Oleh: Ruslan Abdul Gani*
Penulispun teringat sebuah istilah yang mengatakan , “tak ada makan siang yang gratis “ dan sebuah istilah lainnya yang berbunyi , “ tidak ada pesta yang tak berakhir.” Setidaknya hal ini menjadi sebuah perenungan , manakala kekuasaan eksekutif dan kekekuasaan legislativ telah kita berikan melalui kontestasi demokrasi pileg dan pilkada.
Karenanya, diperlukan sikap kritis yang konstruktif terhadap bagaimana kekuasaan eksekutif dan legisatif itu dijalankan. Tidak ada kultus individu terhadap kekuasaan, sebab kekuasaan itu cendrung korup. Diharapkan, kekuatan masyarakat sipil dan media berperan penting, supaya amanah dari rakyat dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Wajar, setiap yang menerima dan menjalankan amanah kekuasaan tersebut memiliki nilai plus, baik, sedang dan minus. Sebagai rakyat haruslah melihatnya secara seimbang dan obyektif. Intinya akan diberikan apresiasi dan didukung, publik , manakala kebijakan tersebut pro rakyat dan pro daerah. Tetapi manakala kebijakan itu tidak pro rakyat dan tidak pro daerah, kita ingatkan supaya ada perbaikan. Bagi kehidupan yang lebih sejahtera di dalam rumah besar Kabupaten Kotawaringin Timur ( Kotim) Provinsi Kalteng.
Bagi yang berada di kekuasaan eksekutif maupun legislativ, haruslah melihat secara positif, sikap kritis dan kontrol dari masyarakat, karena merupakan sebuah bentuk kepedulian supaya tidak terperosok kedalam lingkaran korupsi. Tersebab check and balances merupakan mekanisme yang lazim dalam sebuah Negara demokrasi. Sebagai koreksi,supaya lebih berhati-hati dalam menjalankan amanah rakyat.
Berkenaan dengan jumpa pers KPK di Jakarta sekitar awal Februari 2019 lalu dipimpin wakil Ketua KPK Laode M. Syarif yang menetapkan Bupati Kotim H. Supian Hadi S.IKom sebagai tersangka. Karena diduga memberikan Izin Usaha Pertambangan ( IUP) yang menyalahi wewenang kepada PT.FMA, PT.AIM dan PT BI dan menimbulkan kerugian Negara Rp. 5, 8 triliun dan 711000 dolar Amerika Serikat.
Publik terlebih warga Kotim , terhenyak, heboh dan bertanya-tanya? Kenapa penanganan kasus yang dimulai dengan kedatangan penyidik KPK tahun 2014 lalu ke Kantor Dinas Pertambangan dan Energi Kotim serta kantor Pemkab Kotim di Sampit , untuk pengumpulan bahan dan keterangan perizinan tambang di daerah ini , baru tahun 2019 mencuat kepermukaan sebagai tindaklanjutnya?
Publik juga mencermati, keberadaan sejumlah penyidik lembaga antirasuah itu mendatangi sejumlah instansi otonom dan vertikal di Sampit, mendalami dugaan mega korupsi tambang di Kotim. Terkonfirmasi dengan Kabag Hukum Setda Kotim , Nino Andria Yudianto SH mengatakan, kedatangan sejumlah penyidik KPK ke kantornya Jum`at ( 3/5 ) mengklarifikasi dokumen dugaan penyalahgunaan wewenang pemberian Izin Usaha Pertambangan ( IUP) kepada PT. FMA, PT.AIM dan PT. BI.
Sedangkan Kepala Bappeda Kotim, Rahmadansyah ketika dikonfirmasi membenarkan kedatangan penyidik KPK ke kantornya Jum`at ( 3/5) lalu di Sampit. Meminta data atau mengkonfirmasi kewenangan Bappeda Kotim sebagai tim koordinasi penataan ruang daerah.
Namun, sejak tahun 2017 kewenangan itu tidak lagi ada di instansi yang dipimpinnya.Sebab berdasarkan PP 18 Tahun 2016 kewenangan tata ruang di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kotim.
Sementara itu Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kotim, Drs H. Sanggul Lumban Gaol ,ketika dihubungi via ponselnya membenarkan 4 penyidik KPK datang ke kantornya Jum`at ( 3/5) meminta data lingkungan hidup terkait AMDAL PT. FMA dan PT.BI. Sedangkan Kabag Administrasi Perekonomian dan Sumber Daya Alam Setda Kotim , Wim RK Benung juga membenarkan kedatangan penyidik KPK ke kantornya di Sampit, mereka meminta data SK. pinjam pakai kawasan hutan PT. FMA.
Sebelumnya, humas Kesahbandaran dan Otoritas Pelabuhan ( KSOP) kelas tiga Sampit, Oktav Sukma Burnama, mmbenarkan sejumlah penyidik KPK datang ke kantonya Jum`at ( 3/5 ) lalu. Mereka minta data pengapalan tambang bauksit sejak tahun 2011 sampai tahun 2014 oleh PT. FMA dan PT.BI.
Informasi kedatangan penyidik KPK ke Sampit untuk memperdalam kasus dugaaan mega korupsi tambang di daerah ini ,menjadi perbincangan hangat banyak kalangan disini.Terlebih, sinyalemen korupsi penyalahgunaan pemberian izin tambang tersebut , disinyalir termasuk kategori kelas kakap yang menimbulkan kerugian Negara tidak sedikit.. Di mana kerugian negaranya lebih besar dari kasus dugaan korupsi KTP Elektronik. Dugaan kerugian Negara nilanya sangat fantastis.
Pada tahun 2014 ketika penyidik KPK mendatangi kantor Dinas Pertambangan dan Energi Kotim dan kantor Pemkab Kotim di Sampit untuk pengumpulan bahan dan keterangan terkait perizinan tambang di daerah ini.. Seperti dilansir media, ketua DPRD Kotim Jhon Krisli SE waktu itu mengatakan, terdapat 42 perizinan tambang terindikasi ilegal di daerahnya. Karena pemberian izin itu diduga melanggar UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara, yakni seharusnya izin diberikan dengan sistem lelang. Tetapi pada 42 izin pertambangan tersebut lelang tidak dilakukan.
Menyangkut soal perizinan tambang yang berpotensi masuk dalam dugaan pusaran korupsi , penulis pernah mengingatkan melalui sebuah tulisan essai yang terbit di media lokal, Harian Radar Sampit Sabtu 17 September 2016 berjudul : Perizinan Tambang Mulai Menuai Badai ? Dalam tulisan ini di antaranya , mengenai ditetapkannya Gubernur Sulawesi Tenggara ( Sultra) Nur Alam, sebagai tersangka oleh KPK. Dalam kasus dugaan pemberian izin pengelolaan sumber daya alam yang menyalahi wewenang, merupakan babak baru dan bisa dikatakan siapa menabur angin akan menuai badai.
Kehadiran banyaknya investasi di Kotim , sejatinya untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik dan Kotim yang lebih maju. Pengharapan yang wajar, sebab masyarakat sudah lelah dengan kemiskinan dan penderitaan, di tengah sumber daya alam daerahnya yang berlimpah. Merenungkan kata bijak dari filsof Cina , Kong Zi , sebagai berikut : Orang yang tidak bisa mengatur dirinya sendiri tidak mungkin mampu mengatur Negara. (Ruslan Abdul Gani, Penulis adalah Wartawan Senior, Pengamat kebijakan publik tinggal di Sampit)