Catatan untuk I Made Pria
Dharsana:
Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
MASIH tentang beredarnya surat dari Bank, dalam hal ini BRI yang menyamakan profesi Notaris dan PPAT hanya sebagai biro jasa. Secara substantif surat dari BRI itu merendahkan harga diri Notaris PPAT. Dibuat dengan tidak memahami profesi Notaris yang didasarkan pada kinerja profesional atas dasar Undang Undang. Notaris-PPAT dipandang sebagai klien atau nasabah biasa, seperti klien atas nasabah perorangan. Padahal dasar titik berat dari penekanan ini adalah memandang Notaris/PPAT sebagai mitra.
Untuk itu telah dibahas secara luas oleh Sdr. I Made Pria Dharsana, baik mengenai legal reasoning maupun tataran yuridis dari pola kemitraan ini.
Namun bahasan itu terkesan menggurui, dalam arti kesemuanya sudah bersifat sebagaimana adanya (notoir feiten). Bahkan berbagai dasar hukum yang dikemukakan pada level Undang Undang dan Peraturan Pemerintah itu harusnya dicermati secara kritis sebagai bagian dari kontrol sosial. Tidak semata dipandang sebagai semacam instruksi tanpa bahasan, yang harusnya pula dicermati berdasarkan perspektif yang lebih luas.
Beberapa catatan yang kiranya perlu digarisbawahi dari pola kemitraan antara Notaris -PPAT dan pihak bank ini ada tiga hal. Kiranya perlu catatan secara sosiologis agar tidak terjadi salah persepksi atau ketimpangan analisis di dalam menyikapi permasalahan ini. Satu hal bahwa hendaknya penilaian ini dilakukan tidak from with in (dari dalam), tetapi juga dari luar (from with out) profesi notaris. Mengambil teori Thomas Kuhn (1996), perspektif ini harusnya menjadi dasar analisis sistem yang kiranya menjadi pola dari analisis dan perspektif terhadap sesuatu (dalam hal ini kemitraan).
Bahwa Kuhn membuat beberapa klaim mengenai kemajuan pengetahuan ilmiah, khususnya pada kemitraan. Bahwa pada dasarnya bidang ilmiah mengalami pergeseran paradigma secara periodik dan bukannya semata-mata berkembang secara linier dan berkelanjutan. Bahwa perubahan yang merujuk pada paradigma ini membuka pendekatan baru untuk memahami apa yang sebelumnya tidak pernah dianggap valid oleh para ilmuwan sebelumnya.
Paradigma, dalam hal ini yang bersaing sering kali tidak dapat dibandingkan, yaitu, kisah-kisah tentang realitas yang saling bersaing dan tidak dapat didamaikan. Dengan demikian, pemahaman kita tentang sains tidak pernah bisa sepenuhnya bergantung pada paradigma objektivitas saja.
Tiga Pola Kemitraan Semu
Bahwa pola kemitraan sebagai sebuah paradigma tidak hanya dipandang sebagai kinerja teknis sebuah lembaga (dalam hal ini Bank) yang meramu kebijakan dan akhirnya menuangkan dalam kebijakan. Kebijakan yang sifatnya komprehensif, mencerminkan keadilan dari seluruh stakeholders. Tidak hanya sepihak dari bank yang secara formal sama sekali tidak mempertimbangkan pihak mitra, malah justru mendegradasi kualitas stakeholders (dalam hal ini Notaris-PPAT).
Pertama, prinsip atas dasar paradigma kesetaraan (bukan keseimbangan). Intinya adalah kesamaan (equal and equity). Dalam kaitan ini pihak Bank telah meletakkan profesi notaris-PPAT berada pada subordinat. Tak ada perundingan yang mencerminkan kesetaraan antara dua profesi dalam bidang masing masing ini. Pihak Notaris-PPAT berada pada posisi bawah, diperintah dan berkedudukan sebagai nasabah biasa. Bukan sebagai bagian dari penyelenggara administrasi publik yang harusnya dipandang secara berkesamaan. Kebijakan penarikan uang dari stakeholders itu merupakan sesuatu yang strategis dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar kebijakan biasa. Di sini Notaris-PPAT dilecehkan. Kesetaraan sifatnya hanya semu dan tidak substantif.
Kedua, prinsip transparansi tidak ditegakkan secara semestinya. Suatu kebijakan yang mencerminkan transparansi tidak saja tecermin pada isi (substansi). Tetapi juga pada proses pembuatan yang harus dapat tersurat, sebagai bahan pertimbangan (konsideran). Hal ini tidak ada sama sekali dalam surat yang berisi pembebanan tetapi hanya diletakkan sebagai kebijakanbiasa.
Substansi yang berisi beban harusnya dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam bentuk Peraturan (regeling). Tidak semata dalam bentuk keputusan (besckhikking). Hal ini mecerminkan degradasi substansi pembebanan yang menurut paradigma kesetaraan harus dibuat dalam bentuk peraturan terdegradasi dalam bentuk surat keputusan.
Ketiga, sebagai akibat lebih jauh dan ini adalah akibatnya, keputusan ini jauh dari menguntungkan, khususnya bagi pihak Notaris/PPAT. Harusnya keputusan ini memberikan keadaan yang sifatnya win win solution, tetapi haya besifat sepihak dan hanya menguntungkan dan membawa manfaat sepihak kepada pihak Bank. Tak ada manfaat sama sekali bagi Notaris/PPAT, sehingga keputusan demikian dalam hukum administrasi dipandang sebagai keputusan yang catat. Di samping cacat lokus (tidak dibuat dalam bentuk peraturan) juga catat dalam substansi, dengan meninggalkan asas keseimbangan yang harusnya dipegang teguh sebagai dasar kinerja aparat publik (dalam hal ini pejabat Bank).
Kondisi ini juga mencerminkan kualitas dari pembuatan yang tidak paham asas hukum administrasi yaitu pelaksanaan pemerintahan yang baik (good goverenance). Sebagai solusinya surat yang berisi keputusan, yang substansinya merupakan peraturan ini harus dinyatakan tidak berlaku. Itikad baik dari pihak Bank dibutuhkan sebagai pertanggujngjawaban, dan seharusnya tidak menunggu pengaduan atau complain dari pihak Notaris/PPAT.***