Zainal Bintang
Zainal Bintang

Opini Zainal Bintang: Mitigasi Pancasila

KERUSUHAN berdarah  akhirnya pecah juga pada aksi unjuk rasa damai  21 – 22 Mei 2019. Meskipun mengusung label damai, faktanya konflik horisontal berdarah itu menelan korban jiwa. Masyarakat terbelah.

Bukan hanya antara pendukung kubu 01 versus pendukung kubu 02. Tetapi bahkan memantik konflik yang lain : antara rakyat dengan aparat. Bagi kebanyakan orang ini adalah tsunami politik identitas yang mengerucut.

Apa hendak dikata nasi sudah jadi bubur. Yang bisa kita lakukan hanya  menumpahkan penyesalan, prihatin dan sedih. Bangsa besar ini yang sedang mengelola proses demokrasinya kini tersendat,  kembali ke titik nol. Sejumlah capaian konstruktif terdistrosi justru di tengah berlangsungnya pesta demokrasi Pemilu (serentak) lima tahunan.

Dari berbagai studi mengemuka pandangan, bahwa penyebab rentannya bangsa ini oleh perpecahan,  karena faktor nasionalisme yang makin melemah. Pancasila sebagai ideologi pemersatu hasil kreatifitas jenius para founding father – melalui berbagai hasil survei- ditemukan sedang mengalami penurunan narasi maupun implementasi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di era reformasi.

Sejarah terbentuknya negara bangsa yang bernama Indonesia pada hakekatnya  berbasis  keberbedaan sebagai mana terumuskan secara politik sebagai SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) namun terdamaikan dan terakomodasi dalam suatu konsensus nasional yang disebut Bhinneka Tunggal Ika (berbeda – beda tapi tetap satu).

Kesadaran berpancasila yang menurun yang dimaksud itu, sesungguhnya lebih dipertontonkan oleh aktor politik,  yang pada dirinyalah simbol keteladanan seharusnya mengemuka. Rangkaian kegiatan destruksi politisi yang korupsi terbuka keuangan negara, mengalami perluasan wilayah garapan menjadi korupsi politik melalui penyuburan pragmatisme dan dagang sapi mengiringi pembentukan UU

Sumber “kekacauan” pelaksanaan Pemilu serentak yang melelahkan itu, boleh jadi karena adanya penetapan pasal  ambang batas – duapuluh persen suara kursi di parlemen dan atau duapuluh lima persen suara nasional –  sebagai hasil perkawinan paksa pada sidang pleno penetapan UU.

Anehnya, UU itu menetapkan parpol atau gabungan parpol boleh menggunakan hasil perolehan suara pada Pemilu 2014 sebagai tiket (bekas pakai) pada pemilu 2019 untuk mengusung pasangan calon presiden. Artinya, pasangan calon presiden diberangkatkan dengan menggunakan legitimasi hasil daur ulang. Masyarakat beranggapan UU no.7/2017 dapat dikatakan mengidap cacat bawaan sejak lahir.

Apalagi pada saat penetapan pasal ketentuan ambang batas diputuskan tanpa persetujuan empat parpol yang walk out waktu itu.

Belakangan ini – paska kerusuhan unjuk rasa damai yang berdarah itu – kembali mengeras narasi yang menghendaki terjadinya rekonsoliasi dua kubu kontestan yang berseberangan pilihan politik. Tujuannya untuk menjaga keutuhan bangsa dari ancaman perpecahan sebagai ekses tajamnya polarisasi dan menguatnya politik identitas yang marak menghiasi proses kampanye.

Menanggapi rencana tersebut, publik berharap sedini mungkin harusnya didahului  dengan “ritual” pertobatan nasional. Bahwa rekonsoliasi ke depan bukan hanya retorika hiasan politik belaka. Harus tegas dinyatakan bahwa materi rekonsoliasi  mutlak bermuatan kebersamaan untuk melakukan pelurusan ketimpangan – ketimpangan yang bersifat strategis. Termasuk membongkar pasang pasal ambang batas dan kawan – kawannya yang menghina akal sehat itu.

Hanya dengan didasari sikap jiwa “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sebuah perhelatan halal bihalal dan rencana rekonsoliasi antar tokoh yang sedang berseberangan politik dapat berdayaguna bagi pembangunan demokrasi dan keutuhan bangsa.

Keputusan melakukan rekonsoliasi bukan wacana untuk bagi – bagi kekuasaan belaka. Harus diingat rakyat sudah sangat lelah dan mual dipermainkan oleh regulasi Pemilu yang tambal sulam. Yang ujung – ujungnya hanya menghasilkan tragedi berdarah. Pada akhirnya, yaa yang menjadi korban, juga lagi – lagi rakyat itu sendiri.

Sekali lagi, wacana rekonsoliasi dua kubu politik besar harus menjadi titik tolak lahirnya konsep mitigasi Pancasila yang secara terstruktur, sistematis dan masif. Hanya dengan memperbaiki landasan pemberangkatan semangat rekonsoliasi itu  yang dapat menjamin Pemilu – Pemilu mendatang sudah tidak ada lagi kerusuhan.

Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1440 H. Maaf Lahir dan Batin

(Penulis wartawan senior dan pemerhati sosial budaya)

 

 

About djo

Check Also

PNS Kodiklatal Surabaya Gelar Aksi Donor Darah dalam Rangka HUT KORPRI ke-53 Tahun 2024

Surabaya, koranpelita.com Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-53 Tahun 2024, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca