Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
*Penulis, Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Banten.
Seiring dengan proses vaksinasi kepada pendidik dan tenaga kependidikan muncul wacana kembali ke sekolah pada bulan Juli 2021. Kembali ke sekolah pada masa Pandemi Covid-19 tentu harus memperhatikan protokol kesehatan. Lebih dari itu, kebijakan kembali ke sekolah harus dijadikan momentum untuk sosialisasi gerakan hidup sehat kepada generasi muda khususnya pelajar dengan contoh langsung dari Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Bukan hanya cuci tangan, pakai masker, dan jaga jarak. Tapi juga membudayakan olahraga dan makan makanan halal dengan gizi seimbang.
Kembali ke sekolah pada masa Pandemi harus membatasi mobilisasi dan interaksi. Maka, kebijakan pendidikan berbasis komunitas melalui PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) sistem zonasi perlu dilanjutkan. PPDB sistem zonasi mendukung kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat dengan berbasis mikro (PPKM Mikro) sesuai Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 03 Tahun 2021 tentang PPKM Mikro dan Pembentukan Posko Penanganan COVID-19 di Tingkat Desa dan Kelurahan. Dengan demikian, kebijakan kembali belajar di sekolah sejalan dengan pengendalian penyebaran COVID-19.
Di sisi lain, rombongan belajar setiap kelas juga harus dibatasi. Dalam kondisi normal rata-rata 36 hingga 40 peserta didik per kelas. Di masa Pandemi dibatasi maksimal 20 peserta didik sehingga kegiatan pembelajaran lebih aman, nyaman, dan efektif. Karena kuota setiap kelas sangat terbatas, maka PPDB sistem zonasi yang lama dikoreksi dan disempurnakan dengan seleksi berdasarkan prestasi akademik dari satuan pendidikan di bawahnya. Jadi, standar penerimaan peserta didik baru bukan atas dasar “ukuran” jarak rumah ke sekolah. Tapi prestasi belajar. Berikutnya mengutamakan peserta didik berprestasi dari keluarga yang terdampak Covid-19 secara ekonomi.
PPDB sekolah milik pemerintah pada tahun 2021 perlu pengawasan ketat bukan hanya demi keselamatan jiwa peserta didik. Tetapi juga menjaga kejujuran proses PPDB dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. Pembatasan jumlah peserta didik yang diterima harus didasarkan pada ketersediaan ruang kelas dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Praktek dan perilaku koruptif PPDB melalui jalur khusus atau jalan pintas dihilangkan karena alasan fundamental: keselamatan jiwa dan mutu pendidikan. Fasilitas penunjang pendidikan dimaksud bukan hanya ketersediaan laboratorium tetapi juga ketersediaan air bersih, tempat cuci tangan, kantin sehat, dan lainnya.
Catatan lain yang harus diperhatikan dengan kebijakan kembali ke sekolah adalah kordinasi dan sinergi satuan pendidikan dengan pusat layanan kesehatan. Unit kesehatan sekolah (UKS) dengan unit kegiatan ekstrakurikuler seperti Pramuka dan Palang Merah Remaja (PMR) menjalin komunikasi, kerjasama, dan kolaborasi dengan Puskesmas, Klinik, atau Rumah Sakit terdekat yang ada dalam kendali Dinas Kesehatan. Pelajar sekolah dilatih menjadi pelopor dan penggerak penerapan protokol kesehatan. Dengan demikian, keberadaan sekolah menjadi bagian organik dari masyarakat sekitarnya. Visi, misi, dan tujuan pendidikan sekolah terintegrasi dengan tujuan pembangunan masyarakat, tujuan pembangunan daerah dan nasional.
Dampak kebijakan ke sekolah berbasis komunitas adalah akselerasi pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (MBS). Sekolah menjadi menara air yang terintegrasi dengan masyarakat. Relevan dan mutu pendidikan bisa diuji langsung dalam konteks sosial budaya setempat. Biaya operasional pendidikan bagi masyarakat terpangkas, terutama aspek transportasi, akomodasi, dan konsumsi. Pembatasan jumlah kuota PPDB Sekolah milik pemerintah juga diharapkan menumbuhkan partisipasi dan kontribusi masyarakat dalam memajukan sekolah swasta. Sekali lagi, kebijakan kembali ke sekolah berbasis komunitas bisa menjadi berkah dari Covid-19. Semoga. Waallahu a’lam.***