SOSIALISASI EMPAT PILAR MPR - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid minta Presiden Jokowi mengeluarkan sikap tegas terhadap peristiwa penembakan brutal Umat Islam di Dua Masjid di Selandia Baru, Itu disampaikannya saat Sosialisadi Emapt Pilar MPR di Jagakarsa dan Tebet Jakarta Selatan Minggu (17/3/2019). Ist

MPR: Pernyataan Tegas Presiden Jokowi Dibutuhkan terhadap Peristiwa Selandia Baru.

Jakarta, Koranpelita.com
Presiden Jokowi sebagai pemimpin Negara Indonesia yang berpenduduk Islam terbesar, sangat penting membuat pernyataan tegas atas peristiwa penembakan brutal di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3/2019). Persitiwa itu terjadi bukan semata karena terorisme dan rasisme, tetapi lebih disebakan paham Isamopobia.

Demikian ditegaskan Wakil Ketua MPR RI Hidayuat Nurwahid saat melakukan sosialisasi Empat Pilar MPR di dua tempat dalam waktu yang berbeda, yaitu di kawasan Jagakarsa Jakarta Selatan pada Sabtu (16/3/2019) malam dan di daerah Tebet, Jakarta Selatan pada hari Ahad (17/3/2019).

“Peristiwa penyerangan membabi buta itu sangat mengenaskan. Aksi tersebut merupakan tindakan terorisme yang dilakukan kepada kaum muslimin yang sedang melaksanakan salat Jumat. Aksi itu tak bisa dimaafkan dan tidak hanya cukup dengan kata-kata mengutuk. Tetapi harus dihentikan, bagaimana pun caranya,” ujar Hidayat Nurwahid

Ditegaskan politisi PKS yang juga mantan Ketua MPR itu, Islamopobia adalah sebuah pemaham dan atau ideology yang anti terhadap Islam, dan secara sepihak melabelkan kegiatan-kegiatan besar umat Islam sebagai radikal, intoleran, anti Pancasila dan NKRI.

“Inilah yang kemudian menghadirkan radikalisme dan rasisme di kalangan orang-orang yang anti Islam dan menghadirkan tragedi-tragedi terorisme seperti yang di New Zealand (Selandia Baru) itu. Karena itu seluruh negara harus berperan menyelesaikan akar masalahnya, yaitu Islamophobia dan ketidakadilan dunia,” kata Hidayat.

Menurut dia, peristiwa itu bisa dijadikan pemicu, agar negara-negara dunia Internasional bersatu padu melawan terorisme yang disebut islamophobia dan ketidakadilan itu. Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar, harus tampil terdepan mengambil langkah-langkah nyata melawan dan menghilangkan ideologi islamophobia.

“Indonesia harus tampil di depan sebagai negara yang beragama Islam terbesar dalam menolak terorisme dan yang menolak radikalisme. Harus membuat pernyataan tegas. Pak Jokowi paling penting membuat pernyataan tegas itu, agar dunia tidak hanya mengutuk, tapi harus bisa membasmi ideologi islamophobia, anti Islam itu,” kata dia.

Terkait dengan peristiwa tersebut, papar Hidayat, bangsa Indonesia jangan sekali-kali melupakan sejarah atau “Jasmerah” seperti yang dipopulerkan Bung Karno. Terutama dalam hal peran para ulama dan umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Minimnya pengetahuan tentang sejarah bangsa, akan menimbulkan pemahaman yang keliru, yang pada akhirnya melakukan hal yang sangat buruk. Seperti peristiwa di Selandia Baru itu, ujar Hidayat. Dari manifesto yang dibuat, teroris memiliki kebencian mendalam kepada para imigran yang disebutnya penjajah.

Dalam konteks Indonesia, kata Hidayat, ada juga terjadi fenomena minimnya pengetahuan sejarah tentang siapa saja elemen-elemen bangsa yang membentuk Negara Republik Indonesia yang menyelamatkan Pancasila dan NKRI.

Islamophobia muncul disebabkan pemahaman yang keliru, seolah-olah tidak ada perannya umat Islam sebagai salah satu elemen besar bangsa ini dalam sejarah-sejarah penting Indonesia. Islamophobia juga secara sepihak, melabelkan kegiatan-kegiatan besar umat Islam sebagai radikal, anti Pancasila dan NKRI.

“Padahal jika melihat sejarah secara benar, betapa besar peran umat Islam dalam toleransi, seperti peristiwa penghapusan tujuh kata pada sila pertama Pancasila dan kembalinya bentuk negara dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi NKRI hingga saat ini. Lalu darimana logikanya umat Islam itu anti Pancasila dan NKRI,” katanya.

Bahkan, ujar Hidayat, kiprah umat Islam sampai kepada hal-hal sederhana dan berdampak besar kepada bangsa ini, seperti penciptaan lagu mars perjuangan yang selalu dinyanyikan hingga kini, yakni lagu Hari Merdeka (17 Agustus) dan M\Hymne Syukur dan Hymne Pramuka yang diciptakan Al Habib Muhammad Ibn Al Husein Al Muthahar.

“Beliau juga yang memprakarsai terbentuknya Paskibraka, beliau tokoh utama kepanduan Pramuka. Beliaulah sosok yang dipercaya Bung Karno menyelamatkan Sang Saka Merah Putih yang akan dirampas penjajah,” tambahnya.

Untuk itu dia juga mengingatkan, umat Islam harus betul-betul memahami sejarah bangsa dan negara. Jangan sekali-kali ada umat Islam yang membid’ah-bid’ahkan, bahkan mengkafirkan Indonesia, Pancasila, UUD dan NKRI. “Indonesia adalah warisan perjuangan para ulama, kyai dan habaib, baik yang ada di organisasi dan partai Islam,” papar dia. (kh)

About redaksi

Check Also

Jelang Pilkada Serentak, Panglima TNI dan Kapolri Hadiri Doa Bersama Lintas Agama di Semarang

Semarang, koranpelita.com Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto bersama Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca