NKS Menulis Aktuaria-2: Sampai Jumpa lagi di Bali

Ada dua materi simposium yang mau saya tulis secara khusus. Tapi jika Anda tertarik materi lain, dengan riang hati, pasti saya bisa berikan linknya atau dikirimkan melalui email.

Oke, materi pertama, Artificial Intelegent (AI) in Health and Motor, atau manfaat kecerdasan buatan di asuransi kesehatan dan asuransi kendaraan bermotor.

Pembicara menyampaikan evolusi dalam sain data di aktuaria bahwa tahun 1970an, para aktuaris masih menggunakan rate table dalam bekerja. Tahun 1990an, sudah menggunakan statistical modeling dalam hal ini generalized linear modeling.

Sementara pada tahun 2000an masuk pada era Machine Learning dan tahun 2010an eranya berubah menjadi Deep Learning. Nah, 2020an, diperkirakan telah meninggalkan itu semua dengan diganti era auto and transfer learning.

Ada tiga tantangan utama dalam operasional perusahaan asuransi menurut pembicara. Tiga tantangan tersebut adalah dalam hal document processing, claim settlement, dan customer engagement.

Ketiga tantangan bisa dijawab dengan digitalisasi document processing, proses klaim bisa menggunakan Robotic Process Automation (RPA), ataupun menggunakan kecerdasan buatan AI Chatbot untuk menciptakan keterlibatan pelanggan yang lebih responsif.

Sudah. Materi kedua, ini penting dan  tidak kalah menariknya yaitu pembahasan tentang Actuary 4.0. Tapi nggak seru jika saya bahas tuntas di tulisan ini. Kenapa? Karena tahun depan, topik besar konferensi Asian Actuarial Conference 2020 di Indonesia adalah Actuary 4.0.

Sedikit hal yang ingin saya share di sini bahwa bahan presentasi untuk topik ini tentu boleh didapat dengan tanpa perlu ikut simposium yang sudah berlalu.

Woro-woro AAC 2020

Kembali ke alasan keikutsertaan saya di seminar ini. Tahun depan, tepatnya tanggal 20-21 Oktober 2020, Indonesia akan menjadi tuan rumah Asian Actuarial Conference (AAC 2020). Sebuah ajang yang penting bagi aktuaris negara-negara di Asia (biasanya termasuk Australia) untuk mendiskusikan isu terkini di bidang sain aktuaria.

Kebetulan (ini kebanggaan besar sekali) yang dipercaya oleh PAI untuk menjadi Ketua Penyelenggara AAC 2020, saya. Tema besar AAC 2020 yang direncanakan digelar di Bali ialah Actuary 4.0.

Dan di Bangkok kemarin itu, sebenarnya tidak ada dalam agenda simposium bahwa saya akan diberi panggung. Tapi ndilalahnya salah satu pembicara terlambat hadir. Seluruh peserta sudah duduk pada posisi PW (pualing wuenak), namun terlihat ada kegundahan dari panitia penyelenggara simposium SOA.

Kemudian bersama Ketua PAI, panitia penyelenggara simposium SOA menghampiri meja saya. Tidak ada ekspektasi apa-apa melihat Pak Ketua ujug-ujug menyamperin saya yang sudah duduk dengan posisi siap mendengarkan paparan menarik pembicara utama.

Tapi ya itu tadi, kok ndilalah. Dengan berbisik lirih, saya diminta untuk naik ke panggung  dan menjelaskan atau lebih tepatnya promosi kegiatan AAC 2020 di Bali. “Give me two minutes,”  begitu jawaban singkat saya atas bisikan tadi itu.

Saya butuh ruang batin sejenak meredakan perasaan karena kejutan ndilalah itu. Juga, agar ada kesempatan mengambil nafas untuk mengganti frekuensi pita suara dari tone bahasa Jawa medok ataupun bahasa Indonesia, beralih ke bahasa yang bisa dipahami oleh peserta yang lebih global. Tapi ya sudah pasti, semua usaha saya itu gagal, karena penampilan dan seluruh pesona Janglish alias Jawa-english, pada akhirnya, tetap terdengar. Apa boleh buat.

Jadilah saya naik panggung dengan canggung. Apalagi saya juga tidak siap dengan baju yang selayaknya sebagai pakaian ciri bangsa. Atau, lebih spesifik lagi identitas Kulon Progo bernama batik geblek renteng.

Setelah MC mempersilakan berbicara, tentu saya awali dengan pelajaran pertama saat belajar bahasa Inggris di SMP, 35 tahun yang lalu.  “Let me Introduce myself,” saya memulai mengenalkan diri sesantun mungkin. Ini penting karena salah satu pimpinan delegasi yang juga serombongan saat kami berangkat ke acara simposium ini sempat khawatir. “Jangan-jangan nanti mengenalkan dirinya dengan Nami Kulo Sumarjono, saking Kulon Progo.” Itu kegelisahan beliau.

Seperti di Bangkok, acara di Bali tahun depan juga ada sesi jalan-jalan mengenal budaya lokal.

Pastinya beliau hanya guyon. Namun menurut saya, kekhawatiran yang sangat masuk akal. Apalagi saya tidak ada dalam agenda untuk saya melakukan presentasi atau bicara di depan publik yang seglobal itu.

Alhamdulillah, saat memperkenalkan diri saya lancar mengatakan, “My Name is Sumarjono.” yang sebenarnya adalah terjemahan bebas dari judul buku NKS. Selebihnya, tentu saya mewakili PAI mengundang para aktuaris dan peserta symposium untuk datang ke acara AAC 2020 yang dirancang secara apik dan akan diselenggarakan di pulau dengan sejuta keindahan, Bali, Indonesia.

Begitu mendengar diselenggarakan di Bali, para peserta yang 90 persen aktuaris, saya lihat (atau mungkin sekadar imajinasi saya) langsung berbinar raut wajahnya. Terlihat benar bahwa wajah-wajah serius yang sering bergelut dengan rumus, coding, dan angka itu seperti memang kurang piknik.

Dan di Bali nanti, tanggal 20-22 Oktober 2020 memang akan ada juga acara berwisata yang diharapkan bisa mengenalkan budaya dan menggalakkan pariwisata Indonesia. Video berdurasi kurang dari 3 menit tentang Bali dan ajakan menghadiri AAC 2020 melengkapi penjelasan saya sebagai Ketua Penyelenggara. “So please save the date, See you in Bali,” kata penutup saya kepada para audience (yang ya ampun) terasa betul medok khas Kulon Progo. (*)

About redaksi

Check Also

Hadapi Musim Kemarau, Kepala BNPB 30 Daerah di Jateng Tetapkan Siaga Darurat Kekeringan

SEMARANG,KORANPELITA –Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto mengatakan, mulai Minggu ketiga bulan Juli 2024, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca