Sebanyak 600 personel dari satuan Yonif 431 dan Yon Zikon Makassar tiba di Timika menggunakan kapal KRI dr. Suroso milik TNI AL, sandar di pelapuhan Portsite PT. Freeport Indonesia, akhir pekan lalu.
Jayapura.koranpelita.com-Proses debarkasi yang ditandai dengan upacara penerimaan pasukan dipimpin oleh Danrem 172/VWY Kolonel Inf Jonathan Binsar Sianipar selaku Komandan Komando Pelaksana Operasi (Dan Kolakops).
Setelah proses embarkasi tim edvance berangkat ke Kenyam Nduga dengan pesawat Helly, sementara sisa pasukan akan berangkat melaluai jalur sungai diperkirakan waktu tempuh selama tiga hari.
Pasukan ini akan melaksanakan pengamanan dan pembangunan 21 jembatan di Kabupaten Nduga.
Sebelumnya, Pasukan TNI yang tergabung dalam Satgas Penegakan Hukum (Satgas Gakkum), yang sedang melaksanakan pengamanan dalam rangka proses pergeseran pasukan TNI yang akan melaksanakan pengamanan dan pembangunan infrastruktur Trans Papua Wamena-Mumugu di Kabupaten Nduga mendapatkan serangan dari pihak Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata (KKSB) pimpinan Egianus Kogoya di Distrik Mugi Kabupaten Nduga, Kamis (7/3) sekitar pukul 08.00 WIT.
Pasukan TNI Satgas Gakkum berkekuatan 25 orang tersebut baru tiba di Distrik Mugi , tiba-tiba mendapatkan serangan mendadak oleh sekitar 50-70 orang KKSB bersenjata campuran, baik senjata standar militer maupun senjata tradisional seperti panah dan tombak.
Pasukan berusaha melakukan perlawanan sehingga berhasil menguasai keadaan, dan berhasil memukul mundur kelompok KKSB sampai menghilang ke dalam hutan belantara. Namun akibat serangan tersebut menyebabkan tiga orang prajurit gugur sebagai kusuma Bangsa atas nama Serda Mirwariyadin, Serda Yusdin dan Serda Siswanto Bayu Aji.
Tindakan brutal KKSB tersebut mendapat reaksi dari mantan Panglima TNI Jenderal TNI (purn) Moeldoko yang kini menjabat Kepala Staf Presiden. Pihaknya menilai istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang disematkan ke kelompok di Papua, justru membuat TNI tidak bisa bergerak.
Pihaknya berpendapat, sebaiknya pemerintah memberi label pelaku penembakan TNI di Papua tidak hanya sekadar kelompok kriminal bersenjata, melainkan kelompok separatis.
Menurutnya, label itu akan menentukan kekuatan yang diterjunkan untuk menangani para pelaku.
“Saya sering menyampaikan perlunya mengevaluasi nama itu, kelompok kriminal bersenjata. Pertanyaannya, benar enggak mereka kelompok kriminal? Kalau saya mengatakan, tegas saja, mereka memang kelompok separatis,” tandasnya.
Dengan menganggap kelompok itu KKB, maka saat ini justru TNI yang dirugikan dan menjadi korban. Padahal, menurutnya ada beberapa tempat yang dijadikan markas oleh para kelompok ini. Namun, TNI tidak bisa bertindak.
“Kondisi demikian justru merugikan institusi TNI sendiri. Kalau terus-terusan mereka ini dianggapnya kelompok kriminal, nanti TNI terus-terusan jadi santapan kekuatan mereka. Ya bagaimana? TNI melihat ada kekuatan, tapi enggak bisa di depan, harus polisi yang di depan. Karena kalau disebut kelompok kriminal bersenjata, ya sama saja. Apa bedanya dengan kelompok kriminal di Tanah Abang misalnya? Hal-hal inilah yang perlu kita pikirkan lebih jauh lagi,” lanjut dia.
Ketika ditanya apa sebenarnya kendala pemerintah dalam menetapkan para pelaku sebagai kelompok separatis, Moeldoko mengatakan, salah satunya adalah hubungan luar negeri.
Ia tak menjelaskan secara rinci jawabannya tersebut. Namun, ia berpendapat, kendala-kendala itu harusnya ditembus demi menyelesaikan jatuhnya korban putra terbaik TNI. “Harus ada sikap baru yang perlu dikonsultasikan lagi lebih jauh ya. Pasti itu akan melibatkan Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Koordinator Polhukam dan lain-lain. Tetapi jangan terus pembatasan-pembatasan itu mengorbankan prajurit. Berapa prajurit jadi korban, beberapa saat lalu korban, sekarang korban lagi. Harus ada sikap baru yang perlu dikonsultasikan lebih jauh,” tegasnya.(ay)