Jakarta, Koranpelita.com
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Poni Dwi Setiadi mempertanyakan dasar pemikiran dakwah bahwa hijab hanya diperuntuman bagi kaum perempuan ‘Cantik’.
Poni mengatakan, dakwah bisa dilakukan dengan cara persuasif tanpa harus memberikan stigma negatif terhadap pihak/kelompok lain. Menanggapi sesuatu yang kontroversial atau menyinggung pihak lain, dalam pemahaman agama Islam, jika tidak masuk dalam konsep tawasuth (moderasi/netral), ta addud (satu), dan tasamuf (saling menghargai), maka kritik dapat dilakukan. Perbedaan janganlah dijadikan alasan atau dalih untuk menyalahkan pihak lain.
Menurut Poni, Nahdatul Ulama (NU) bukan mashaf atau agama melainkan organisasi masyarakat (ormas), tetapi dasar pijakan perjuangan dan dakwah NU ini menyesuaikan dengan keislaman keIndonesiaan dan kebangsaan. Karena itu berbicara masalah hijab/jilbab kembali lagi kepada orang yang memakainya.
“Kita tidak bisa memaksakan apakah hijab hanya untuk perempuan yang cantik atau sebagainya. Itu bukan jaminan. Orang berhijab bukan berarti bisa diidentifikasi bahwa orang ini sudah cantik secara ahlaknya. sebab ada kesalehan sosial dimana beragama atau keimanan seseorang tidak diukur dari fashion”, jelas Poni di Jakarta, Selasa (14/4/2021).
Untuk mencegah kesalahpahaman dalam proses hijrah, terutama dikalangan millennial, Poni juga mengingatkan agar kaum millenial , khususnya yang memiliki niat untuk berhijrah (mempelajari Islam dengan tujuan untuk menjadi pribadi yang lebih baik) untuk lebih berhati-hati dan waspada agar tidak terjebak kedalam organisasi terlarang semacam HTI atau kelompok jaringan teroris.
Jika dakwah dari seorang ulama mengandung kontroversi di masyarakat, menurutnya lebih baik memilih ulama lain yang lebih kredibel. “Jangan sampai niat mengikuti sebuah majelis untuk mencari ilmu dan mencari ketenangan hati, justru hilang lantaran begitu keluar dari majelis marah-marah bahkan mencibir orang lain. Hal ini tentu akan menghilangkan hakikat beragama,” tegasnya.
Ditambahkannya, Mahasiswa sebagai agent of chance harus mampu membaca upaya brain wash yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu kepada kalangan millennial yang tengah berhijrah. Langkah counter yang dilakukan perlu dilakukan dengan cara indoktrinasi, tidak hanya sebatas simbol, tapi juga pendekatan persuasif. Fenomena hijrah harus disesuaikan dengan pemahaman keislaman, tidak semata-mata dengan merubah penampilan, seperti berjenggot atau celana cingkrang, bahkan belajar merakit bom. Tetapi merubah diri dari yang semula ibadahnya kurang bagus menjadi lebih bagus.
“Di agama atau budaya manapun, bahkan Amerika yang dikatakan demokrasinya sudah maju menolak terorisme dan radikalisme. Penjajahan secara fisik sekarang ini bukan lagi jamannya. Dan menjadi tanggungjawab kita bersama untuk mencegahnya”, ujar Poni Dwi Setiadi yang juga merupakan Ketua PMII Cabang Jakarta Pusat.(ay)