Din Syamsuddin
Din Syamsuddin

Din Syamsuddin: Jangan “Gebyah Uyah” Kata Kafir Dihilangkan

Sleman, Koranpelita.com

Hasil Putusan Musyawarah Nasional (Munas) Organisasi Islam Nahdlatul Ulama pada 1 Maret lalu terkait penggunaan istilah kafir menjadi perdebatan di masyarakat.

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin angkat bicara.

Menurutnya, di masyarakat majemuk seperti Indonesia pemakaian istilah kafir untuk menyebut non-muslim harus dengan bijak dan hati-hati. Tapi juga tidak dengan ‘gebyah uyah’ kata kafir dihilangkan.

“Dalam konteks berbangsa memang harus dibarengi dengan sikap tasamuh (toleransi), sehingga pemakaian istilah tersebut tidak dipakai secara peyoratif (memperburuk) kepada orang lain. Tapi juga tidak mungkin kitab suci yang sudah final lalu diamandemen,” terang Din, Sabtu (2/3/2019) seusai pengajian akbar di PKU Muhammadiyah Gamping Sleman seperti dilansir Muhammadiyah.or.id.

Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015 ini menuturkan, istilah tersebut perlu dipahami secara menyeluruh, karena pemakaian istilah seperti itu bukan hanya ada di Islam tapi juga agama yang lain.

Dalam Islam sendiri istilah kafir banyak disebut dalam Al Qur’an dan ada surat yang secara spesifik nama dan dalam kandungan surat tersebut menerangkan tentang Istilah kafir.

“Kita ini mukmin beriman, ada yang tidak beriman sesuai Islam disebut oleh Al Qur’an dengan kata kafir, musrik, juga fasik,” tambahnya.

Din berpesan, untuk tidak mengubah istilah yang ada di dalam kitab suci. Tapi harus ada kearifan dalam menggunakannya, termasuk dalam konteks saat ini. Istilah tersebut juga ada di agama selain Islam dalam menyebut orang yang berbeda dalam keimanan dengan mereka.

Menarik Untuk Disimak:   Hasil Studi Temukan Orang yang Aktif dalam Keagamaan dan Religiusitas Lebih Bahagia

“Sebenarnya semua agama punya konsep teologi tentang ‘the others and the outsider’, karena semua agama itu memiliki yang disebut kriteria keyakinan,” terang Din.

Meskipun demikian, putusan dari Munas NU sifatnya hanya sebagai fatwa. Karena ini sifatnya fatwa, maka tidak wajib diikuti. Mengingat fatwa tersebut sudah tersebar secara luas, pasti akan menimbulkan polemik. Terlebih ada event politik, hal semacam ini akan dengan sangat mudah menyulut ketegangan sampai akhirnya menimbulkan ujaran kebencian kepada yang mereka anggap sebagai lawan politiknya.

“Menuju Pilpers mendatang sudah ada ujaran kebencian dengan menyematkan nama binatang kepada kelompok satu ke kelompok lainnya. Hemat saya itu tidak etis, itu sama saja mendegradasi harkat martabat kemanusiaan,” ucap Din.

Belajar dari beberapa kejadian tersebut, Din mengajak dalam berpolitik untuk berdebat dengan argumen yang substantif bukan hanya permukaan. Jika hanya permukaan, hal itu hanya akan banyak menguras energi karena pembahasan yang tidak berdampak pada kesejahteraan umat dan bangsa nantinya. (portal-islam.id/naz)

 

About redaksi

Check Also

PNS Kodiklatal Surabaya Gelar Aksi Donor Darah dalam Rangka HUT KORPRI ke-53 Tahun 2024

Surabaya, koranpelita.com Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-53 Tahun 2024, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca