Banjarmasin, Koranpelita.com
Kelapa sawit, merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar negara. Namun yang selalu mengganjal, hasil produksi sawit Indonesia terus menerus dihambat oleh negara Uni Eropa (UE) di pasar dunia.
Salah satunya penerapan bea masuk yang cukup tinggi. “Baru ini, UE mengenakan bea masuk anti-subsidi (BMAS) antara 8% hingga 18% terhadap produk impor bio-diesel dari Indonesia'” ujar Sekretaris Komisi II DPRD Kalsel, Imam Suprastowo, kepada wartawan, di Banjarmasin, Selasa (30/7/2019).
Menurut Imam, kebijakan tersebut otomatis mengurangi devisa yang diperoleh Indonesia dari penjualan produksi sawit.
Untuk menangkal itu, pemerintah harus lebih agresif mengganti pola penjualan seperti ke bahan atau barang jadi.
Tak hanya itu, pemerintah juga harus meningkatkan produksi hilirisasi pada bahan mentah sawit.Terutama paling potensial yaitu untuk bahan bakar baru dan terbaharukan seperti bio deisel.
Wakil rakyat yang duduk di Komisi membidangi ekonomi dan keuangan ini menegaskan, agar tetap menjaga dan meningkatkan devisa negara, pemerintah tak bisa terus menerus berpangku mengikuti aturan UE.
Karena selain UE masih ada dua negara yang memberikan peraturan ringan untuk produksi hasil sawit Indoneisa yaitu China dan India.
Politisi PDI-P ini juga menjelaskan,
sesuai mandat pemerintah pusat meminta Pertamina turut mendistribusikan B30 yaitu campuran bi-odiesel 30% pada bahan bakar solar.
Dengan begitu, pemerintah telah membuktikan dukungan hilirisasi setelah memerintahkan Pertamina untuk mendistribusikan B30.
” Penggunaan bahan bakar B30 pada kendaraan mesin diesel ini dinilai mampu menghemat impor hingga Rp70 triliun,” pungkas Imam Suprastowo. (Ipik)