Saya niatkan, kali ini, untuk menulis tentang cinta. Sebuah kata indah yang membuat semangat melompat berlipat-lipat. Tapi rupanya, tidak mudah. Dan, saya menyerah…
Ternyata, saya tak cukup punya cara untuk mulai menulisnya. Menulis tentang cinta, sepertinya tak semudah yang saya bayangkan. Apalagi, bekal masa di mana saya, memang tidak memadahi meski sudah bongkar-bongkar memori.
Dulu, saya bahkan harus dipaksa-paksa oleh keberanian (biasanya, keberanian saya itu, terlalu lemah untuk urusan perasaan, jadi harus dipaksa) agar mampu mengungkapkan rasa cinta pada bakal calon belahan jiwa.
Jadilah. Saya perlu mengalahkan tremor hati yang gemetar hebat, akibat berdetak super cepat. Di depannya, jantung bekerja kelewat kilat, sampai-sampai tak memberi kesempatan mulut untuk berucap sesuatu. Itulah cinta, yang sampai kini, membuat saya tak pandai berkata-kata.
Tapi saya akan memulainya. Mungkin saya memang perlu memulainya. Cerita diawali dari hari Minggu, 15 November 2020, saat matahari sudah berada di atas kepala. Seperti biasanya di akhir pekan, saya memilih lebih banyak beraktivitas fisik dan mengurangi penggunaan handpone. Mulai olahraga pagi dan mengurusi tanaman di taman yang tak lapang.
Selepas sholat dhuhur, saya menghidupkan telepon genggam dan mendapati sebuah pesan dari nomor yang namanya tak dikenal. Makanya, kalimat pertama beliau adalah mengenalkan diri sebagai Pak Puguh Pasetyo dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Saya sering mendengar lembaga LPDP yang merupakan Badan Layanan Umum di bawah Kementerian Keuangan yang mengelola dana pendidikan. Sepertinya visi yang diemban termasuk berat yaitu menjadi lembaga pengelola dana untuk mempersiapkan pemimpin masa depan. Serta, mendorong inovasi bagi Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Program layanan utama LPDP antara lain terdiri dari beasiswa dan pendanaan riset.
Saya menduga Pak Puguh tahu nomor hp saya dari Pak Dwi Larso, Direktur Beasiswa LPDP. Kami belum lama tersambung kembali setelah dibuat grup WA alumni Oregon State University. Yang mengejutkan adalah saya diminta memberi pembekalan anak bangsa yang hebat sebelum keberangkatan untuk menempuh S2 dan S3. Mereka adalah peraih beasiswa LPDP angkatan 166 yang menyebut dirinya sobat agni.
Tak banyak persiapan yang bisa saya lakukan, karena pembekalan harus diberikan Senin pagi tanggal 16 November 2020. Pukul 08.00 wib, selama dua jam. Saya sudah sampaikan kepada panitia yang mengundang mungkin saya tak sempat menggunakan bahan pemaparan dan akan bercerita saja.
Tapi membaca temanya, saya agak deg-degan juga. Tema yang saya rasa terlalu berat yaitu Refleksi Merah Putih: Aku Pergi Untuk Kembali.
Saya mencoba mencerna maksud tema yang mesti saya sampaikan. Sebuah penekanan bahwa putra-putri terbaik bangsa yang akan dibiayai negara dari pajak itu, wajib mengabdi: kembali setelah studi untuk membangun negeri.
Untuk membakar semangat kecintaan Sobat Agni, saya buka lembaran-lembaran kisah silam perjuangan saya meraih mimpi. Saya ceritakan bahwa saya sebagai wong ndeso dari keluarga sangat sederhana jika tak ingin menyebutnya berkekurangan, tetap memiliki sangat besar angan-angan. Saya tak ingin terkurung dalam lingkaran kemiskinan, tapi bisa keluar menjadi lebih berdaya dan berguna.
Rasanya pas cerita di buku Nami Kulo Sumarjono saya ambil sebagai kisah yang (minimal bisa menjadi inspirasi) bagi Sobat Agni.
Ribuan alasan akhirnya harus hidup dalam kungkungan papa dan nestapa. Bayangkan, tidaklah mudah untuk menempuh jalan jauh menuju sekolah. Belajar hanya diterangi lampu teplok dengan cerobong kaca cenderung hitam jika dua hari tak dicuci. Belum lagi akses informasi yang sulit diatasi.
Ndeso tak berarti nelongso. Itu pesan sakral yang ingin saya sampaikan kepada Sobat Agni. Dulu, itu pula yang diajarkan oleh Bapak Simbok saya untuk menyemangati anaknya mengubah kenyataan, dari keperihan hidup menjadi memiliki kehidupan yang lebih baik.
Entahlah. Mungkin belajar dari pengalaman orang lain, atau instuisi yang berasal dari kepekaan batin. Tapi Bapak Simbok paham bahwa ilmu pengetahuan dan sekolah adalah cara terbaik mengubah nasib.
Sungguh masih mudah teringat, pesan penting Bapak-Simbok kepada anak-anaknya. Pesan bahwa sebagai orang tua, Bapak-Simbok tak bisa mewarisi harta. Namun, jika ilmu yang mau dikejar, berbagai cara bahkan dengan pinjam uang dari orang atau menjual ternak atau pekarangan rela dilakukan. Dan, itulah yang terjadi. Satu demi satu ternak Bapak dilepas untuk biaya sekolah anak-anaknya.
Melihat pengorbanan Bapak-Simbok, saya sering ingin menangis. Tapi untuk apa menangisi ketulusan orangtua? Lalu, yang saya lakukan saat itu, adalah mengimbanginya dengan semangat belajar.
Saya rajin ke sekolah, meski harus jalan kaki. Saya rela belajar di kala senja, selepas ngarit untuk makan ternak. Saya tak peduli lagi dengan tubuh letih, karena mesti membantu mengurus ternak atau pekerjaan lain. Satu hal yang ingin saya buktikan bahwa ndeso tak berarti nelongso.
Setelah cerita kehidupan di Dusun Nganjir, Kalurahan Hargorejo, Kapenewon Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Jogjakarta, kepada 124 putra putri terbaik Indonesia itu, saya juga cerita soal Bandung. Inilah kota penting, setelah saya diterima di perguruan tinggi terkenal di ibu kota Jawa Barat itu. Lalu, saya cerita pula setelah bergabung dengan Kementerian Keuangan, diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan jenjang Master di luar negeri.
Berbekal ketekunan dalam bekerja dan ditopang pendidikan serta networking, setapak demi setapak karir meningkat. Rasanya tepat pendapat Bapak Simbok saya yang mengatakan bahwa harta pun akan mengikuti seiiring peningkatan ilmu dan pengalaman. (bersambung)
Salam NKS