Oleh: Nailul Huda
Penulis, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance
Sejak pemerintahan Joko Widodo jilid pertama, salah satu rencana besar dan prioritas Kementerian BUMN adalah rencana menggabungkan beberapa perusahaan plat merah menjadi satu perusahaan holding. Setelah dilakukan pergantian Menteri BUMN, rencana ini juga masih tetap menggema walaupun terjadi penolakan dari berbagai lapisan masyarakat. Hingga saat ini tercatat ada beberapa perusahaan yang sudah melakukan holding diantaranya holding sektor pertambangan dengan perusahaan induk PT Inalum dan holding sektor minyak dan gas dengan perusahaan induk PT Pertamina. Saat ini, Pemerintah juga sedang berupaya untuk membentuk holding perusahaan untuk urusan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Ultra Mikro (UMi) yang terdiri dari tiga perusahaan plat merah yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Pegadaian (Persero), dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero), dengan perusahaan induk yaitu BRI.
Pemerintah meyakini pembentukan holding urusan UMKM dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan kapasitas UMKM secara umum, namun langkah holding tersebut bisa dibilang terlalu jauh dari kata ideal. Pembentukan holding yang terdiri dari tiga BUMN yang mempunyai jenis kegiatan dapat menimbulkan ketidakcocokan dalam proses holding. Selama ini, holding yang dilakukan pemerintah selalu berpijak pada sektor kegiatan yang sama. Holding pertambangan, holding migas, holding perkebunan, dan rencana holding bank syariah mempunyai bisnis yang relatif sama. Maka holding urusan UMKM dan UMi dinilai akan tidak cocok mengingat ada gap skema bisnis diantara ketiganya. Jika pun dipaksakan holding, maka yang tercipta adalah holding konglomerasi dimana perusahaan induk akan lebih menikmati manfaat dibandingkan anak perusahaannya.
Ada tiga sebab kenapa holding urusan UMKM dan UMi ini tidak akan cocok jika dipaksakan. Pertama, perbedaan bisnis utama dari ketiga perusahaan plat merah tersebut. Bank BRI tentu saja berfokus pada pelayanan industri jasa keuangan perbankan seperti jasa menyimpan dana dan jasa memberikan kredit. Sedangkan Pegadaian berfokus pada pelayanan gadai barang dan PNM berfokus pada peningkatan kegiatan usaha UMKM. Sangat dimungkinkan PNM dan BRI saling beririsan dalam hal peningkatan modal namun bagi Pegadaian bisa jadi jauh dari skema bisnisnya. Memang ada program pemberian kredit bagi UMKM di Pegadaian namun hal tersebut bukanlah core business dari Pegadaian itu sendiri.
Dengan adanya holding, maka kebijakan strategi perusahaan Pegadaian dan PNM dikendalikan oleh BRI sebagai perusahaan induk. Dikhawatirkan kebijakan yang diambil bertentangan dengan pola bisnis anak perusahaannya tersebut. Salah satunya kebijakan “harus untung” yang bisa saja diwajibkan kepada anak perusahaan oleh perusahaan induk. Padahal baik Pegadaian maupun PNM lebih cenderung memberikan pelayanan kepada publik bukan hanya sekedar mencari keuntungan walaupun secara kinerja Pegadaian mampu tumbuh positif dengan mencatatkan laba di tengah pandemi.
Kedua, perbedaan target pangsa pasar. Secara kasat mata, ketiga perusahaan mempunyai pangsa pasar yang sama yaitu UMKM. Namun demikian, terdapat perbedaan lebih detail dari ketiganya. Bagi Bank BRI, target utama penyaluran dana tentu saja usaha ataupun individu yang sudah masuk ke dalam status bankable dan underbank. Status bankable adalah usaha atau individu sudah memiliki akun perbankan dan menikmati layanan perbankan lainnya. Status underbank ialah usaha atau individu sudah memiliki akun perbankan namun belum menikmati jasa layanan keuangan lainnya seperti kredit, asuransi, maupun investasi. Bagi Pegadaian, sebagian besar nasabahnya adalah usaha atau individu yang masuk dalam status unbankable dimana tidak mempunyai akun perbankan dan tidak mendapatkan layanan jasa keuangan lainnya.
Menurut data Global Findex, ada sekitar 92 juta penduduk dewasa (50 persen lebih dari penduduk usia dewasa) yang merupakan masyarakat berkategori unbankable. Maka porsi pangsa pasar pegadaian masih sangat luas yang terdiri dari emak-emak, petani, nelayan, ataupun pedagang pasar yang tidak mempunyai kemampuan mengakses perbankan. Selain itu, proses pencairan di Pegadaian yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan perbankan menjadikan kelompok unbankable ini merasa terlayani dengan baik. Adanya holding dikhawatirkan ada perubahan strategi dalam target pangsa pasar dari Pegadaian. Risiko dari kelompok masyarakat unbankable menjadikan sangat tidak cocok dengan iklim bisnis perbankan yang mengutamakan unsur risiko dan kehati-hatian dalam pemberian pinjaman.
Ketiga, kemampuan perusahaan induk dalam mengimplementasikan strategi kebijakan yang dibuat untuk anak perusahaannya. Kemampuan ini sangat tergantung oleh kondisi internal perusahaan, dalam hal ini Pegadaian dan PNM. Konsekuensi sebuah holding adalah adanya sebuah efisien dalam hal operasional perusahaan, dalam hal ini adalah modal dan tenaga kerja. Modal bisa dikatakan didapatkan dari pemerintah selaku pemilik saham Pegadaian dan PNM, maka efisiensi selanjutnya adalah tenaga kerja. Dengan mengatasnamakan efisiensi perusahaan bisa jadi terjadi perampingan tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan induk walaupun kinerja keuangan Pegadaian sangat positif. Begitu pula dengan PNM. Akan ada lini bisnis dari anak perusahaan yang akan diambil alih oleh perusahaan induk yang akan menimbulkan gejolak internal.
Dampak dari holding memang bisa jadi bagus namun sangat berpotensi buruk. Seperti tiga nomor yang saya jelaskan di awal, sangat besar kemungkinan holding urusan UMKM dan UMi akan sangat tidak cocok. Jika dipaksakan akan terjadi perubahan pola bisnis hingga tata kelola perusahaan yang saat ini bisa dikatakan sangat baik. Dampak jangka panjangnya adalah misi perusahaan yang harus menyerap kelompok masyarakat yang unbankable berubah menjadi underbank ataupun unbanked. Tentu saja ini merupakan kerugian bagi Indonesia dimana layanan jasa keuangan seharusnya dapat dinikmati juga oleh kelompok unbankable.
Maka dari itu, pemerintah sudah sepatutnya mengkaji ulang wacana holding urusan UMKM dan UMi. Pemerintah juga sebenarnya sudah mempunyai Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) yang bisa menjadi dirigen pengembangan UMKM dimana dapat mensinergikan program pemberdayaan UMKM yang tersebar di kementerian atau lembaga lainnya, termasuk BUMN. Jadi tidak perlu holding BUMN untuk urusan UMKM dan UMi. ***