Jakarta, Koranpelita.com
Koordinator Presidium Majelis Nasional Forhati Hanafiah Husein menegaskan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) bertentangan dengan Pancasila yang merupakan sumber dari segala hukum yang ada di Indonesia. Karena masih ada tersirat pasal-pasal yang membuka celah hubungan sesama jenis dan perbuatan zina yang tak bisa dihukum.
Demikian dijelaskan Hanafiah Husein di Jakarta, Selasa (2/4). Dikatakannya, Pancasila sebagai sumber hukum, melalui Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, mengisyaratkan, bahwa semua Undang-Undang yang berlaku di negara ini harus sesuai dengan ajaran agama yang dianut pemeluknya.
“Dalam RUU PKS itu masih terdapat pasal-pasal yang secara implisit membuka celah terjadinya hubungan sejenis. Padahal, dalam ajaran agama manapun, khusunya Islam, perbuatan zina dan hubungan sesama jenis adalah perbuatan yang dilarang,” papar Hanafiah.
Hanifah menjelaskan, hubungan seksual hanya berlaku bagi laki-laki dengan perempuan dalam ikatan pernikahan yang sesuai dengan ketentuan agama (syariah) dan undang-undang negara yang berlaku. Dilandasi kedamaian dan kenyamanan, cinta dan kasih sayang (sakinah, mawaddah, wa rahmah) sebagai wujud kepatuhan kepada Allah dengan akhlak mulia, yang akan berdampak pada kualitas hidup pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan bangsa secara lebih baik.
“Segala bentuk hubungan seksual di luar ikatan pernikahan dan hubungan seksual menyimpang (lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender) bertentangan dengan hakekat kemanusiaan, dan merendahkan eksistensi manusia sebagai sebaik-baik makhluk,” papar Hanafiah.
Oleh karenanya lanjut isteri politisi senior Ferry Mursyidan Baldan itu, cara paling tepat memerangi kejahatan seksual adalah dengan cara-cara yang sistemik, strategis, dan berdampak luas, yaitu memberikan prioritas pada peningkatan kualitas manusia sebagai subyek kehidupan dengan percepatan peningkatan kualitas kesehatan, kualitas pendidikan, dan kemampuan ekonomi, sebagai bagian integral dari upaya meningkatkan ketahanan keluarga.
“Pengaturan berbagai hal terkait dengan hubungan seksual dalam ikatan pernikahan dalam bentuk perundang-undangan, harus dilakukan secara komprehensif, mengakomodir seluruh pandangan dan sikap masyarakat yang kelak akan menjadi obyek undang-undang, visioner, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku, dan tidak hanya untuk memenuhi kehendak sekelompok masyarakat, serta sekadar mengikuti perkembangan global,” tegas dia.
Ditegaskannya, setiap undang-undang yang disahkan dan diundangkan harus mempertimbangkan dampak kemanfaatannya bagi masyarakat luas dan harus terasakan manfaatnya secara langsung oleh seluruh lapisan masyarakat, disertai penegakan hukum yang adil, tegas, nyata, dan bertanggungjawab. “Mudah-mudahan DPR yang akan datang bisa lebih smart mencermati kepentingan masyarakat tentang kekerasan seksual ini, dan tidak tumpang tindih dengan Undang-Undang yang sudah ada, dan harus sesuai dengan Pancasila,” harapnya. (kh)