namun, pesan ini urung saya kirimkan. Selepas sholat ashar tiba-tiba ada suara ketukan di pintu. Saya lupa memasang pesan di pintu untuk tidak menerima tamu. Tapi kali ini yang datang adalah Mang Edo yang dulu anak kedua saya diantar jemput ke sekolah sewaktu SD. Ia tak pernah datang selama ini di waktu lebaran atau waktu lain. Saya memaklumi. Saat sekarang siswa sekolah dari rumah, penghasilan Mang Edo praktis tak ada lagi. Saatnya kita peduli.
Lalu terbayang keponakan yang masih sekolah. Rasanya di hari kemenangan, mereka harus bergembira merayakan. Walau tak bisa bertatap muka, tapi angpau bisa sampai lewat cara lain melalui transfer online. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H. Mohon maaf lahir bathin.
Nikmati Keindahan Silaturahmi. Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS