Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
FPI (Front Pembela Islam) sebagai Ormas (Organisasi Kemasyaarakatan) sudah dibubarkan, dibekukan atau apapun namanya melalui Surat Keputusan Bersama 6 institusi di tanah air. Banyak sisi yang bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran, dari peristiwa tersebut. Satu sisi menarik dari peristiwa itu adalah dibentuknya organisasi baru, bernama Front Persatuan Islam, yang juga disingkat FPI. Klarifikasi mengenai hal ini pun bermunculan, tentang keberadaan organisasi baru dimaksud. Satu dari permasalahan ini adalah dari sisi legitimasinya.
Perkembangan Berikut
Pada awalnya, begitu usai pembubaran FPI, pihak berwajib memberikan pernyataan tentang Tindakan yang dilakukan yaitu fokus menyangkut dengan kegiatan Front Pembela Islam, atribut, simbol-simbol Front Pembela Islam usai diberlakukannya SKB dimaksud. Hal ini menindaklanjuti kebijakan yang disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan Pemerintah menghentikan kegiatan dan aktivitas FPI dalam bentuk apapun. Secara yuridis FPI tak lagi memiliki kedudukan hukum (legal standing).
Sekaitan dengan hal di atas Pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan yang akan dilakukan, karena FPI tak lagi mempunyai legal standing, baik sebagai Ormas maupun sebagai organisasi biasa. Dasar yuridisnya, disebut berdasarkan peraturan perundang-undangan dan sesuai putusan MK tertanggal 23 Desember 2014, pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan FPI.
Apa lagi, dalam penilaian pemerintah bahwa semenjak 20 Juni 2019, secara de jure FPI telah bubar sebagai Ormas. Namun faktanya FPI tetap melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban, keamanan dan bertentangan dengan hukum seperti tindak kekerasan, sweeping secara sepihak, provokasi, dan lainnya.
Pada perkembangannya, usai dikeluarkannya SKB dimaksud sejumlah tokoh eks pentolan Front Pembela Islam langsung mendeklarasikan pergantian nama menjadi Front Persatuan Islam. Sejumlah tokoh itu adalah Habib Abu Fihir Alattas, Abdurrahman Anwar, dan Ahmad Sabri Lubis. Berikutnya Munarman, Abdul Qadir Aka, Awit Mashuri, Haris Ubaidillah, Habib Idrus Al Habsyi, Idrus Hasan, Habib Ali Alattas, Tuankota Basalamah, Habib Syafiq Alaydrus, Baharuzaman, Amir Ortega, Syahroji, Waluyo, Joko, dan M Luthfi. Kini Front Persatuan Islam menilai pembubaran yang dilakukan pemerintah terhadap Front Pembela Islam melalui SKB melanggar konstitusi dan bertentangan dengan hukum.
Pada tokoh FPI itu menilai bahwa secara substansi Keputusan Bersama tersebut tidak memiliki kekuatan hukum, baik dari segi legalitas maupun dari segi legitimasi. Artinya bahwa secara de jure FPI telah bubar, pada kenyataannya jika masih terus melakukan berbagai kegiatan yang mengganggu ketenteraman, ketertiban umum, itu artinya bertentangan dengan hukum. FPI dipandang sudah tidak eksis, sebab secara yuridis nilai dikeluarkan SKB ini hanya semata untuk menguatkan tindakan larangan yang dilakukan aparat penegak hukum, namun tidak punya nilai peraturan perundang-undangan. Walaupun di dalamnya mencantumkan Undang Undang, tetapi tak bisa mengatur norma baru, termasuk larangan pembubaran FPI.
Boleh, Tidak Boleh
Satu kebijakan, secara umum senantiasa mengundang pro dan kontra. Tergantung dari mana perspektif mencermatinya. Apa lagi jika itu berhubungan dengan peraturan perundangan, senantiasa menimbulkan interpretasi atau penafsiran berbeda, tergantung dengan kepentingannya. Hal ini adalah dalil yang senantiasa menjadi satu dasar yang berkembang sesuai dengan perkembangan masalahnya.
Sekaitan dengan masalah di atas, inti masalahnya adalah boleh atau tidaknya FPI yang dibubarkan kemudian berganti menjadi FPI (dalam arti Persatuan Islam). Sekaitan dengan hal ini, FPI menilai hak berserikat adalah Hak Asasi Manusia yang hanya boleh dikurangi dalam keadaan darurat. Mereka menilai, berdasarkan UU No. 17 Tahun 2014 jo. UU No. 16 Tahun 2017 Pasal 80 menyebut bahwa Keputusan Bersama enam instansi pemerintahan itu tidak berdasar hukum. Sebabnya, ketentuan Pasal 80 hanya mengatur Ormas ber Badan Hukum, dan itupun melalui pencabutan status Badan Hukum dimaksud.
Apa lagi, dalam pandangan FPI secara substantif berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi 82/PPU-XI/2013, dalam pertimbangan hukum yang isinya bahwa Suatu Ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu.
Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi tidak dapat menetapkan Ormas tersebut Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum.
Dalam pandangan FPI, Tindakan pemerintah berupa pelarangan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan hukum yang berlaku. Keputusan Bersama tersebut tidak memiliki kekuatan hukum baik dari segi legalitas maupun legitimasi. Atas dasar itu, organisasi yang dinahkodai Muhammad Rizieq Shihab yang sudah dilarang berdiri lagi, mengubah identitasnya menjadi Front Persatuan Islam. Berdasarkan itu pula, mereka mengajak sepuruh anggota dan simpatisan Front Pembela Islam di seluruh Indonesia dan mancanegara, untuk menghindari hal-hal yang tidak penting dan benturan dengan rezim dzalim maka dengan ini kami deklarasikan Front Persatuan Islam untuk melanjutkan perjuangan membela agama, bangsa, dan negara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Sejauh ini, pemerintah masih berkutat pada legitimasi pembubaran FPI dalam arti pembela Islam. Tidak memberikan respon terhadap FPI dalam arti Persatuan Islam. Dalam kaitan ini jelas bahwa keberadaan Ormas baru ini mengundang berbagai spekulasi tentang eksistensinya. Bahwa dari sisi politis jelas, Ormas baru ini akan menemui berbagai hambatan dalam kaitan dengan kiprahnya. Khususnya yang berkenaan dengan nahi munkar, menurut visi dan visi FPI, menjadi tantangan terbesar dari pemerintah. Namun legitimasi terhadap pelarangan dimaksud harus didasarkan pada alasan yuridis yang dibenarkan oleh hukum.
Pada sisi lain, dalam alam demokrasi, ketika segala sesuatu sudah serba terbuka ini memerlukan dasar hukum yang kuat untuk suatu tindakan. Jika tidak akan memunculkan berbagai penlaian yang arahnya adalah penerapan kekuasaan secara tirani. Tentu saja pemerintah tidak menginginkan hal dimaksud. Untuk itu, supaya permasalahnya tidak berkembang semakin kompleks, pemerintah harus segera menentukan tentang boleh atau tidaknya Ormas baru bernama Front Persatuan Islam ini melakukan aktivitasnya. Jika tidak boleh, apa dasar hukum yang menjadi pijakan pelarangan ini.***