Jakarta, Koranpelita.com
Direktur Program Saiful Mujani Research Consulting (SMRC), Sirajudin Abbas memastikan, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang unggul dari hasil berbagai lembaga survei, belum tentu menang dalam pemilihan presiden Pilpres 2019 tanggal 17 April nanti.
“Hasil survei belum bisa dijadikan pegangan untuk kemenangan pasangan capres di Pilpres nanti. Hasil survei yang dilakukan hari ini bisa berubah jika dilakukan besok,” ujar Sirajudin Abbas dalam diskusi “Survei Pemilu Realita atau Rekayasa”, di Media Center DPR, Kamis (21/3/2019) bersama Wakil Ketua DPR Fadli Zon, anggota DPR Maruara Sirait dan pengamat politik Musni Umar.
Maslahnya lanjut dia, sample yang diambil terbatas. Hasil yang dapat dijadikan patokan untuk kemenangan capres adalah “quick count”, karena hasil pemungutan suara, langsung diambil di TPS. Namun, ketika menjawab pertanyaan wartawan Sirajudin mempredikasi pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin lah yang akan keluar sebagai pemenang Pilpres.
Sementara Wakil Ketua DPR Fadli Zon menanyakan pihak mana yang meminta SMRC melakukan survei pilpres yang memenangkan pasangan capres Jokowi-Ma’ruf. “Siapa yang meminta SMRC melakukan survei? Kalau capres 02 saya pastikan tidak. Apakah yang membayar capres 01 atau yang berafiliasi dengan capres 01?” tanya Fadli Zon. Namun pertanyaan Fadli Zon tersebut tidak ditanggapi Sirajudin.
Berdasarkan hasil survei SMRC terbaru yang dirilis 17 Maret 2019, elektabilitas pasangan capres nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf 57,6 persen, capres nomor urut 02 (Prabowo-Sandiaga) 31,8 persen dan tidak tahu atau rahasia sebanyak 10,6 persen.
Terkait hasil-hasil survei yang dilakukan berbagai lembaga survey selama ini, Fadli Zon justru menginginkan ada undang-undang yang mengatur keberadaan lembag-lembaga survey tersebut. Karena kata dia, kok ada perbedaan hasil lembaga survey yang berbeda jauh dengan hasil Pilpres dan Pemilihan Kepala daerah hingga mencapai 400 persen.
“Itu kan jelas sekali bahwa survei yang mereka lakukan sesuai keinginan pihak yang membiayai. Ingat, kata Fadli, kalau lembaga survei independen atau yang tidak berafiliasi kepada pemesan, tentu hasinya akurat dan tidak akan terjadi perbedaan hingga 400 persen itu,” papar Fadli.
Politis Partai Gerindra itu mengkhawatirkan, kalau realitas semacam itu terus berlangsung dan keberadaan lembaga survey tidak diatur dalam undang-undang, maka lembaga-lembaga survei itu akan semakin liar dan pada akhirnya akan menjadi mafia, komparador politik dan bahkan akan menjadi teroris demokrasi.
“Berbahaya sekali kalau itu terjadi bagi kehidupan politik dan demokrasi, karena pada akhirnya lembaga survei itu akan menjadi lembaga memproduksi hoax. Rakyat pun akan terus berseteru, saling fitnah dan saling bermusuhan hanya untuk mememangkan capres pilihan mereka,” papar Fadli.
Sementara pengamat politik Musni Umar secara tegas menyatakan tidak percaya terhadap hasil survei pilpres yang dilakukan sejumlah lembaga survei, termasuk SMRC. “Saya termasuk orang yang resah dan tidak percaya kepada survei-survei yang ada selama ini,” tegasnya.
Pasalnya, lanjut dia, hasil survei itu dinilainya bertolak belakang dengan fakta yang dia temui di lapangan. “Hampir tiap hari saya turun ke lapangan dan wawancara dengan masyarakat. Semua yang saya dapat dari masyarakat, berbeda dengan hasil survei berbagai lembaga survei tersebut,” kata dia.
“Dari fenomena yang kita saksikan di saat kampanye dengan hasil wawancara saya dengan masyarakat, sama sekali tidak tercermin dari hasil survei yang ada. Jadi akhirnya saya selalu mengatakan setiap ada survei saya tidak percaya hasil survei itu,” tegas Musni Umar.
Senada dengan Sirajudin, politisi PDIP Maruara Sirait juga mengakui bahwa hasil survei adalah potret saat surevei dilakukan. “Bisa saja berubah. Kita juga punya survei internal. Survei itu kerja politik untuk melakukan perubahan. Soal percaya atau tidak saya setuju,” ujar Ara, begitu dia akrab disapa. (kh)