Depok, 29 Januari 2021. Harinya, Jumat seperti hari ini. Bedanya, saat itu, Jumat Kliwon, hari ini Jumat Pahing. Tapi abaikan soal itu, karena saya sedang senang. Bungah oleh perasaan bangga, haru, dan rasa syukur.
Benar. Sudah semestinya saya dan keluarga bahagia dan mengucap syukur. Ini tentang prestasi istri sekaligus ibunya anak-anak. Walau saat istri mengatakan bahwa jadwal sidang promosi doktornya sudah ditetapkan, hati kecil saya berkata, “wah sebentar lagi istri saya bukan mahasiswi lagi.”
Sementara itu, anak-anak akan memiliki beban yang lebih berat terutama di bidang pendidikan jikalau menganut prinsip anak harus lebih baik dari kedua orangtuanya.
Jadilah, tanggal 29 Januari 2021 lalu merupakan tanggal penting bagi istri saya. Sebuah tahapan yang tak semua orang bisa mencapainya. Menjadi Doktor.
Saya perlu bercerita sedikit tentang perjuangan istri yang tak ringan dalam memetik cita-citanya itu. Tentu, cita-cita itu, tak bisa dibilang ringan. Bayangkan saja, ia harus mengurus semua sendiri, termasuk keluarga yang kadang tanpa dibantu asisten rumah tangga.
Harus. Saya harus mengatakan, istri saya ini jempolan. He…he…he…Ini jempolan betul, bukan karena istri sendiri jadi harus dipuji. Mari saya ajak melihat jejak kejempolannya.
Tahun 1999, istri memutuskan keluar dari tempat kerjanya. Bukan tempat kerja biasa-biasa saja, tapi IPTN Bandung yang saat itu, semua orang ingin masuk. Ia memutuskan keluar, ikut pindah ke Depok, dan sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga. Keputusan itu, sanga mengejutkan. Sekaligus, membuat kecewa ibunya yang menginginkan sang anak tetap memiliki eksistensi dengan terus berkarir.
Tapi tunggu dulu, jangan keburu membayangkan saya yang memaksa berhenti bekerja. Tidak. Saya tidak membatasi istri untuk mandiri. Keputusan meninggalkan perusahaan bergengsi itu, tanpa intervensi saya. Loh, jempolan to…
Saat itu, saya hanya berdoa, semoga (seandainya bekerja lagi) tidak di Jakarta namun sekitar Depok saja. Biarlah saya saja yang merasakan beratnya perjuangan pergi dan pulang kerja naik KRL yang saat itu belum senyaman sekarang. Saya tak tega jika istri harus berdesakan atau terjebak dalam kemacetan lalu lintas Jakarta. Dan, benar. Istri kembali bekerja. Itu, setelah hampir lima tahun mengabdi pada rumah tangganya.
Tahun 2003, Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia memberi kesempatan untuknya sebagai dosen. Memang bukan sebagai dosen tetap. Ada persyaratan yang sangat masuk akal bahwa untuk menjadi seorang dosen: perlu bekal lebih tebal, tak cukup sekadar sarjana.
Lalu, di tahun 2005, datang sebuah kesempatan untuk melanjutkan S2 di prodi Statistika IPB atas beasiswa dari negara.
Sejak itu, ibunya anak-anak saya ini, berjibaku dengan buku-buku yang tidak mudah dimengerti. Apalagi masih ditambahi rasa lelah mengurus anak pertama yang berusia 10 tahun dan anak kedua menjelang usia 5 tahun.
Membagi waktu untuk keluarga dan belajar, tentu menjadi pekerjaan yang tidak mudah. Tapi istri saya berhasil. Loh, jempolan to…
Bukan hanya berhasil membagi waktu, tapi juga berhasil melakukan perjalanan ulang-alik, Depok-Bogor. Naik KRL. Beruntungnya, naik KRL ke Bogor lebih enak, karena selalu sepi. Berbeda dengan arah Jakarta yang ampun-ampunan padatnya. Itu, membuat saya tidak khawatir dan ngenes.
Tapi, dengan segala kerepotannya, dibutuhkan empat tahun untuk menyelesaikan kuliahnya, sehingga berhak menambahi namanya dengan gelar Magister Sains (MSi) bidang Statistika.
Empat tahun adalah waktu yang relatif lebih panjang di banding waktu tempuh teman-temannya. Tapi pasti dimaklumi, karena bukan kendala belajar, membagi waktu dengan anak-anak dan suami, atau kendala di kampus.
Semua drama, mulai dari membagi waktu hingga perjuangan bolak-balik Bogor-Depok, bisa diatasi. Tapi ada satu drama lagi yang justru sangat memeras perasaan: ibu dari istri saya mengalami patah tulang karena osteoporosis sehingga harus dioperasi. Tak lama berselang, bapak dari istri terkena serangan stroke saat berada di Depok.
Kesedihan hati istri saya memuncak, saat bapak yang sudah tidak bisa beranjak dari tempat tidur selama tujuh bulan, dipanggil Allah. Padahal, setahun sebelumnya, saya bersama istri di akhir tahun 2008 mendoakan yang terbaik untuk bapak. Mendoakan di tanah suci saat kami menunaikan ibadah haji.
Tapi Tuhan berkehendak lain. Bulan Januari 2009, bapak meninggal dunia, tanpa sempat melihat putrinya lulus S2 di sekitar bulan Agustus 2009.(bersambung)