Mbah Hadi ikut Nyadranan di Pemakaman Kauman, Kulon Progo

Ikut Tradisi Nyadran Bersama Mbah Hadi

Pada Nyadranan di Kramatan Kauman, hari ini, ada pemandangan menarik. Tidak hanya jumlah pengaron yang masih berlimpah, atau anak-anak milenial yang antusias, tapi juga hadirnya tokoh-tokoh mulai yang paling sepuh hingga yang cah cilik-cilik banget.

Mbah Hadi dan Pak Rudi

Salah satu sosok sepuh adalah Mbah Hadi. Barangkali, inilah yang paling sepuh di antara warga yang hari ini, Minggu, 28 April 2019, ikut nyadran di Makam Kauman, Dusun Bujidan, Desa Tawangsari, Kecamatan Pengasih, Kulon Progo.

Rambutnya, tentu saja sudah putih semua. Dan, mulai arang-arang alias rontok. Juga brengos dan jenggotnya. Padahal dulu, brenggos itulah yang menjadi penanda paling hits saat Mbah Hadi masih nom-noman.

Cara jalannya pun sudah buyuten, ditambah pendengaran yang berkurang banyak, serta penglihatan yang tidak seterang dulu. Tapi semangatnya, adalah semangat memberi suri dalam nguri-uri tradisi ruwahan.

Sebagai yang senior, tentu saja, Mbah Hadi lenggah di barisan para tokoh. Terlihat, di sampingnya adalah Pak Rudi, tokoh masyarakat Dusun Jombokan sekaligus perangkat Desa Tawangsari. Keduanya bagai dua generasi yang mewakili trah Eyang Surosetiko yang sumare di Kauman.

Di depan Mbah Hadi ada Pak Sadali, tokoh pendidik yang pinter nembang Jawa. Sedangkan di kiri-kanan terlihat tokoh-tokoh yang lebih muda.

Nyadranan Kauman hari ini, memang pepak diikuti semua warga (mulai dari yang sepuh-sepuh hingga generasi muda) dari lima pedukuhan: Mbanaran atau Jombokan, Kopok Kulon, Mbujidan, Soronanggan, dan Siluwok.

Warga asli lima pedukuhan yang menetap di tempat-tempat jauh juga hadir. Ada Mas Heri juga terlihat  rawuh. Ia sukses menjadi pengusaha konveksi di tlatah Jenar, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Setiap ruwah, ia juga selalu pulang ke Mbanaran untuk ikut ruwahan.

Mas Heri yang oleh generasinya biasa disapa Kiai Jenar, terihat lenggah bersama Densus, seorang intelektual Dusun Jombokan yang sukses mengabdi di Pemerintahan Kabupaten. Berada di sampingnya, Kang Lembet memperhatikan suasana yang sibuk.

Nama-nama lain yang populer di era 80an-90an ketika ruwayan atau nyadranan begitu penuh ruh, masih setia berada di tengah ritual adat ini. Ada Kang Lembet, Kang Marno, Kang Jalal, dan generasinya. Sedang dari generasi yang lebih senior, tampak Mbah Kemat, Lek Ngadiman, Kang Capuk.

Nyadran di hari kedua (hari pertama di kramatan Mbanaran) juga dirawuhi para pejabat Desa Tawangsari mulai dari Pak Lurah hingga perangkat desa lainnya.

Semua tata acara ini, mampu berjalan dengan baik karena diorganisir dengan rapi oleh Pak Gatot, Dukuh Sepuh yang paling populer di Desa Tawangsari oleh sebab pengabdiannya yang panjang.  Pak dukuh yang satu ini disebut Dukuh Sepuh, setelah Jombokan memiliki dukuh anyar, yang terpilih sejak Sabtu kemarin.

Dan, seperti biasanya, ruwahan atau nyadranan adalah saat paling menggembirakan bagi anak-anak. Meski tidak sehits era 80an, bocah-bocah mulai dari yang lepas Balita hingga para remaja, tetap antusias. “Tapi mereka lebih tertip. Tidak seperti jamane kita dulu, kalau lihat apem, buat lempar-lemparan,” kata Kang Lembet tentang ruwahan di masa lampau yang sangat melegenda itu. (vian)

About redaksi

Check Also

National Karate Championship Tahun 2024 Piala Pangdam IV/Diponegoro Resmi Digelar

Semarang,KORANPELITA.Com – Kasdam Brigjen TNI Mohammad Andhy Kusuma, S.Sos., M.M., M.Han., secara resmi membuka turnamen …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca